“Mengapa Kita Menolak RUU Kesetaraan Gender (1)
Sunday, February 3, 2013
0
comments
Oleh:
Dr. Adian Husaini
HARIAN
Republika (Jumat, 16/3/2012), memberitakan, bahwa Rancangan Undang-undang
Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) sudah mulai dibahas secara terbuka di
DPR. Suara pro-kontra mulai bermunculan. Apakah kita – sebagai Muslim – harus
menerima atau menolak RUU KKG tersebut?
Jika
menelaah Draf RUU KKG/Timja/24/agustus/2011 -- selanjutnya kita sebut RUU KKG –
maka sepatutnya umat Muslim MENOLAK draf RUU ini. Sebab, secara mendasar
berbagai konsep dalam RUU tersebut bertentangan dengan konsep-konsep dasar
ajaran Islam. Ada sejumlah alasan yang mengharuskan kita – sebagai Muslim dan
sebagai orang Indonesia – menolak RUU KKG ini.
Pertama,
definisi “gender” dalam RUU ini sudah bertentangan dengan konsep Islam tentang
peran dan kedudukan perempuan dalam Islam. RUU ini mendefinisikan gender
sebagai berikut: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki
dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak
tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat,
dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.” (pasal
1:1)
Definisi
gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam, tugas,
peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang
domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan
tidak semuanya merupakan produk budaya.
Tanggung
jawab laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah keluarga adalah
berdasarkan wahyu (al-Quran dan Sunnah Rasul). Sepanjang sejarah Islam, di
belahan dunia mana saja, tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga sudah
dipahami, merupakan perkara yang lazim dalam agama Islam (ma’lumun minad din
bid-dharurah). Bahwa yang menjadi wali dan saksi dalam pernikahan adalah
laki-laki dan bukan perempuan. Ini juga sudah mafhum.
Karena
berdasarkan pada wahyu, maka konsep Islam tentang pembagian peran laki-laki dan
perempuan itu bersifat abadi, lintas zaman dan lintas budaya. Karena itu, dalam
tataran keimanan, merombak konsep baku yang berasal dari Allah SWT ini sangat
riskan. Jika dilakukan dengan sadar, bisa berujung kepada tindakan
pembangkangan kepada Allah SWT. Bahkan, sama saja ini satu bentuk keangkuhan,
karena merasa diri berhak menyaingi Tuhan dalam pembuatan hukum. (QS at-Taubah:
31).
Jadi,
cara pandang yang meletakkan pembagian peran laki-laki dan perempuan (gender)
sebagai budaya ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, sifat syariat
Nabi Muhammad saw – sebagai nabi terakhir dan diutus untuk seluruh manusia
sampai akhir zaman – adalah universal dan final. Zina haram, sampai kiamat.
Khamr haram di mana pun dan kapan pun. Begitu juga suap adalah haram. Babi
haram, di mana saja dan kapan saja. Konsep syariat seperti ini bersifat lintas
zaman dan lintas budaya.
Syariat
Islam jelas bukan konsep budaya Arab. Saat Nabi Muhammad saw memerintahkan
seorang istri untuk taat kepada suaminya – dalam hal-hal yang baik – maka
perintah Nabi itu berlaku universal, bukan hanya untuk perempuan Arab abad ke-7
saja. Umat Islam sepanjang zaman menerima konsep batas aurat yang universal;
bukan tergantung budaya. Sebab, fakta menunjukkan, di mana saja dan kapan saja,
perempuan memang sama. Sudah ribuan tahun perempuan hidup di bumi, tanpa
mengalami evolusi. Matanya dua, hidung satu, payudaranya dua, dan juga
mengalami menstruasi. Perempuan juga sama saja, dimana-mana. Hanya warna kulit
dan mungkin ukuran tubuhnya berbeda-beda. Karena sifatnya yang universal, maka
konsep syariat Islam untuk perempuan pun bersifat universal.
Memang,
tidak dapat dipungkiri, dalam aplikasinya, ada unsur-unsur budaya yang masuk.
Misalnya, konsep Islam tentang perkawinan pada intinya di belahan dunia mana
saja tetaplah sama: ada calon suami, calon istri, saksi, wali dan ijab qabul.
Tetapi,
dalam aplikasinya, bisa saja unsur budaya masuk, seperti bisa kita lihat dalam
pelaksaan berbagai upacara perkawinan di berbagai daerah di Indonesia.
Alasan
kedua untuk menolak RUU Gender sangat western-oriented. Para pegiat kesetaraan
gender biasanya berpikir, bahwa apa yang mereka terima dari Barat – termasuk
konsep gender WHO dan UNDP – harus ditelan begitu saja, karena bersifat
universal. Mereka kurang kritis dalam melihat fakta sejarah perempuan di Barat
dan lahirnya gerakan feminisme serta kesetaraan gender yang berakar pada
”trauma sejarah” penindasan perempuan di era Yunani kuno dan era dominasi
Kristen abad pertengahan.
