Redenominasi Untuk Apa?
Monday, January 28, 2013
0
comments
Belum
lama ini perusahaan konsultan global McKinsey&Company mengeluarkan
laporannya tentang potensi Indonesia hingga 2030. Laporan ini nampaknya dibuat
dengan sangat serius karena merupakan hasil interview dengn sejumlah menteri,
akademisi dan pelaku usaha. Meskipun banyak manfaatnya karena dari laporan ini
kita ‘bisa melihat’ kedepan, namun tetap saja kita harus sikapi dengan kritis
karena laporan-laporan semacam ini tentu dibuat bukan tanpa kepentingan.
Hal-hal
yang positif tentang laporan ini misalnya mengungkapkan bahwa Indonesia akan
menjadi kekuatan ekonomi ke 7 terbesar di dunia tahun 2030. Bahwa berbeda
dengan negeri tetangga, untuk tumbuh kita tidak sepenuhnya tergantung pada
pasar ekspor karena 65% dari GDP kita berasal dari pasar domestik.
Hal
lain yang juga positif adalah potensi ekonomi Indonesia dari sektor perikanan
dan pertanian yang dianggapnya akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi
rata-rata di angka 7% seperti dalam ilustrasi disamping.
Selanjutnya
yang juga saya setuju adalah untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang
rata-rata tinggi tersebut, Indonesia harus secara sungguh-sungguh berinvestasi
pada sumber daya manusia – khususnya pada peningkatan skills di berbagai sektor
kehidupan. Pertumbuhan 7% tersebut menurut McKinsey hanya bisa dicapai bila ada
peningkatan produktifitas rata-rata sekitar 60% dari sekarang sampai 2030.
Selain
memberikan kabar baik, McKinsey juga memberikan peringatan yang perlu kita
waspadai – yaitu khususnya yang terakit dengan pemerataan kesejahteraan.
Menurut laporannya tersebut tahun 2030 – yang hanya 17 tahun dari sekarang,
ketika anak Anda yang baru lahir menginjak usianya yang ke 17, 20 % dari
penduduk Indonesia atau sekitar 55 juta orang saat itu akan tidak memiliki
akses terhadap sanitasi dasar, dan sekitar 25 juta diantaranya bahkan akan
kesulitan memperoleh air bersih.
Masalah
air inilah yang dalam tulisan saya sebelumnya “Barakah Bukan Musibah…” mengajak untuk mensikapi dan menindak
lanjutinya dengan benar. Bila otoritas negeri ini bisa mengelola air yang belum
lama ini menjadi bencana, menjadi air baku yang tersimpan dengan baik di
sejumlah waduk-waduk – maka peringatan McKinsey untuk problem air tersebut di
atas insyaAllah tidak perlu terjadi.
Hal
lain yang saya kurang sependapat dengan McKinsey adalah pertumbuhan ekonomi
yang mengandalkan financial services. Saat ini rata-rata penduduk Indonesia
hanya memiliki 2.3 produk yang terkait dengan jasa keuangan, sementara Malaysia
rata-rata 5.4 dan Singapore rata-rata 7.7. Menurutnya Indonesia akan mendekati
Malaysia atau bahkan Singapore ketika penghasilan kita tumbuh.
Pertumbuhan
financial services membuat kekayaan masyarakat terpusat di
perusahaan-perusahaan pengumpul dana masyarakat seperti bank, asuransi dlsb.
Ketika dana itu terpusat pada segelintir institusi, maka yang bisa
mengakses-pun hanya segelintir pihak. Masyarakat kebanyakan menabung dengan
hasil yang pas-pasan bahkan sering kalah dengan laju inflasi, sementara
segelintir orang yang memiliki privilege
akses terhadap capital yang terkonsentrasi akan menjadi semakin besar.
Kapitalisme
ribawi tumbuh semakin besar peranannya dalam ekonomi masyarakat, manakala
ditopang oleh industry jasa keuangan yang semakin besar. Mengapa 9 dari 10 pensiunan
tidak siap secara finansiil ?, karena kekayaan mereka selama bekerja puluhan
tahun tersimpan di berbagi produk jasa keuangan seperti dana pensiun, asuransi,
deposito, tabungan dlsb.
Dari
realita bahwa produk-produk jasa keuangan tersebut yang tidak mampu memakmurkan
pemiliknya, mengapa harus diandalkan menjadi area pertumbuhan ?. Adakah orang
bisa makmur dengan menabung ? Apakah para pensiunan - yang terbukti telah
menabung selama puluhan tahun - bisa menjaga kwalitas kehidupannya dengan
mengandalkan dana pensiun dan hasil deposito-nya ?.
