HAMKA, Sosok yang Mengajarkan Kesederhanaan
Wednesday, November 7, 2012
0
comments
“Saya masih teringat dalam
satu kongres, kaki saudara Udin terletak di atas dada Mr. Kasman, dengan tidak
sengaja lantaran kepayahan sesudah rapat. Dan kepala saudara Sudirman (almarhum
Jenderal Sudirman), satu bantal dengan kepala saudara Muljadi Djojomartono. Dan
saudara Tjitrosuwarno gelisah mendengar keruh (dengkur) saudara H. Abdullah
dari Makassar.” (Tulisan Hamka yang dimuat di (Suara [?]) Muhammadiyah Nomor 31
Januari 1953)
Cerita ini, ketika saya baca
langsung menyentuh relung hati saya yang paling dalam. Otak saya berfikir dan
menggambarkan kondisi saat itu yang sangat jelas di ceritakan oleh Buya Hamka.
Hati saya saya pun langsung rindu untuk mengalaminya dan ingin berada dalamnya.
Suasana dengan penuh kesederhanaan dan penuh semangat dalam ber-Muhammadiyah.
Otak saya terus saja berfikir, mungkin saking sederhananya fenomena itu bisa
terjadi. Ruang yang sempit, ini tergambar jelas dengan adanya kaki yang naik ke
dada Mr. Kasman. Serta minimnya fasilitas seperti kurangnya bantal sehingga
harus satu bantal dua orang.
Hari ini, menjelang satu
abad Muhammadiyah, cerita itu sepertinya hanya akan menjadi kenangan. Cerita
yang suatu saat akan menjadi dongeng penghias tidur anak cucu kita kelak.
Megapa? Karena memang Muhammadiyah telah berubah. Perubahan itu ditandai dengan
adanya gejala elitisme gerakan di pengurus Muhammadiyah. Banyak kita saksikan
pimpinan Muhammadiyah yang membentuk dirinya menjadi kaum elit, atau membangun
citra elit dalam dirinya. Sehingga mereka yang berada pada tataran struktural
paling bawah dalam persyarikatan memandangnya seolah sangat tinggi.
Harus kita akui bahwa
Muhammadiyah memang megah dari luar, tapi keropos dari dalam. Kekurangan kader
merupakan contoh real yang suatu saat membuat Muhammadiyah hanya tinggal nama.
Anehnya gejala ini seolah hanya sebuah cerita tanpa penyelesaian yang serius.
Melihat Muhammadiyah yang akan datang, lihatlah kader Muhammadiyah hari ini,
sayangnya kader yang disiapkan itu kurang, malah tidak ada. Perhatian terhadap
pembinaan kader ini yang mesti dan segera menjadi prioritas gerakan kita.
Menjelang satu abad memang
kita mesti berbenah, belajar dari sejarah adalah salah satu jalannya. Ketika
saya membayangkan menjadi bagian dalam cerita Buya Hamka tadi, maka saya akan
memilih tidur satu bantal dengan Jenderal sudirman yang menjadi idola saya
sejak kecil. Atau dengan Mr. Kasman agar seluruh isi otaknya yang penuh muatan
ilmu bisa saya pindahkan ke kepala saya.
Saya juga sering melihat
para pimpinan Muhammadiyah seolah menjadi kaum elit, susah ditemuin, orientasi
gerakan yang tidak lahir dari semangat para founding father. Belum lagi pada
tataran pimpinan amal usaha. Saya sering mengurut dada karena banyaknya
pimpinan amal usaha yang membuat dirinya bak raja. Tidak nurut dengan pimpinan
persyarikatan, bahkan ada yang berani melawan. Sungguh kehidupan
bermuhammadiyah yang membuat semangat saya runtuh seketika.
Jujur, secara pribadi rindu
dengan sosok seperti Pak AR. Sosok yang sangat zuhud, memandang kehidupan
dengan begitu sederhana sehingga kehidupan setenang air yang mengalir. Potret
kehidupan seperti yang di gambarkan Buya memang sudah tidak ada, alasannya
mungkin karena zaman telah maju, fasilitas sudah lengkap dan sayang jika tidak
digunakan. Namun menjadi diri yang sederhana dan bersahaja di tengah pusaran
globalisasi merupakan mutiara di tengah kubangan lumpur. Saatnya memang kita
kembali kepada ruh perjuangan yang sudah ditanamkan sejak dulu. Orientasi
profit harus kita buang jauh-jauh, karena Muhammadiyah lahir ditengah kesulitan
masyarakat akiibat penindasan penjajah. Orientasi sosial dan dakwah mesti
menjadi prioritas utama. Mudah-mudahan sekolah Muhammadiyah yang mahal hanya
cerita dongeng belaka, dan sekolah murah dan berkualitas betul-betul menjadi
realita dan bukan dongeng.
Di akhir tulisan Hamka
menyebutkan, “Segala kesulitan telah pernah kita atasi, dengan sikap diam,
tenang dan maaf. Ketahuilah bahwa Indonesia ini masih banyak “adik-adik” yang
harus kita didik dengan keteguhan hati. Sjiblih berkata, ‘Teladanlah kayu di
rimba. Dilempar orang dia dengan batu. Lalu dibalasnya dengan buah. Sebanyak
batu naik, sebanyak buah turun.”
Sumber :
http://www.muhammadiyah-sumsel.or.id
0 comments:
Post a Comment