Jangan Benturkan Muhammadiyah dengan Pemerintah
Sunday, January 13, 2013
0
comments

Tetapi
kita juga ingat bahwa Sri Sultan pulalah yang memberikan jalan agar KH Ahmad
Dahlan menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu keislaman di Arab.
Momentum ini mungkin menjadi bentuk riil dukungan Kraton terhadap Muhammadiyah,
yang di sisi lain mendapatkan tentangan dari kelompok sepuh. Hubungan antara
Kraton dan Muhammadiyah, seperti juga hubungannya dengan pemerintah. Di era
Soekarno, Muhammadiyah mengalami masa yang bisa dikatakan tak begitu terusik.
Ini karena memang kebijakan era Soekarno yang membiarkan berbagai ormas/gerakan
untuk tumbuh. Meskipun riak-riak kecil juga terjadi. Sejarah mencatat Soekarno
pernah menjadi pengurus Muhammadiyah ketika beliau dalam pengasingan. Bahkan
konon pernah meminta agar saat meninggal jasadnya ditutupi bendera
Muhammadiyah.
Orde
baru, di era Soeharto ini Muhammadiyah mendapatkan angin segar. Soeharto
sendiri merupakan salah satu siswa yang pernah sekolah di sekolah Muhammadiyah.
Beberapa kader Muhammadiyah juga diberi peluang untuk menduduki jabatan sebagai
menteri Kabinet Pembangunan. Termasuk menteri agama dan pendidikan. Hubungan
itu pernah menjadi goyah saat orang-orang di sekitar Soeharto menyodorkan agar
negara menerapkan azas tunggal bagi Parpol dan Ormas. Muhammadiyah jelas
menolaknya. Lalu mencoba berdiri dengan gagah menentang. Meskipun pada akhirnya
diambil jalan tengah, azas Pancasila hanya dijadikan symbol saja, sebagai
bagian dari strategi agar tidak dibubarkan. Tetapi di era ini harus diakui
Muhammadiyah mendapatkan banyak kemajuan, termasuk bermunculannya banyak
perguruan tinggi Muhammadiyah. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
merupakan salah satu PTM yang dibantu oleh Soeharto.
Pasca
reformasi, atau tepatnya di akhir orde baru. Pucuk pimpinan Muhammadiyah
diambil-alih oleh para cendekiawan. Bergeser dari sebelumnya yang banyak dihuni
para Kyai. Sikap kecendekiawanan ini membawa Muhammadiyah berani lantang
mengkritik Muhammadiyah, dimulai dari Amin Rais, Syafii Ma’arif, lalu Din
Syamsudin. Hubungan semakin memburuk ketika unsure politis mewarnai sikap
Muhammadiyah terhadap pemerintah. Sebagai missal, Amin Rais mendirikan PAN, Din
Syamsudin yang didorong terlibat dalam PMB dan lainnya. Sikap bernuansa politis
ini semakin kelihatan saat Muhammadiyah secara tidak langsung mendukung Jusuf
Kalla dalam Pilpres 2009 lalu. Akibatnya Muhammadiyah mendapatkan cap ‘oposisi’
dari pemerintahan SBY.
Ini
tentu sangat merugikan persyarikatan, apalagi dengan pernyataan-pernyataan
Ketum PP Muhammadiyah, Din Syamsudin yang kerap mengkritik kebijakan pemerintah
secara lantang. Berbeda sekali dengan cara Pak AR, yang mengkritik lewat Surat,
bahkan berani mengkritik Paus juga lewat surat. Belum lagi sikap Pak Din yang
kerap menimbulkan pertanyaan, mulai dari terlibat dalam urusan selebritis,
masuk dalam forum-forum lintas agama dengan pluraslisme-nya (pluralitas adalah
kenyataan, tetapi jika sudah masuk kepada pluralisme itu merupakan ideologi),
hingga prakarsa-prakarsa yang terkadang bagi penilaian saya sebagai orang awam,
jauh dari nuansa dakwah.
Maka
sebagai anggota Muhammadiyah, penulis sangat berharap agar para pimpinan
Muhammadiyah tidak terus-menerus membenturkan Muhammadiyah dengan pemerintah.
Bagaimanapun Muhammadiyah lahir dan tumbuh di negara ini, jika bisa beriringan
sambil terus mengingatkan, mengapa harus saling menjatuhkan?
0 comments:
Post a Comment