Jadi
darimana pertumbuhan itu terjadi mestinya ?, dari uang yang beredar dan
berputar dengan cepat di masyarakat yang luas untuk menggerakkan sektor
produksi dan sektor perdagangan. Inilah sektor-sektor yang secara riil
memakmurkan masyarakat luas itu.
Jadi
dalam 17 tahun dari sekarang, fokus tenaga terampil yang kita perlu bangun
mestinya adalah untuk menguasai sektor-sektor produksi dari berbagai bidang dan
juga sektor-sektor perdagangannya yang terkait. Agar kemakmuran merata, agar
tidak terjadi 55 juta orang miskin tidak bisa mengakses sanitasi dengan baik
sebagaimana skenario-nya McKinsey tersebut di atas.
Hal
lain adalah daya beli atau ukuran kemakmuran yang sesungguhnya. Dengan skenario
pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 % dan pertumbuhan jumlah penduduk rata-rata
1.15% , maka GDP per capita Indonesia akan berada di kisaran US$ 9,000 s/d US$
10,000,- makmurkah kita saat itu ?. Standar US$-nya yang jadi masalah !.
Dengan
pendapatan per capita rata-rata saat ini sebesar US$ 3,500,- ; rata-rata
penghasilan orang Indonesia cukup untuk membeli sekitar 15 ekor kambing
setahun. Bila tingkat penurunan daya beli Dollar 17 tahun mendatang sama dengan
tingkat penurunannya selama 17 tahun yang lewat, maka penghasilan rata-rata
sebesar US$ 10,000 tersebut akan setara kurang dari 10 ekor kambing. Artinya
mengukur kemakmuran dengan timbangan US$ akan bias dan tidak bisa menggambarkan
kemakmuran yang sesungguhnya.
Hal
yang sama terjadi bila kita lakukan dengan Rupiah sekarang, penghasilan
rat-rata per kapita kita saat ini yang berada di kisaran Rp 30.8 juta, akan
menjadi sekitar Rp 100 juta pada tahun 2030 – bila otoritas moneter mampu
menjaga nilai tukar Rupiah tidak lebih dari Rp 10,000/US$ sampai tahun
tersebut.
Pertanyaannya
adalah dengan pendapatan per capita kita di angka Rp 100 juta per tahun untuk
tahun 2030, makmur kah kita ?. Lagi-lagi timbangan kambing (Dinar !) yang bisa
mengukurnya dengan akurat. Pendapatan sekarang yang di angka Rp 30.8 juta
kurang lebih cukup untuk membeli sekitar 15 ekor kambing untuk qurban yang
baik.
Pendapatn
Rp 100 juta tahun 2030 hanya cukup untuk membeli sekitar 2.5 ekor kambing
ukuran qurban yang baik. Dengan Rupiah sekarang, harga kambing qurban saat itu
akan mencapai Rp 40,000,000 ! tidak masuk akalkah ?.
Ketika
tahun 1970, harga seekor kambing qurban yang baik masih di kisaran angka Rp
2,100,- tentu tidak terbayang oleh bapak-bapak kita saat itu bahwa suatu saat
nanti ketika anaknya dewasa (yaitu jaman kita) harga kambing qurban menjadi Rp
2,100,000 per ekor. Harga kambing menjadi 1,000 kali lebih mahal dari harga
kambing saat itu !.
Sesuatu
yang tidak masuk di akal itu terjadi melalui apa yang disebut inflasi – yang
terjadi secara gradual terus menerus tahun demi tahun !. Jadi dengan tingkat
inflasi yang ada sekarang, tidak sulit bagi kita untuk membayangkan harga
kambing akan naik hampir 20 kalinya dalam 17 tahun mendatang menjadi di kisaran
Rp 40,000,000 per ekor.
Akan
terlalu banyak angka nol untuk harga seekor kambing, maka sebelum itu terjadi –
angka nol ini harus dibuang dahulu. Itulah relevansinya kebijakan redenominasi
yang digagas pemerintah dan BI itu. Pada tahun 2030, harga kambing hanya akan
menjadi Rp 40,000,- tetapi bukan Rupiah yang kita kenal sekarang – Rupiah kita
yang telah dibuang tiga angka nolnya !
Jadi
saya setuju dengan pemerintah dan BI untuk redenominasi, tetapi dengan alasan
yang sedikit berbeda. Nggak tega saja membeli seekor kambing dengan harga Rp
40,000,000 ! Wa Allahu A’lam.
Sumber: geraidinar.com
____________________________
Penulis adalah ahli dan Praktisi ekonomi
Islam
Pemilik Gerai Dinar dan beberapa usaha lain
Alumni SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta
Beberapa pekan lalu beliau berkenan
bersilaturahim
dan memberikan pencerahan bagi PCPM Minggir
Saat ini penulis tinggal di Depok Jabar.
0 comments:
Post a Comment