Benarkah Habib itu Wali Allah?
Wednesday, August 7, 2013
0
comments
Ketika disebut kata habib, maka yang
langsung terbayang dalam benak kita adalah seorang keturunan Rasulullah yang
memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki orang lainnya dan merupakan seorang
wali Allah. Itulah yang dapat ditangkap dari pemahaman masyarakat terhadap
habib ini. Lalu siapakah wali Allah yang
sebenarnya? Apakah benar setiap habib adalah wali Allah?
Definisi Wali
Secara etimologi, kata wali adalah lawan
dari ‘aduwwu (musuh) dan muwaalah adalah lawan dari muhaadah (permusuhan). Maka
wali Allah adalah orang yang mendekat dan menolong (agama) Allah atau orang
yang didekati dan ditolong Allah. Definisi ini semakna dengan pengertian wali
dalam terminologi Alquran, sebagaimana Allah berfirman,
أَلآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ
اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونَ {62} الَّذِينَ ءَامَنُوا وَكَانُوا
يَتَّقُونَ {63}
“Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan selalu
bertakwa.”(QS. Yunus: 62–63)
Dari ayat tersebut, wali adalah orang
yang beriman kepada Allah dan apa yang datang dari-Nya yang termaktub dalam
Alquran dan terucap melalui lisan Rasul-Nya, memegang teguh syariatnya lahir
dan batin, lalu terus menerus memegangi itu semua dengan dibarengi muroqobah
(merasa diawasi oleh Allah), kontinyu dengan sifat ketakwaan dan waspada agar
tidak jatuh ke dalam hal-hal yang dimurkai-Nya berupa kelalaian menunaikan
kewajiban dan melakukan hal yang diharamkan. (Lihat Muqoddimah Karomatul
Auliya’, Al-Lalika’i, Dr. Ahmad bin Sa’d Al-Ghomidi, 5:8).
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan,
“Allah Ta’ala menginformasikan bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang
beriman dan bertakwa. Siapa saja yang bertakwa ,maka dia adalah wali Allah.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 2:384).
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga
menjelaskan dalam Syarah Riyadhus Shalihin no.96, bahwa wali Allah adalah
orang-orang yang beriman dan bertakwa. Mereka merealisasikan keimanan di hati
mereka terhadap semua yang wajib diimani, dan mereka merealisasikan amal sholih
pada anggota badan mereka, dengan menjauhi semua hal-hal yang diharamkan
seperti meninggalkan kewajiban atau melakukan perkara yang haram. Mereka
mengumpulkan pada diri mereka kebaikan batin dengan keimanan dan kebaikan lahir
dengan ketakwaan, merekalah wali Allah.
Wali Allah Adalah yang Beriman Kepada
Rasulullah shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
kitabnya yang berjudul Al Furqon Baina Auliya’ir Rohman wa Auliya’us Syaithon
Hal.34 mengatakan, “Wali Allah hanyalah orang yang beriman kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beriman dengan apa yang dibawanya, dan
mengikutinya secara lahir dan batin. Barangsiapa yang mengaku mencintai Allah
dan wali-Nya, namun tidak mengikuti beliau maka tidak termasuk wali Allah
bahkan jika dia menyelisihinya dan berbuat bid’ah, maka termasuk musuh Allah
dan wali setan. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِن كُنتُمْ
تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah: ‘Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu’.” (QS. Ali Imran: 31)
Hasan Al Bashri berkata, “Suatu kaum
mengklaim mencintai Allah, lantas Allah turunkan ayat ini sebagai ujian bagi
mereka.”
Allah sungguh telah menjelaskan dalam
ayat tersebut, barangsiapa yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka Allah akan mencintainya. Namun siapa yang mengklaim mencintai-Nya
tapi tidak mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak termasuk
wali Allah. Walaupun banyak orang menyangka dirinya atau selainnya sebagai wali
Allah, tetapi kenyataannya mereka bukan wali-Nya.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa
cakupan definisi wali ini begitu luas, mencakup setiap orang yang memiliki keimanan
dan ketakwaan. Maka wali Allah yang paling utama adalah para nabi. Para nabi
yang paling utama adalah para rasul. Para Rasul yang paling utama adalah ‘ulul
azmi. Sedang ‘ulul azmi yang paling utama adalah Nabi kita Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Dengan demikian sangat salah suatu
pemahaman yang berkembang di masyarakat kita saat ini, bahwa wali itu hanya
monopoli orang-orang tertentu, semisal ulama, habib, kyai, apalagi hanya
terbatas pada orang yang memiliki ilmu yang aneh-aneh dan sampai pada orang
yang meninggalkan kewajiban syariat yang dibebankan padanya.
Kalau pun benar seseorang merupakan
keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal itu hanya
keistimewaan dari segi nasab saja, apabila ia tidak beriman dan beramal sholih
sesuai tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam keistimewaan itu
akan terkubur sia-sia dan tidak akan berarti. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Wahai kaum Quraisy –
atau perkataan yang mirip ini-, selamatkanlah jiwa kalian sesungguhnya aku
tidak bisa menolong kalian sama sekali. Wahai bani Abdu Manaf, aku sama sekali
tidak bisa menolong kalian. Wahai Abbas bin Abdilmuttholib, aku tidak bisa
menolongmu sama sekali. Wahai Sofiyah bibinya Rasululllah, aku sama sekali
tidak bisa menolongmu. Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah kepadaku apa yang
engkau kehendaki dari hartaku, aku sama sekali tidak bisa menolongmu.” (HR.
Al-Bukhari, no. 4771)
Maksudnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi dirinya dan keluarganya juga
beliau tidak mampu menolak kemudharatan dari dirinya dan keluarganya serta
tidak mampu mencegah adzab Allah yang akan menimpanya jika mereka bermaksiat
kepada Allah.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Ustadz Muhammad Abduh
Tuasikal dengan sedikit tambahan dari Tim Konsultasi Syariah
Sumber: konsultasisyariah.com
0 comments:
Post a Comment