Konsep-konsep
kehidupan di Barat cenderung bersifat ekstrim. Dulu mereka menindas perempuan
sebebas-bebasnya, sekarang mereka membebaskan perempuan sebebas-bebasnya. Dulu,
mereka menerapkan hukuman gergaji hidup-hidup bagi pelaku homoseksual. Kini,
mereka berikan hak seluas-luasnya bagi kaum homo dan lesbi untuk menikah dan
bahkan memimpin geraja.
Lihatlah,
kini konsep keluarga ala kesetaraan gender yang memberikan kebebasan dan
kesetaraan secara total antara laki-laki dan perempuan telah berujung kepada
problematika sosial yang sangat pelik. Di Jerman, tahun 2004, sebuah survei
menunjukkan, pertumbuhan penduduknya minus 1,9. Jadi, bayi yang lahir lebih
sedikit dari pada jumlah yang mati.
Peradaban
Barat juga memandang perempuan sebagai makhluk individual. Sementara Islam
meletakkan perempuan sebagai bagian dari keluarga. Karena itulah, dalam Islam
ada konsep perwalian. Saat menikah, wali si perempuan yang menikahkan; bukan
perempuan yang menikahkan dirinya sendiri. Ini satu bentuk pernyerahan tanggung
jawab kepada suami. Di Barat, konsep semacam ini tidak dikenal. Karena itu
jangan heran, jika para pegiat gender biasanya sangat aktif menyoal konsep
perwalian ini. Sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa dalam pernikahan Islam,
yang menikah adalah antara laki-laki (wali) dengan laki-laki (mempelai
laki-laki).
Simaklah
bagaimana kuatnya pengaruh cara pandang Barat dalam konsep ”kesetaraan gender”
seperti tercantum dalam pasal 1:2 RUU Gender yang sedang dibahas saat ini:
“Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan
laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol,
dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.” (pasal 1:2).
Renungkanlah
konsep semacam ini. Betapa individualistiknya. Laki-laki dan perempuan harus
disamakan dalam semua bidang kehidupan. Lalu, didefinsikan juga:
“Diskriminasi
adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk
kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai
pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan
manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari
status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.” (pasal
1:4).
Jika
RUU Gender ini akan menjadi Undang-undang dan memiliki kekuatan hukum yang
tetap, maka akan menimbulkan penindasan yang sangat kejam kepada umat Muslim –
atau agama lain – yang menjalankan konsep agamanya, yang kebetulan berbeda
dengan konsep Kesetaraan Gender. Misalnya, suatu ketika, orang Muslim yang
menerapkan hukum waris Islam; membagi harta waris dengan pola 2:1 untuk
laki-laki dan perempuan akan bisa dijatuhi hukuman pidana karena melakukan
diskriminasi gender. Jika ada orang tua menolak mengawinkan anak perempuannya
dengan laki-laki beragama lain, bisa-bisa di orang tua akan dijatuhi hukuman
pula. Bagaimana jika kita membeda-bedakan jumlah kambing untuk aqidah antara
anak laki-laki dan perempuan?
Alasan
ketiga, RUU Gender ini sangat SEKULAR. RUU ini membuang dimensi akhirat dan
dimensi ibadah dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan. Peradaban
sekular tidak memiliki konsep tanggung jawab akhirat. Bagi mereka segala urusan
selesai di dunia ini saja. Karena itu, dalam perspektif sekular, ”keadilan”
hanya diukur dari perspektif dunia. Bagi mereka tidaklah adil jika laki-laki
boleh poligami dan wanita tidak boleh poliandri. Bagi mereka, adalah tidak
adil, jika istri keluar rumah harus seijin suami, sedangkan suami boleh keluar
rumah tanpa izin istri.
Bagi
mereka, tidak adil jika laki-laki dalam shalatnya harus ditempatkan di shaf
depan. Dan sebagainya. Jika seorang perempuan terkena pikiran seperti ini, maka
pikiran itu yang perlu diluruskan terlebih dulu. Biasanya ayat-ayat al-Quran
dan hadits Rasulullah saw tidak mempan bagi mereka, karena ayat-ayat itu pun
akan ditafsirkan dalam perspektif gender. Sebenarnya, perempuan yang kena paham
ini patut dikasihani, karena mereka telah salah paham. Mereka hanya melihat
aspek dunia. Hanya melihat aspek hak, dan bukan aspek tanggung jawab dunia dan
akhirat.
Padahal,
dalam perspektif Islam, justru Allah memberi karunia yang tinggi kepada
perempuan. Mereka dibebani tanggung jawab duniawi yang lebih kecil ketimbang
laki-laki. Tapi, dengan itu, mereka sudah bisa masuk sorga, sama dengan
laki-laki. Perempuan tidak perlu capek-capek jadi khatib Jumat, menjadi saksi
dalam berbagai kasus, dan tidak wajib bersaing dengan laki-laki berjejalan di
kereta-kereta. Perempuan tidak diwajibkan mencari nafkah bagi keluarga. Dan sebagainya.
