Mewaspadai Bangkitnya Generasi Nurnaningsih
Thursday, July 31, 2014
0
comments
Siapa
itu Nurnaningsih? Kok ada istilah Nurnaningsih dan Generasi Nurnaningsih
segala? Mungkin bagi sebagian kawan-kawan, nama Nurnaningsih memang tidak
terlalu dikenal dan terdengar asing di telinga kita. Padahal pada tahun-tahun
1950-1970an, nama Nurnaningsih adalah nama yang sangat populer di kalangan
jagad hiburan dan perfilman tanah air, Indonesia. Nurnaningsih adalah seorang
bintang film terkenal pada era-nya yang memiliki banyak penggemar. Ketenarannya
mungkin seperti nama Dian Sastro yang sukses membintangi film Ada Apa Dengan
Cinta tahun 2000an.
Namun,
bukan itu yang membuat Nurnaningsih (selanjutnya disebut Nur) terkenal dan
menjadi topik pembicaraanku saat ini. Nurnaningsih menjadi sangat terkenal dan
dikenal saat ia membuat kontroversi dengan berani beradegan setengah bugil pada
sebuah film yang berjudul Harimau Tjampa. Akibat adegannya, film itu sempat
menimbulkan kehebohan di masyarakat umum pada tahun 1950an. Ia menjadi bintang
film Indonesia pertama yang BERANI beradegan setengah bugil, sesuatu yang sama
sekali belum pernah dilakukan bintang lain dan dalam film-film pendahulunya.
Sejak saat itu, ia menjadi pionir, simbol, dan pemuka bintang ‘panas’ Indonesia
(baca: Artis Bom Sex).
Saking
terkenalnya, ia memiliki banyak penggemar dan pengidola yang tidak sedikit.
Namun, tak sedikit diantara penggemarnya yang kemudian menulis dan
mengungkapkan keprihatinan atas ‘kemajuan’ Nur dalam akting. Hingga dalam
sebuah majalah, ada seorang penggemar yang mengirimkan surat terbuka melalui
surat pembaca di majalah tersebut. Seorang penggemar menulis surat pembaca yang
dimuat di majalah Kencana edisi No. II Tahun 1954 halaman delapan yang memuat
pernyataan keprihatinan seorang penggemar aktris film layar lebar Nurnaningsih
(RIP).
Surat
pembaca itu adalah buntut dari lontaran kontroversial icon bintang panas
Indonesia era 50-an ini yang menyatakan: “Saya tidak akan memerosotkan
kesenian, melainkan hendak melenyapkan pandangan-pandangan kolot yang masih
terdapat dalam kesenian Indonesia.”
Isi
surat selengkapnya,
Sdr. Nurnaningsih Yth,
Sdr. tak dapat mencampuradukan kesenian Indonesia dengan kesenian Barat.
Tak dapat saudari perjuangkan orang yang sedang menari serimpi, pakaiannya
saudari tukar dengan pakaian penari balet, juga tak dapat saudari iringi dengan
musik Jazz. Begitu juga sebaliknya orang yang sedang berdansa tak dapat saudari
tukar musiknya dengan gamelan. Tak ubahnya seperti yang saya katakan di atas
itulah saudari memperjuangkan apa yang saudari kehendaki itu.
Achirul kalam saya anjurkan kepada saudari bahwa perjuangan saudari yang
sedemikian itu menurut keyakinan saya akan menjatuhkan kepopuleran saudari
sebagai bintang film. Saya berdo’a moga-moga saudari insyaf pada apa yang telah
saudari perjuangkan itu, sehingga mengakibatkan kegemparan masyarakat.
Sayangilah kepopuleran saudari yang kian hari kian meningkat.
Pertahankanlah, serta berjuanglah untuk menjadi bintang film Indonesia yang
gilang gemilang, seniwati Indonesia yang tulen dan menjadi kebangaan bangsa Indonesia
di dalam dan di luar negeri. Mudah-mudahan saudari tetap gilang-gemilang sampai
hari tua.
Sekian.
Awal
mula terjun ke dunia layar lebar, Nur sebenarnya boleh dibilang sangat
beruntung karena ia langsung “digarap” oleh sutradara legendaris Indonesia
Usmar Ismail lewat film Krisis dan berikutnya dalam film Harimau Tjampa (1954).
Namun setelah adegan kontroversinya dalam Harimau Tjampa, ia pun seolah merasa
lebih tertantang untuk menunjukkan sejumlah arogansinya. Ia pun bermain dalam
sejumlah film panas sementara foto-foto seronoknya menghiasi sejumlah majalah
Ibu Kota.
Nur
boleh dibilang tidak semata-mata bintang film biasa. Melalui ketenarannya, ia
berani mengungkapkan pendapat-pendapat liberalnya yang kontroversial sehingga
ia juga menjadi seorang tokoh liberal pada saat itu. Nurnaningsih juga sempat
membuat gempar peta perfilman ketika dengan sangat berani berpose telanjang
dalam sejumlah film, termasuk foto bugilnya yang tersebar di masyarakat. Akibat
‘aksi-nya’ tersebut, tang tanggung-tanggung, Kejaksaan Agung dan Polri pun
dibuat kelabakan saat itu.
