Dasar Hukum dan Tata Cara Shalat Gerhana Bulan
Friday, April 3, 2015
0
comments
FATWA MAJELIS TARJIH DAN TAJDID
TENTANG SALAT KUSUFAIN (Salat Gerhana)
(صلاة الكسوفين)
(Disidangkan pada Jumat, 15 Rajab 1429 H
/ 18 Juli 2008 M)
Pertanyaan: Banyak pertanyaan disampaikan
secara langsung maupun melalui pesan pendek (SMS) ke Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang masalah cara pelaksanaan salat gerhana.
Jawaban: Untuk itu Majelis Tarjih dan
Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan fatwa mengenai hal tersebut
sebagai berikut:
A. Pendahuluan
Muktamar Tarjih XX di Garut tanggal 18-23
Rabiul Akhir 1386 / 18-23 April 1976 telah menetapkan keputusan tentang salat
kusufain (salat gerhana matahari dan Bulan).
Matan keputusan itu berbunyi,
Apabila terjadi gerhana matahari atau
bulan, hendaknya Imam menyuruh orang menyerukan “ash-shalatu jami‘ah,” kemudian
ia pimpin orang banyak mengerjakan shalat dua raka’at; pada tiap rakaat berdiri
dua kali, ruku’ dua kali, sujud dua kali, serta pada tiap rakaat membaca
Fatihah dan surat yang panjang dan suara nyaring; dan pada tiap ruku’ dan sujud
membaca tasbih lama-lama.
Ketika telah selesai shalat ketika
orang-orang masih duduk, Imam berdiri menyampaikan peringatan dan mengingatkan
mereka akan tanda-tanda kebesaran Allah serta menganjurkan mereka agar
memperbanyak membaca istighfar, sedekah dan segala amalan yang baik.
Istilah gerhana dalam hadis-hadis disebut
kusuf atau khusuf dan kedua istilah ini dalam hadis dapat dipertukarkan
penggunaannya. Hanya saja dalam literatur fikih dan di kalangan fukaha,
biasanya kata kusuf digunakan untuk menyebut gerhana matahari dan khusuf untuk
menyebut gerhana Bulan. Sering juga digunakan bentuk ganda “kusufain” untuk
menyebut gerhana matahari dan gerhana Bulan sekaligus.
B. Dasar Syar‘i Salat Gerhana
Dasar syar‘i salat gerhana matahari dan
gerhana bulan ditunjukkan oleh sejumlah hadis, antara lain,
عن عَائِشَةَ أَنَّ
الشَّمْسَ خَسَفَتْ على عَهْدِ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَبَعَثَ مُنَادِيًا
الصَّلاَةَ جَامِعَةً فَتَقَدَّمَ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ في رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعِ
سَجَدَاتٍ [رواه البخاري واللفظ له ، ومسلم ، وأحمد] .
Artinya: Dari Aisyah (diriwayatkan) bahwa
pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah saw, maka ia lalu menyuruh
orang menyerukan “ash-shalatu jami‘ah”. Kemudian beliau maju, lalu mengerjakan
salat empat kali rukuk dalam dua rakaat dan empat kali sujud [HR al-Bukhari, Muslim
dan Ahmad].
عن أبي مَسْعُودٍ
قال قال النبي صلى الله عليه وسلم إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ
أَحَدٍ من الناس وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ فإذا رَأَيْتُمُوهُمَا
فَقُومُوا فَصَلُّوا [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: Dari Abu Mas’ud r.a., ia
berkata: Nabi saw telah bersabda: Sesungguhnya matahari dan Bulan tidak gerhana
karena kematian seseorang, akan tetapi keduanya adalah dua tanda kebesaran
Allah. Maka apabila kamu melihat gerhana keduanya, maka berdirilah dan kerjakan
salat [HR al-Bukhari dan Muslim].
