Terobosan Mas Mansur Memimpin Muhammadiyah
Sunday, December 30, 2012
0
comments

Selain itu,
Mas Mansur juga banyak membuat gebrakan dalam hukum Islam dan politik ummat
Islam saat itu. Yang perlu dicatat pula dalam hukum Islam, Mas Mansur tidak
ragu mengambil kesimpulan tentang hukum bank, yakni haram, tetapi
diperkenankan, dimudahkan, dan dimaafkan, selama keadaan memaksa untuk itu. Ia
berpendapat bahwa secara hukum bunga bank adalah haram, tetapi ia melihat bahwa
perekonomian ummat Islam dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, sedangkan
ekonomi perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem yang kuat di masyarakat.
Oleh karena itu, jika ummat Islam tidak memanfaatkan dunia perbankan untuk
sementara waktu, maka kondisi perekonomian ummat Islam akan semakin turun
secara drastis. Dengan demikian, dalam kondisi keterpaksaan tersebut dibolehkan
untuk memanfaatkan perbankan guna memperbaiki kondisi perekonomian ummat Islam.
Mas Mansur
pula yang melahirkan ide berdirinya Majelis Tarjih sebagai institusi resmi
Muhammadiyah yang membahas hukum Islam di Muhammadiyah. Ide ini memang
direalisasikan sebelum ia menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah. Majelis
Tarjih sendiri direalisasukan pada tahun 1928. Sejak didirikannya pada tahun
1928 sampai sekarang, tugas Majelis Tarjih telah mengalami perkembangan dan
perubahan. Semula Majelis ini hanya membahas dan memutuskan masalah-masalah
keagamaan yang diperselisihkan, dengan cara mengambil pendapat yang dianggap
kuat dalilnya. Tugas utama ini perlu dilakukan oleh Majelis Tarjih, ketika
lembaga ini didirikan, karena masalah khilafiyat sudah begitu meruncing. Kalau
diselesaikan, warga Muhammadiyah sendiri akan mengalami perselisihan yang
tajam. Kemudian berkembang dari sederetan agenda permasalahan yang dibahas
dalam satu muktamar tarjih ke muktamar berikutnya, seperti telah dijelaskan di
atas, dapat dipahami bahwa tugas pokok Majelis Tarjih tidak hanya terbatas pada masalah-masalah khilafiyat
dalam bidang ibadah, melainkan juga mencakup masalah-masalah mu’amalah
kontemporer. Jadi, bidang garapan Majelis Tarjih sudah sangat luas, berbeda
dari tugas dan kegiatan yang dilaksanakan pada saat lembaga itu didirikan.
Dalam
perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansur juga banyak melakukan gebrakan.
Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansur sebenarnya sudah
banyak terlibat dalam berbagai aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjado
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia pun mulai melakukan gebrakan politik yang
cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam
A’la Indonesia (MIAI) bersama KHA Dahlan dan KH Wahab Hasbullah yang keduanya
dari Nahdatul Ulama (NU). Ia juga memprakarsai berdirinya Partai Islam
Indonesia (PII) bersama Dr Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap
non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Demikian juga
ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur termasuk dalam empat orang
tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan empat
serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara dan Mas Mansur.
Keterlibatannya
dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta, sehingga Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusuma. Namun
kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia
menyebabkannya tidak tahan dalam empat serangkai tersebut, sehingga ia
memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannnya dalam empat serangkai
digantikan oleh Ki Bagus Hadikusuma.
Ketika pecah
perang kemerdekaan, Mas Mansur belum sembuh benar dari sakitnya. Namun ia tetap
ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan
kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan
dipenjarakan di Surabaya. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk
itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya
domakamkan di Gipo Surabaya. Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik
Indonesia ia dianggkat sebagai Pahlawan Nasional bersama teman seperjuangannya,
yaitu KH Fachruddin.
Apa yang
dilakukan dan dihasilkan itu, tak lepas dari langkah-langkah sebelumnya setelah
ia pulang dari luar negeri untuk melakukan studinya di Makkah dan Kairo.
