Merajut Dakwah di Tengah Sejuta Gereja
Friday, July 25, 2014
0
comments
MASJID
itu berdiri tegak di bibir pantai Desa Paputungan, Kecamatan Likupang Barat,
Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Siapa sangka, di balik ketegaran masjid itu
menyimpan catatan dakwah yang menggelitik.
Bermula
dengan hadirnya seorang nelayan dari Bugis bernama Bake, tahun 1932. Ketika
itu, penduduk Desa Paputungan 100 persen beragama Kristen. Karena daerah ini banyak ikannya,
satu demi satu nelayan yang lain berdatangan hingga jumlahnya mencapai 20
orang. Selain dari suku Bugis, berdatangan pula nelayan dari suku Buton dan
Sangir Talaut. Nelayan pendatang ini semua Muslim.
Hingga
tahun 1965, jumlah pemeluk Islam terus
berkembang. Sadar jumlah umat Islam
semakin banyak, tahun 1966, Bake
mendirikan masjid yang diberi nama Hidayatullah.
“Masyarakat
setuju memberi nama Hidayatullah saat itu, karena semakin banyaknya warga setempat
yang mendapatkan petunjuk dari Allah Subhanahu Wata’ala,” kata Abdullah Bake
(66 tahun), anak dari Bake.
Puncaknya
pada tahun 1972, di mana jumlah umat Islam di Paputungan mencapai 200 jiwa.
Perkembangan komunitas Islam relatif cepat karena para nelayan yang datang
rata-rata masih bujang dan menikahi gadis non-Muslim yang kemudian masuk Islam.
Namun
di situlah awal tragedi itu dimulai. Imam Masjid Hidayatullah—yang merupakan
tokoh agama yang sangat dihormati kala
itu —satu demi satu meninggal dunia. Sebenarnya imam pertama, Firdaus Lapatanti
pulang ke Sulawesi (Bugis) karena alasan sakit, tapi imam kedua dan ketiga,
semuanya meninggal berturut-turut di tempat itu.
Kondisi
alamnya yang berbalut hutan belantara di sisi darat, dan dari sisi laut yang
ditingkahi gemuruh ombak, membuat
suasana kian mencekam. Maka satu demi satu masyarakat Muslim meninggalkan
kampung Paputungan. Masing-masing pergi dengan alasannya sendiri-sendiri. Akan
tetapi yang dapat ditangkap adalah rasa khawatir akan ditimpa bencana massal
setelah ditinggal mati para imam. Mereka merasa kehilangan tetua (tokoh)
Muslim. Jumlah mereka bahkan terus menyusut hingga tersisa 5 KK
“Akhirnya
masjid saya tutup, Pak!” kata Abdullah Bake kepada majalah ini.
Bangkit
Kembali
Tahun
2005 dapat dikatakan sebagai tahun kebangkitan Muslim Paputungan. Saat itu,
mereka kedatangan seorang dai bernama Dahlah Kambaura (46 tahun). Dalam salah
satu kegiatan dakwahnya ke daerah ini, Dahlan mengaku terenyuh.
Lebih
menyedihkan lagi, kata Dahlan, ketika dia melihat masjid. Kondisinya terkunci,
dindingnya bolong di sana-sini dan dipenuhi kotoran babi.
”Betul-betul
menyedihkan,” kata ayah 3 anak yang pernah nyantri di sebuah pondok pesantren
di daerah Kinilow, Manado ini.
Tidak
mau berlama-lama, Dahlan kemudian mencari seseorang yang menjadi panutan di
tempat itu. Ditemuilah Abdullah Bake. Baru saja Dahlan bermaksud menyampaikan
niat baiknya menghidupkan masjid,
Abdullah memberi tantangan.
”Kalau
Ustadz berani buka masjid, maka jangan coba tutup lagi,” tegasnya.
Maksud
Abdullah, dirinya telah menutup masjid tersebut selama 20 tahun, maka jangan
karena semangat yang sebentar, kemudian masjid ditutup kembali.
“Kalau
sekedar begitu, sebaiknya tidak usah dibuka lagi ini!” tegas Abdullah.