Hadis pertama merupakan sunnah fikliah
yang menggambarkan perbuatan Rasulullah saw melakukan salat saat terjadinya
gerhana. Hadis kedua merupakan sunnah kauliah yang berisi perintah Nabi saw
untuk melakukan salat pada saat terjadinya gerhana.
C. Cara Melaksanakan Salat Kusufain
1.
Apabila terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan, maka dilaksanakan
salat kusuf dan Imam menyerukan ash-shalatu jami‘ah. Salat kusuf dilaksanakan
berjamaah, serta tanpa azan dan tanpa iqamah.
Dasarnya adalah hadis ‘Aisyah yang
dikutip terdahulu di mana Imam menyerukan salat berjamaah, dan dalam hadis itu
tidak ada azan dan iqamah.
2.
Salat kusufain dilakukan dua rakaat yang dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam dengan rukuk, qiyam dan sujud dua kali pada masing-masing
rakaat.
Dasarnya adalah hadis Aisyah yang telah
dikutip di atas, dan juga hadis an-Nasa’i berikut,
عن عَائِشَةَ قالت
كَسَفَتْ الشَّمْسُ فَأَمَرَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَجُلاً فَنَادَى أَنْ
الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ فَاجْتَمَعَ النَّاسُ فَصَلَّى بِهِمْ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم فَكَبَّرَ ... ... ... ثُمَّ تَشَهَّدَ ثُمَّ سَلَّمَ فَقَامَ فِيهِمْ فَحَمِدَ
اللَّهَ وَأَثْنَى عليه ثُمَّ قال إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ
أَحَدٍ ولا لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ فَأَيُّهُمَا خُسِفَ
بِهِ أو بِأَحَدِهِمَا فأفزعوا إلى اللَّهِ عز وجل بِذِكْرِ الصَّلاَةِ [رواه النسائي] .
Artinya: Artinya: Dari ‘Aisyah
(diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pernah terjadi gerhana matahari lalu
Rasulullah saw memerintahkan seseorang menyerukan ash-shalata jami‘ah. Maka
orang-orang berkumpul, lalu Rasulullah saw salat mengimami mereka. Beliau
bertakbir ... ... ..., kemudian membaca tasyahhud, kemudian mengucapkan salam.
Sesudah itu beliau berdiri di hadapan jamaah, lalu bertahmid dan memuji Allah,
kemudian berkata: Sesungguhnya matahari dan Bulan tidak mengalami gerhana
karena mati atau hidupnya seseorang, akan tetapi keduanya adalah dua dari
tanda-tanda kebesaran Allah. Maka apabila yang mana pun atau salah satunya
mengalami gerhana, maka segeralah kembali kepada Allah dengan zikir melalui
salat [HR al-Bukhari].
3. Pada masing-masing rakaat dibaca
al-Fatihah dan surat panjang dengan jahar (oleh imam).
4.
Setelah membaca al-Fatihah dan surat, diucapkan takbir, kemudian rukuk
dengan membaca tasbih yang lama, kemudian mengangkat kepala dengan membaca
sami‘all±hu liman ¥amidah, rabban± wa lakal-¥amd, kemudian berdiri lurus, lalu
membaca al-Fatihah dan surat panjang tetapi lebih pendek dari yang pertama,
kemudian bertakbir, lalu rukuk sambil membaca tasbih yang lama tetapi lebih
singgkat dari yang pertama, kemudian bangkit dari rukuk dengan membaca
sami‘all±hu liman ¥amidah rabbana wa lakal-¥amd, kemudian sujud, dan setelah
itu mengerjakan rakaat kedua seperti rakaat pertama.
Dasar butir ke-3 dan ke-4 adalah,
عن عَائِشَةَ أَنَّ
النبي صلى الله عليه وسلم جَهَرَ في صَلاةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ
رَكَعَاتٍ في رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ [رواه البحاري ومسلم ، واللفظ له]
Artinya: Dari ‘Aisyah (diriwayatkan)
bahwa Nabi saw menjaharkan bacaannya dalam salat khusuf; beliau salat dua
rakaat dengan empat rukuk dan sujud [HR al-Bukhari dan Muslim, lafal ini adalah
lafal Muslim].
عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم جَهَرَ بِالْقِرَاءَةِ فِي صَلاةِ الْكُسُوفِ
[رواه ابن حبان والبيهقي وأبو نعيم في المستخرج]
Artinya: Dari ‘Aisyah (diriwayatkan)
bahwa Nabi saw menjaharkan bacaannya dalam salat kusuf [HR Ibnu Hibban,
al-Baihaqi dan Abu Nu‘aim dalam al-Mustakhraj].
عن عَائِشَةَ زَوْجِ
النبي صلى الله عليه وسلم قالت خَسَفَتْ الشَّمْسُ في حَيَاةِ رسول اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم فَخَرَجَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إلى الْمَسْجِدِ فَقَامَ وَكَبَّرَ
وَصَفَّ الناس وَرَاءَهُ فَاقْتَرَأَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قِرَاءَةً طَوِيلَةً
ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فقال سمع الله لِمَنْ
حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ قام فَاقْتَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً هِيَ
أَدْنَى من الْقِرَاءَةِ اْلأُولَى ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً هو أَدْنَى
من الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قال سمع الله لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
ثُمَّ سَجَدَ -ولم يذكر أبو الطَّاهِرِ ثُمَّ سَجَدَ- ثُمَّ فَعَلَ في الرَّكْعَةِ
اْلأُخْرَى مِثْلَ ذلك حتى اسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ وَانْجَلَتْ
الشَّمْسُ قبل أَنْ يَنْصَرِفَ ثُمَّ قام فَخَطَبَ الناس فَأَثْنَى على اللَّهِ بِمَا
هو أَهْلُهُ ثُمَّ قال إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ لاَ
يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ولا لِحَيَاتِهِ فإذا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلاَةِ
[رواه مسلم]
Artinya: Dari ‘Aisyah, isteri Nabi saw,
(diriwayatkan) bahwa ia berkata: Pernah terjadi gerhana matahari pada masa
hidup Nabi saw. Lalu beliau keluar ke mesjid, kemudian berdiri dan bertakbir
dan orang banyak berdiri bersaf-saf di belakang beliau. Rasulullah saw membaca
(al-Fatihah dan surat) yang panjang, kemudian bertakbir, lalu rukuk yang lama,
kemudian mengangkat kepalanya sambil mengucapkan sami‘all±hu liman ¥amidah
rabban± wa lakal-¥amd, lalu berdiri lurus dan membaca (al-Fatihah dan surat)
yang panjang, tetapi lebih pendek dari yang pertama, kemudian bertakbir lalu
rukuk yang lama, namun lebih pendek dari rukuk pertama, kemudian mengucapkan
sami‘all±hu liman ¥amidah, rabban± wa lakal-¥amd, kemudian beliau sujud. [Abu
Thahir tidak menyebutkan sujud]. Sesudah itu pada rakaat terakhir (kedua)
beliau melakukan seperti yang dilakukan pada rakaat pertama, sehingga selesai
mengerjakan empat rukuk dan empat sujud. Lalu matahari terang (lepas dari
gerhana) sebelum beliau selesai salat. Kemudian sesudah itu beliau berdiri dan
berkhutbah kepada para jamaah di mana beliau mengucapkan pujian kepada Allah
sebagaimana layaknya, kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya matahari dan Bulan
adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan tidak mengalami gerhana karena
mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihatnya, maka segeralah salat [HR
al-Bukhari].
Perlu dijelaskan bahwa dua prasa faqtara’a
qira’atan tawilatan dalam hadis Muslim yang disebutkan terakhir di atas
diinterpretasi sebagai membaca al-Fatihah dan suatu surat panjang, karena tidak
sah salat tanpa membaca al-Fatihah. Karena farsa pertama difahami sebagai
membaca al-Fatihah dan surat panjang, maka frasa kedua yang sama dengan frasa
pertama tentu juga difahami sama. Jadi pada waktu berdiri pertama dalam rakaat
pertama dibaca al-Fatihah dan surat panjang, maka pada berdiri kedua dalam
rakaat pertama juga dibaca al-Fatihah dan surat panjang.