Sejumlah
pengamat film pada saat itu dengan nada sinis menilai Nurnaningsih sebenarnya
hanya beruntung dapat lakon dalam film-film garapan Usmar Ismail. “Padahal
aktingnya sangat jelek,“ demikian komentar seorang pengamat film di majalah
Kencana. Konon, cuma kemujuranlah yang membawa Nurnaningsih bisa bermain dalam
Krisis.
Setelah
menanamkan fondasi liberal dan tema ‘panas’ yang cukup kuat dalam perfilman
Indonesia, tongkat estafet Nur pun selanjutnya diserahkan dan dilanjutkan oleh
Rahayu Efendi (ibunda mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf). Simbol
‘bintang panas’ pun mulai beralih kepada Rahayu. Dalam Tante Girang (1974),
Rahayu konon berbugil ria dan beradu akting dengan aktor gagah pada zamannya,
Dicky Soeprapto. Melalui tangan dingin Rahayu dan proses kaderisasi yang
intens, muncullah kader-kader pewaris misi ‘film panas’ dan artis-artis Bom Sex
yang lebih banyak macam Yeni Rachman, Suzanna, Lina Budiarti, Yati Octavia, Eva
Arnaz, Ayu Lestari, Meriam Bellina, Yurike Prastica, Ayu Azhari, Sally
Marcelina, Ayu Yohana, Yeni Farida, Kiki Fatmala, Gitti Srinita, Malvin Syahna,
Liza Chaniago, Inneke Koesherawati dan lain-lainnya.
Pada
generasi inilah, perkembangan perfilman nasional Indonesia hampir dipenuhi dan
ditaburi BIN[a]TANG FILM yang benar-benar mengeksploitasi fisik dan cita rasa
rendah (low taste), yang menjadi idola sekaligus bahan caci-maki. Terakhir,
Inneke dan Eva Arnaz telah tobat dan kini mengenakan pakaian muslimah.
Sementara sebagian lainnya mengalami kepudaran popularitas. Ada yang tak jelas
rimbanya tetapi ada juga yang “bertobat” dan beralih menjalani profesi menjadi
aktris sinetron.
Sempat
mengalami kevakuman karena keberhasilan sineas-sineas muda yang mulai banyak
membuat film-film berkualitas dari mulai Cinta dalam Sepotong Roti (Garin
Nugroho), Bulan Tertusuk Ilalang (Garin Nugroho), Sherina (Riri Riza), Pasir
Berbisik (Nan T. Achnas), Ca Bau Khan (Nia diNata), Ada Apa dengan Cinta (Rudi
Sudjarwo), Jelangkung (Rizal Mantovani dan Jose Purnomo), Bendera (Nan T.
Achnas), Eliana, Eliana (Riri Riza), Arisan (Nia Dinata), Mengejar Matahari,
Kiamat Sudah Dekat, Jomblo, Andai Ia Tahu, Biarkan Bintang Menari, Banyu Biru
(Teddy Soeriaatmadja) dll, justru makin memotivasi generasi-generasi penerus
perjuangan film ‘esek-esek’ dan ‘panas’ pewaris ide Nurnaningsih untuk tampil.
Muncullah
film-film komedi-komedi / horor berbau sex (atau justru sebalinya: film sex
berbau komedi / horor) macam Perjaka Terakhir, Air Terjun Pengantin, Hantu
Puncak Datang Bulan, Kawin Kontrak, Hantu Aborsi, Anda Puas, Saya Loyo, Suster
Keramas, Arisan Brondong, Darah Janda Kolong Wewe, Ku Tunggu Jandamu, Mau Dong
Ah, dll. Kini, invisible hands pewaris generasi Nurnaningsih dan Rahayu Efendi
mulai tampil dan dalam proses kaderisasi. Karena belum mampu menemukan satu
sosok tokoh yang layak dijadikan simbol bintang Bom Sex macam Nurnaningsih atau
Rahayu Efendi, sebuah rumah produksi yang menjadi pusat pembibitan dan
kaderisasi calon-calon artis Bom Sex, Maxima Pictures, pun terpaksa mengimpor
dua orang bintang film porno yang telah menjadi simbol artis Bom Sex
internasional macam Rin Sakuragi dan Miyabi. Kini, setelah sukses mengimpor
kedua bintang porno itu, Indonesia sedang ‘menantikan’ kelahiran simbol baru
sosok artis Bom Sex pewaris generasi Nurnaningsih dan Rahayu Efendi. Jangan
biarkan generasi Nurnaningsih mulai menggeliat apalagi bangkit kembali.
na’udzubillahi min dzalik.
Andalah
yang menentukan, jika anda mendukung maka generasi itu akan segera lahir, namun
jika anda tidak mendukung insya Allah generasi itu akan terkubur! [zulfikri]
Sumber tulisan dan foto: muslimdaily.net
dengan pengubahan judul
0 comments:
Post a Comment