Petani Bijaksana dan Tabir Langit
Wednesday, January 2, 2013
0
comments
Jika
kebetulan saat makan pagi tadi, kita menyisakan sebulir nasi, mungkin tidak
begitu merisaukan. Tapi tahukah, seorang petani harus menunggu selama tiga
bulan untuk bisa menghasilkan sebulir padi. Maka Raulullah sangat menganjurkan
membersihkan makanan hingga bersih ketika makan. Hingga tidak ada sisa. Saya
heran bila ada yang terbiasa menyisakan makanan dengan dalih 'sudah kenyang'
padahal mereka mengambil makanan sendiri. Ini banyak terjadi di pesta-pesta,
termasuk pesta pernikahan.
Suatu hari
saya berbincang dengan seorang petani. Saya heran dengan beliau, setahu saya
beliau berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Ayahnya seorang pegawai
kalurahan dan membantu pencatat nikah kalau tidak keliru namanya igama. Sebuah
posisi yang cukup lumayan di awal-awal orde baru. Begitupun dari segi
pendidikan, beliau cukup terdidik dan pintar, hampir semua teman sekelasnya
menjadi pegawai. Adik-adiknya pun punya pekerjaan yang cukup mapan. Anehnya beliau justru memilih jadi
petani. Pekerjaan yang mungkin dianggap kurang bergengsi, yang namanya sering
dicatut para pengobral janji saat kampanye di negeri gombal, 'atas nama
petani', 'demi petani' dan sebagainya.
Keheranan
saya kadang berubah jadi kejengkelan, kenapa beliau justru memilih jadi petani.
Hingga tiba waktu itu, saya memberanikan diri bertanya.
"Menjadi
petani itu lebih terjaga kehalalannya, tidak mengganggu orang lain, dan banyak
melatih tawakkal."
Jawaban
sederhana yang di luar dugaan saya. Suatu filosofi yang sangat dalam saya
rasakan. Hingga mulai saat itu saya berjanji tidak akan menanyakan lagi
pilihannya menjadi seorang petani.
Saya
teringat dengan sabda Rasulullah, "Tak seorangpun di antara kaum Muslim
yang menanam sebuah pohon atau menyebarkan benih-benih, dan kemudian seekor
burung, atau seorang manusia atau binatang apapun memakannya, kecuali hal itu
merupakan hadiah yang murah hati baginya." (Sahih Bukhari dari Anas bin
Malik)
Lelaki yang
memilih menjadi petani itu, Bapak saya sendiri
Sumber: catatan di akun FB eko sang pencerah
0 comments:
Post a Comment