Pemahaman
seperti ini dikemukakan oleh sejumlah ulama. Imam asy-Syafi’’i dalam kitab
al-Umm menyatakan,
Dalam salat kusuf imam berdiri lalu
bertakbir kemudian membaca al-Fatihah seperti halnya dalam salat fardu.
Kemudian pada berdiri pertama setelah al-Fatihah, imam membaca surat al-Baqarah
jika ia menghafalnya atau kalau tidak hafal, membaca ayat al-Quran lain setara
surat al-Baqarah. Kemudian ia rukuk yang lama ... ... ..., kemudian bangkit
dari rukuk sambil membaca sami‘allahu liman hamidah rabbana wa lakal-hamd,
kemudian membaca Ummul-Quran dan surat setara dua ratus ayat al-Baqarah,
kemudian rukuk ... ... ... dan sujud. Kemudian berdiri untuk rakaat kedua, lalu
membaca Ummul-Quran dan ayat setara seratus lima puluh ayat al-Baqarah,
kemudian rukuk ... ... ..., lalu bangkit dari rukuk, lalu membaca Ummul-Quran
dan ayat setara seratus ayat bal-Baqarah, kemudian rukuk ... ... ... dan sujud
[al-Umm, I: 280].
Kemudian asy-Syafi‘i menjelaskan lagi
bahwa apabila tertinggal membaca surat dalam salah satu dari dua berdiri itu,
maka salatnya sah apabila ia membaca al-Fatihah pada permulaan rakaat dan
sesudah bangkit dari rukuk pada setiap rakaat. Apabila ia tidak membaca
al-Fatihah dalam satu rakaat salat kusuf pada berdiri pertama atau pada berdiri
kedua, maka rakaat itu dianggap tidak sah. Namun ia meneruskan rakaat
berikutnya, kemudian melakukan sujud sahwi, seperti hal ia apabila ia tidak
membaca al-Fatihah dalam salah satu rakaat pada salat fardu di mana rakaat itu
tidak sah [al-Umm, I: 280].
Hal yang sama dikemukakan pula oleh
fukaha-fukaha yang lain. Al-‘Abdar³ (w. 897/1492), seorang fakih Maliki,
mengutip al-Maziri yang menegaskan bahwa setelah bangkit dari rukuk dibaca
al-Fatihah dan suatu surat panjang, dan pada rakaat kedua juga demikian,
artinya membaca al-Fatihah sebelum membaca masing-masing surat [at-Taj wa
al-Iklil, II: 201]. Ibnu Qudamah (w. 620/1223) dalam dua kitab fikihnya juga
menegaskan bahwa setelah bangkit dari rukuk pertama dibaca al-Fatihah dan surat
pendek baik pada rakaat pertama maupun pada rakaat kedua [al-Kafi, I: 337-338;
dan al-Mughni, II: 143].
5.
Setelah selesai salat gerhana imam berdiri sementara para jamaah masih
duduk, dan menyampaikan khutbah yang berisi wejangan serta peringatan akan
tanda-tanda kebesaran Allah serta mendorong mereka memperbanyak istigfar,
sedekah dan berbagai amal kebajikan. Khutbahnya satu kali karena dalam hadis
tidak ada pernyataan khutbah dua kali.