Sementara
itu, kaum laki-laki mendapatkan beban dan tanggung jawab yang berat. Kekuasaan
yang besar juga sebuah tanggung jawab yang besar di akhirat. Jika dilihat dalam
perspektif akhirat, maka suami yang memiliki istri lebih dari satu tentu tanggung
jawabnya lebih berat, sebab dia harus menyiapkan laporan yang lebih banyak
kepada Allah. Adalah keliru jika orang memandang bahwa menjadi kepala negara
itu enak. Di dunia saja belum tentu enak, apalagi di akhirat. Sangat berat
tanggung jawabnya.
”Dimensi
akhirat” inilah yang hilang dalam berbagai pemikiran tentang ”gender”. Termasuk
dalam RUU Gender yang sedang dibahas di DPR. Perspektif dari RUU ini sangat
sekuler. (saeculum=dunia); hanya menghitung aspek dunia semata. Jika dimensi
akhirat dihilangkan, maka konsep perempuan dalam Islam akan tampak timpang.
Sebagai contoh, para aktivis gender sering mempersoalkan masalah ”double
burden” (beban ganda) yang dialami oleh seorang perempuan karir.
Disamping
bekerja di luar rumah, dia juga masih dibebani mengurus anak dan berbagai
urusan rumah tangga. Si perempuan akan sangat tertekan jiwanya, jika ia
mengerjakan semua itu tanpa wawasan ibadah dan balasan di akhirat. Sebaliknya,
si perempuan akan merasa bahagia saat dia menyadari bahwa tindakannya adalah satu
bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Karena
itu, jika Allah tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk berkiprah dalam
berbagai hal, bukan berarti Allah merendahkan martabat perempuan. Tapi, justru
itulah satu bentuk kasih sayang Allah kepada perempuan. Dengan berorientasi
pada akhirat, maka berbagai bentuk amal perbuatan akan menjadi indah. Termasuk
keridhaan menerima pembagian peran yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Pada
akhirnya, dalam menilai suatu konsep – seperti konsep Kesetaraan Gender –
seorang harus memilih untuk menempatkan dirinya: apakah dia rela menerima Allah
SWT sebagai Tuhan yang diakui kedaulatannya untuk mengatur hidupnya? Seorang
Muslim, pasti tidak mau mengikuti jejak Iblis, yang hanya mengakui keberadaan
Allah SWT sebagai Tuhan, tetapi menolak diatur oleh Allah SWT. Seolah-olah,
manusia semacam ini berkata kepada Allah SWT: ”Ya Allah, benar Engkau memang
Tuhan, tetapi jangan coba-coba mengatur hidup saya! Karena saya tidak perlu
segala macam aturan dari-Mu. Saya sudah mampu mengatur diri saya sendiri!”
Na’dzubillahi min-dzalika.
****
Tidak
bisa dipungkiri, penyebaran paham ”kesetaraan gender” saat ini telah menjadi
program unggulan dalam proyek liberalisasi Islam di Indonesia. Banyak
organisasi Islam yang memanfaatkan dana-dana bantuan sejumlah LSM Barat untuk
menggarap perempuan-perempuan muslimah agar memiliki paham kesetaraan gender
ini. Perempuan muslimah kini didorong untuk berebut dengan laki-laki di lahan
publik, dalam semua bidang. Mereka diberikan angan-angan kosong, seolah-olah
mereka akan bahagia jika mampu bersaing dengan laki-laki.
Kedepan,
tuntutan semacam ini mungkin akan terus bertambah, di berbagai bidang
kehidupan. Sesuai dengan tuntutan pelaksaan konsep Human Development Index
(HDI), wanita dituntut berperan aktif dalam pembangunan, dengan cara terjun ke
berbagai sektor publik. Seorang wanita yang dengan tekun dan serius menjalankan
kegiatannya sebagai Ibu Rumah Tangga, mendidik anak-anaknya dengan baik, tidak
dimasukkan ke dalam ketegori ”berpartisipasi dalam pembagunan”. Tentu, konsep
semacam ini sangatlah aneh dalam perspektif Islam dan nilai-nilai tradisi yang
juga sudah dipengaruhi Islam.
Daripada
bergelimang ketidakpastian dan dosa, mengapa pemerintah dan DPR tidak
mengajukan saja ”RUU Keluarga Sakinah” yang jelas-jelas mengacu kepada
nilai-nilai Islam? Buat apa RUU Gender diajukan dan dibahas? Dari tiga naskah
akademik yang saya baca, tampak tidak ada dasar pemikiran yang kuat untuk
mengajukan RUU Kesetaraan Gender ini. RUU ini cenderung membesar-besarkan
masalah, dan lebih menambah masalah baru. Belum lagi jika RUU ini melanggar
aturan Allah SWT, pasti akan mendatangkan kemurkaan Allah SWT.
Tugas
kita hanya mengingatkan! Wallahu a’lam bil-shawab.
*) Penulis Ketua Program Studi
Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor). Catatan
Akhir Pekan (CAP) bekerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Sumber: Hidayatullah.com
0 comments:
Post a Comment