Langkah awal Mas Mansur sepulang dari belajar di luar negeri ialah bergabung
dalam Syarikat Islam. Peristiwa yang dia saksikan dan alami di Makkah, saat
terjadinya pergolakan politik, maupun di Mesir, munculnya gerakan nasional dan
pembaharuan, merupakan modal baginya untuk mengembangkan sayapnya dalam suatu
organisasi. Pada saat itu, SI dipimpin oleh HOS Cokroaminoto, dan terkenal
sebagai organisasi yang radikal revolosioner. Ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar
SI.
Di samping
itu, Mas Mansur juga membentuk majelis diskusi bersama Abdul Wahab Hasbullah
yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya majelis
ini diilhami oleh Masyarakat Surabaya yang diselimuti kabut kekolotan.
Masyarakat sulit diajak maju, bahkan mereka sulit menerima pemikiran baru yang
berbeda dengan tradisi yang mereka pegang. Taswir al-Afkar merupakan tempat
berkumpulnya para ulama Surabaya yang sebelumnya mereka mengadakan kegiatan
pengajian di rumah atau di surau masing-masing. Masalah-masalah yang dibahas
berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat keagamaan murni sampai masalah
politik perjuangan melawan penjajah.
Aktivitas
Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai aktivitas lain di berbagai
kota, seperti Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan
pada pendidikan. Sebagai kelanjutan Nahdhah al-Wathan, Mas Mansur dan Abdul
Wahab Hasbullah mendirikan madrasah yang bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah
Air), kemudian madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far’u
al-Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah
Air) di Jombang. Kalau diamati dari nama yang mereka munculkan, yaitu wathan
yang berarti tanah air, maka dapat diketahui bahwa kecintaan mereka terhadap
tanah air sangat besar. Mereka berusaha mencerdaskan bangsa Indonesia dan
berusaha mengajak mereka untuk membebaskan tanah air dari belenggu penjajah.
Pemerintahan sendiri tanpa campur tangan bangsa lain itulah yang mereka
harapkan.
Taswir
al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya mau tidk mau permasalahan yang mereka
diskusikan merembet pada masalah khilafiyah, ijtihad, dan madzab. Terjadinya
perbedaan pendapat antara Mas Mansur dengan Abdul Wahab Hasbullah mengenai
masalah-masalah tersebut yang menyebabkan Mas Mansur keluar dari Taswir al
Afkar.
Mas Mansur
juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran
pembaharuannya dituangkannya dalam media massa. Majalah yang pertama kali
diterbitkan bernama Suara Santri. Kata santri digunakan sebagai nama majalah,
karena pada saat itu kata santri sangat digemari oleh masyarakat. Oleh karena
itu, Majalah Suara Santri mendapat sukses yang gemilang. Majalah Jinem
merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas Mansur. Majalah ini
terbit dua kali sebulan dengan menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab. Kedua
majalah ini merupakan sarana untuk
menuangkan pikiran-pikirannya untuk mengajak para pemuda melatih
mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui majalah itu Mas Mansur
mengajak kaum Muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan. Disamping
itu, Mas Mansur juga pernah menjadi redaktur majalah Kawan Kita di Surabaya.
Tulisan-tulisan
Mas Mansur pernah dimuat di Majalah Siaran dan Majalah Kentungan Surabaya,
Majalah Penganjur dan Majalah Islam Bergerak di Yogyakarta, Majalah Panji Islam
dan Majalah Pedoman Masyarakat di Medan dan Majalah Adil di Solo. Di samping
melalui majalah-majalah, Mas Mansur juga menuliskan ide dan gagasannya dalam
bentuk buku, antara lain yaitu Hadits Nabawiyah, Syarat Syahnya Nikah, Risalah
Tauhid dan Syirik, dan Adab al Bahts wa al-Munadlarah.
Di samping
aktif dalam bidang tulis menulis, dia juga aktif dalam organisasi, meskipun
aktivitasnya dalam organisasi menyita waktunya dalam dunia jurnalistik. Pada
tahun 1921, Mas Mansur masuk organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansur
dalam Muhammadiyah membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah
sebagai organisasi pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur selalu
dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni
setelah Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul
Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak dari tangga tersebut adalah ketika Mas
Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943. (lut)..
Sumber: Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2004
0 comments:
Post a Comment