Dasarnya adalah:
عَائِشَةَ أنها
قالت خَسَفَتْ الشَّمْسُ في عَهْدِ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَصَلَّى رسول
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِالنَّاسِ فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ ثُمَّ رَكَعَ
فَأَطَالَ الرُّكُوعَ ثُمَّ قام فَأَطَالَ الْقِيَامَ وهو دُونَ الْقِيَامِ اْلأَوَّلِ
ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ وهو دُونَ الرُّكُوعِ اْلأَوَّلِ ثُمَّ سَجَدَ فَأَطَالَ
السُّجُودَ ثُمَّ فَعَلَ في الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ما فَعَلَ في اْلأُولَى
ثُمَّ انْصَرَفَ وقد انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ الناس فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى
عليه ثُمَّ قال إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ لاَ ينخسفان
لِمَوْتِ أَحَدٍ ولا لِحَيَاتِهِ فإذا رَأَيْتُمْ ذلك فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا
وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا ... ... ... [رواه البخاري ، واللفظ له ، ومسلم ومالك] .
Artinya: Dari ‘Aisyah (diriwayatkan)
bahwa ia berkata: Pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah saw.
Lalu beliau salat bersama orang banyak. Beliau berdiri dan melamakan berdirinya
kemudian rukuk dan melamakan rukuknya, kemudian berdiri lagi dan melamakan
berdirinya, tetapi tidak selama berdiri yang pertama. Kemudian beliau rukuk dan
melamakan rukuknya, tetapi tidak selama rukuk yang pertama, kemudian sujud dan
melamakan sujudnya. Kemudian pada rakaat kedua beliau melakukan seperti yang
dilakukan pada rakaat pertama. Kemudian beliau menyudahi salatnya sementara
matahari pun terang kembali. Kemudian beliau berkhutbah kepada jamaah dengan
mengucapkan tahmid dan memuji Allah, serta berkata: Sesungguhnya matahari dan
bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana
karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihat hal itu, maka
berdoalah kepada Allah, bertakbir, salat dan bersedekahlah... ... ...
[al-Bukhari, lafal ini adalah lafalnya, juga Muslim dan Malik].
... ... ... فإذا رَأَيْتُمْ
منها شيئا فَافْزَعُوا إلى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ [رواه البخاري ومسلم
عن أبي موسى]
Artinya: ... ... ... Maka apabila kamu
melihat hal tersebut terjadi (gerhana), maka segeralah melakukan zikir, do‘a
dan istigfar kepada Allah [HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa].
D. Waktu Pelaksanaan Salat Kusufain
Salat kusufain dilaksanakan pada saat
terjadinya gerhana, berdasarkan beberapa hadis antara lain,
عَنِ الْمُغِيرَةِ
بنِ شُعْبَةَ قال انْكَسَفَتْ الشَّمْسُ يوم مَاتَ إِبْرَاهِيمُ فقال الناس انْكَسَفَتْ
لِمَوْتِ إبراهيم فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ
آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ولا لِحَيَاتِهِ فإذا
رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حتى يَنْجَلِيَ [رواه البخاري]
Artinya: Dari al-Mughirah Ibn Syu‘bah
r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Terjadi gerhana matahari pada hari
meninggalnya Ibrahim. Lalu ada orang yang mengatakan terjadinya gerhana itu
karena meninggalnya Ibrahim. Maka Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak
gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihat hal itu, maka
berdoalah kepada Allah dan kerjakan salat sampai matahari itu terang (selesai
gerhana) [HR al-Bukhari].
Dalam hadis ini digunakan kata idz± (إذا) yang merupakan
zharf zaman (keterangan waktu), sehingga arti pernyataan hadis itu adalah:
Bersegeralah mengerjakan salat pada waktu kamu melihat gerhana yang merupakan
tanda kebesaran Allah itu. Yang dimaksud dengan gerhana di sini adalah gerhana
total (al-kusf al-kulli), gerhana sebagian (al-kusuf al-juz‘i) dan gerhana
cincin (al-kusuf al-halqi) berdasarkan keumuman kata gerhana (kusuf).
