Pemikul Tandu Jenderal Soedirman Hidup Miskin
Sunday, August 17, 2014
0
comments
Melihat
sosok Djuwari tak nampak kegagahan pemuda berumur 21 tahun yang 61 tahun lalu
memanggul Panglima Besar. Namun dipandang lebih dekat, baru tampak sisa-sisa
kepahlawanan pemuda Djuwari.
Sorot
mata kakek 13 cucu itu masih menyala, menunjukkan semangat perjuangan periode
awal kemerdekaan. Sang pemanggul tandu Panglima Besar itu mengenakan baju putih
teramat lusuh yang tidak dikancingkan.
Sehingga
angin pegunungan serta mata manusia bebas memandang perut keriputnya yang
memang kurus. Sedangkan celana pendek yang dipakai juga tak kalah lusuh
dibanding baju atasan.
Rumah-rumah
di Dusun Goliman termasuk area kediaman Djuwari tak begitu jauh dari kehidupan
miskin. Beberapa rumah masih berdinding anyaman bambu, jika ada yang bertembok
pastilah belum dipermak semen. Sama halnya dengan kediaman Djuwari yang amat
sederhana dan belum dilengkapi lantai. “Sing penting wes tau manggul Jenderal,
Pak Dirman. Aku manggul teko Goliman menyang Bajulan, iku mlebu Nganjuk,” ujar
suami almarhum
Saminah
itu ketika ditanya balas jasa perjuangannya.
Dia
bercerita, memanggul tandu Pak Dirman (panggilannya kepada sang Jenderal)
adalah kebanggaan luar biasa. Kakek yang memiliki tiga cicit itu mengaku
memanggul tandu jenderal merupakan pengabdian.
Semua
itu dilakukan dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan apapun. Sepanjang
hidupnya menjadi eks pemanggul tandu Soedirman, keluarga Djuwari beberapa kali
didatangi cucu Panglima Besar. Pernah suatu kali diberi uang Rp 500 ribu,
setelah itu belum ada yang datang membantu.
Pemerintahan
yang cukup baik kepadanya adalah pada zaman Soeharto, sesekali dia digelontor
bantuan beras. “Biyen manggule tandu yo gantian le, kiro-kiro onok wong pitu,
sing melu manggul teko Goliman yaiku Warso Dauri (kakak kandungnya),
Martoredjo
(kakak kandung lain ibu) karo Djoyo dari (warga Goliman),” akunya. Perjalanan
mengantar gerilya Jenderal Soedirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi, dengan
dikawal banyak pria berseragam.
Rute
yang ditempuh teramat berat karena melewati medan berbukit-bukit dan hutan yang
amat lebat. Seringkali perjalanan berhenti untuk beristirahat sekaligus memakan
perbekalan yang dibawa. “Teko Bajulan (Nganjuk), aku karo sing podho mikul
terus mbalik nang Goliman. Wektu iku diparingi sewek (jarit) karo sarung,”
imbuhnya.
Ayah
dari empat putra dan empat putri itu menambahkan, waktu itu, istrinya (sudah
dipanggil Tuhan setahun lalu) amat senang menerima sewek pemberian sang
Jenderal. Saking seringnya dipakai, sewek itupun akhirnya rusak, sehingga kini
Djuwari hanya tinggal mewariskan cerita kisahnya mengikuti gerilya. “Pak Dirman
pesen, urip kuwi kudu seng rukun, karo tonggo teparo, sak desa kudu rukun
kabeh,” katanya.
Dari
empat warga Dusun Goliman yang pernah memanggul tandu Panglima Besar, hanya
Djuwari seorang yang masih hidup. Putra Kastawi dan Kainem itu masih memiliki
kisah dan semangat masa-masa perang kemerdekaan.
Ketika
ditanya soal periode kepemimpinan Presiden Soekarno hingga SBY, Djuwari dengan
tegas mengatakan tidak ada bedanya.
Sumber
: www.siaga.co
0 comments:
Post a Comment