Tantangan
itu direspon Dahlan dengan mengumpulkan warga dan mengajaknya bermusyawarah,
kemudian membuat jaringan dengan markas dakwahnya di daerah Palaes. Dari situ
dibentuklah sebuah panitia renovasi masjid. Selanjutnya, sebagai sebuah
strategi, Dahlan setuju mengangkat
Kepala Desa Paputungan sebagai ketua panitia renovasi masjid. Yang
ditunjuk sebagai ketua itu tidak lain adalah seorang pendeta yang cukup
disegani di lingkungan setempat.
“Ini
memang cara kami membangun jembatan kebersamaan jangka panjang. Tapi
semangatnya dalam konteks ukhuwah bashariyah,” kata Dahlan menyampaikan alasan.
Kini proses renovasi masih jauh dari selesai. Namun, Dahlan tak kendor
mengedarkan proposal ke sana kemari. Jumlah total kebutuhan untuk renovasi
tempat wudhu, MCK, pembuatan pagar keliling agar tidak dimasuki babi,
pemasangan plafon sekitar Rp 28 juta.
Markas
Dakwah
Di
Palaes, sebuah desa yang termasuk dalam Kecamatan Likupang Barat, Minahasa
Utara(+-70 Km dari Manado), Dahlan sudah merintis dakwah sejak tahun 1993. Di
tempat ini terdapat sebuah masjid,
madrasah ibtidaiyyah (MI) dan madrasan tsanawiyah (MTS) untuk anak-anak Muslim.
Ada juga sebuah asrama dan sebuah ruangan yang dipakai untuk musholla.
Pemandangan
itu sangat kontras jika dibandingkan dengan jumlah gereja yang puluhan bahkan
ratusan di sepanjang jalan Manado-Bitung – Palaes. Hampir di setiap puluhan
meter, berdiri gereja gagah menjulang.
Posisi gereja juga rata-rata menempati tempat-tempat strategis di pinggir jalan
atau di lereng-lereng bukit yang mencolok.
Menurut
Hamid, muallaf kelahiran Minahasa Utara dari Gereja Advent, menjamurnya gereja
di tanah kelahirannya tidak terlepas dari jumlah sekte (aliran) dalam gereja di
Sulawesi Utara yang tidak kurang dari 82 sekte. Masing-masing mempunyai cara
ibadah sendiri, memiliki gereja dan tata hidup sendiri. Antara satu sekte tidak
bisa beribadat pada gereja yang lainnya.
Di
antara gereja-gereja itulah Dahlan berusaha mengibarkan bendera syiar. Dahlan
bergiat membangun seberapapun sederhananya sarana dakwah dan pendidikan.
Persoalan
yang dihadapi Dahlan yang dirasa sangat
vital adalah guru. Sekolah lanjutan pasca Madrasah Tsanawiyah (MTs)
belum ada. Walhasil, anak-anak lulusan dari MI dan MTs jika akan melanjutkan
sekolah harus ke sekolah Kristen.
Tentusaja, semua anak-anak Muslim
yang sekolah di situ wajib ikut
pelajaran agama maupun kegiatan kerohaniahannya.
“Kami
baru bisa menyediakan pendidikan setingkat MI dan MTs di sini,” jelas pria
kelahiran Palaes yang pendidikan SD dan SMP-nya ditempuh di sekolah milik
Kristen Advent.
Salah
seorang murid putrinya, sebut saja Bunga, yang melanjutkan SMU-nya di sebuah
pondok pesantren di kota Bitung pindah ke SMA Kristen di Palaes. Berangkat
sekolah dia berjilbab dan rok panjang. Sesampai di sekolah jilbab terpaksa
harus dilepas dan diganti rok pendek. Pulang barulah dipakai kembali.
Begitu
setiap hari yang dijalani Bunga hingga saat ini di kelas 2. Dahlan mengaku
sangat sedih, tapi tidak bisa berbuat banyak. Termasuk ketika kekurangan tenaga
pengajar dan menyediakan tiga orang guru Kristen mengajar di madrasahnya.
“Tapi
sejauh ini mereka bisa menempatkan diri,” tutur pria yang ramah ini.
Mendirikan
sarana pendidikan Islam, terlebih rumah ibadah (masjid/mushalla), di Manado
secara umum bagai memasukkan benang basah ke dalam lobang jarum, susah. Di mana mata memandang, dalam
jarak yang dekat ataupun jauh, kita akan dapati gereja. Itulah Manado, Sulawesi
Utara.*/Ali Atwa diambil dari Majalah Suara Hidayatullah
Sumber: hidayatullah.com
0 comments:
Post a Comment