Ibn Qud±mah menegaskan,
Waktu salat gerhana itu adalah sejak
mulai kusuf hingga berakhirnya. Jika waktu itu terlewatkan, maka tidak ada kada
(qadha) karena diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, Apabila kamu
melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah dan kerjakan salat sampai matahari
itu terang (selesai gerhana). Jadi Nabi saw menjadikan berakhirnya gerhana
sebagai akhir waktu salat gerhana ... ... ... Apabila gerhana berakhir ketika
salat masih berlangsung, maka salatnya diselesaikan dengan dipersingkat ... ...
... Jika matahari terbenam dalam keadaan gerhana, maka berakhirlah waktu salat
gerhana dengan terbenamnya matahari, demikian pula apabila matahari terbit saat
gerhana bulan (di waktu pagi) [Al-Mughni, II: 145].
Imam
ar-Rafi‘i menegaskan,
Sabda Nabi saw Apabila kamu melihat
gerhana, maka salatlah sampai matahari terang (selesai gerhana) menunjukkan
arti bahwa salat tidak dilakukan sesudah selesainya gerhana. Yang dimaksud
dengan selesainya gerhana adalah berakhirnya gerhana secara keseluruhan.
Apabila matahari terang sebagian (baru sebagian piringan matahari yang keluar
dari gerhana), maka hal itu tidak ada pengaruhnya dalam syarak (maksudnya waktu
salat gerhana belum berakhir) dan seseorang (yang belum melaksanakan salat
gerhana) dapat melakukannya, sama halnya dengan gerhana hanya sebagian saja (V:
340).
Imam an-Nawawi (w. 676/1277) menyatakan,
“Waktu salat gerhana berakhir dengan lepasnya seluruh piringan matahari dari
gerhana. Jika baru sebagian yang lepas dari gerhana, maka (orang yang belum
melakukan salat gerhana) dapat mengerjakan salat untuk gerhana yang tersisa
seperti kalau gerhana hanya sebagian saja [Raudlat at-Thalibin, II: 86].
E. Orang Yang Melakukan Salat Gerhana
Dari penegasan pada sub D di atas, maka
dapat difahami bahwa salat kusufain dilakukan oleh orang yang berada pada
kawasan yang mengalami gerhana. Sedangkan orang di kawasan yang tidak mengalami
gerhana tidak melakukan salat kusufain. Dasarnya adalah hadis yang disebutkan
terakhir [huruf D] di atas yang mengandung kata ra’aitum (‘kamu melihat’),
yaitu mengalami gerhana secara langsung, serta kenyataan bahwa Rasulullah saw
melaksanakan salat gerhana ketika mengalaminya secara langsung. Hal ini sesuai
pula dengan interpretasi para fukaha bahwa apabila gerhana berakhir, berakhir
pula waktu salat gerhana, dan apabila matahari tenggelam dalam keadaan gerhana
juga berakhir waktu salat gerhana matahari. Tenggelamnya matahari jelas terkait
dengan lokasi atau kawasan tertentu sehingga orang yang tidak lagi mengalami
gerhana karena matahari telah tenggelam di balik ufuk, tidak melakukan salat
gerhana. Begitu pula pula apabila gerhana bulan terjadi di waktu pagi menjelang
terbitnya matahari, maka waktu salat gerhana bulan berakhir dengan terbitnya
matahari. Ibn Taimiyyah (w. 728/1328) menegaskan,
فإن صَلاَةَ اْلكُسُوْفِ
وَاْلخُسُوْفِ لاَ تُصَلَّى إِلاَّ إِذَا شَاهَدْناَ ذَلِكَ [مجموع الفتاوى ، 24:
258] .
Artinya: Sesungguhnya salat gerhana
matahari dan gerhana Bulan tidak dilaksanakan kecuali apabila kita menyaksikan
gerhana itu [Majmu‘ al-Fatawa, 24: 258].
Perempuan juga ikut melaksanakan salat
gerhana karena keumuman perintah melaksanakan salat gerhana dalam hadis-hadis
yang dikutip di atas.
Wallahu a’lam bish-shawab. *sy)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com
http://fatwatarjih.com
0 comments:
Post a Comment