Hukum Berbicara Ketika Khutbah Jum'at (3)
Friday, January 18, 2013
0
comments
Termasuk
dalam larangan adalah menjawab salam orang lain ketika imam berkhutbah.
Balasannya cukup dengan isyarat (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 589)
Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz berkata, “Menjawab salam saat khutbah
tidaklah diperintahkan. Bahkan kita hendaknya shalat tahiyyatul masjid, duduk
dan tidak mengucapkan salam pada yang lain hingga selesai khutbah. Jika ada
yang memberi salam padamu, maka cukuplah balas dengan isyarat sebagaimana
halnya jika engkau diberi salam ketika shalat, yaitu membalasnya cukup dengan
isyarat. ... Jika ada di antara saudaranya yang memberi salam sedangkan saat
itu imam sedang berkhutbah, maka balaslah salamnya dengan isyarat, bisa dengan
tangan atau kepalanya. Itu sudah cukup, alhamdulillah.” (Jawaban pertanyaan di
website resmi Syaikh Ibnu Baz di sini)
Menjawab
Salam Khotib
Jika
imam mengucapkan salam ketika ia naik mimbar, hukum menjawabnya adalah fardhu
kifayah (artinya: jika sebagian sudah mengucapkan, yang lain gugur
kewajibannya).
Dalam
kitab Al Inshof (4: 56, Asy Syamilah), salah satu kitab fikih madzhab Hambali
disebutkan,
رَدُّ
هَذَا السَّلَامِ وَكُلِّ سَلَامٍ مَشْرُوعٍ فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الْجَمَاعَةِ الْمُسَلَّمِ
عَلَيْهِمْ
“Menjawab
salam imam (ketika ia masuk dan menghadap jama’ah) dan juga menjawab setiap
salam adalah sesuatu yang diperintahkan dan hukumnya fardhu kifayah bagi para
jama’ah kaum muslimin.”
Jika
menjawab salam kala itu diperintahkan, maka jawabannya pun dengan suara jaher,
dengan suara yang didengar oleh imam. Mula ‘Ali Al Qori berkata,
أن رد
السلام من غير إسماع لا يقوم مقام الفرض
“Menjawab
salam dan tidak terdengar (di telinga orang yang memberi salam), itu belum
menggugurkan kewajiban.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobil, 13: 6, Asy
Syamilah)
Menjawab
Kumandang Adzan
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ
“Jika
kalian mendengar kumandang adzan dari muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia
ucapkan.” (HR. Muslim no. 384).
Dalam
Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Jika imam
telah memberi salam kepada jama’ah, ia
disunnahkan duduk hingga selesai kumandang adzan. Ketika itu, hendaklah
menjawab seruan muadzin (dengan mengucapkan yang semisal) karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar seruan muadzin,
maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” Hadits ini adalah umum. Jika imam
berada di mimbar, hendaklah ia menjawab adzan, begitu pula makmum. Hendaklah
mereka mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin kecuali pada lafazh ‘hayya
‘alash sholaah’ dan ‘hayya ‘alal falaah’, hendaklah mereka ucapkan ‘laa hawla
wa laa quwwata illa billah’.”
Adapun
menjawab adzan kala itu, cukup dengan suara lirih sebagaimana asal do’a dan
dzikir adalah demikian. Allah Ta’ala berfirman,
وَاذْكُرْ
رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْل
“Dan
sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan
dengan tidak mengeraskan suara.” (QS. Al A’rof: 205)
ادْعُوا
رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdoalah
kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 55)
Menjawab
Shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari
‘Ali bin Abi Tholib, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,
اَلْبَخِيْلُ
مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang
pelit itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan bershalawat” (HR.
Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad 1: 201. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini
shahih).
Dalam
Asnal Matholib salah satu fikih Syafi’iyah disebutkan, “Bagi yang mendengar
khotib bershalawat, hendaklah ia mengeraskan suaranya ketika membalas shalawat
tersebut.” Ulama Syafi’iyah lainnya menyatakan sunnah untuk diam dan tidak
wajib menjawab shalawat.
Ulama
Hambali menyatakan bolehnya menjawab shalawat ketika diucapkan, namun jawabnya
dengan suara sirr (lirih) sebagaimana do’a.
Intinya,
ada dua dalil dalam masalah ini yaitu dalil yang memerintahkan untuk menjawab
shalawat dan dalil yang memerintahkan untuk diam saat imam berkhutbah. Jika
kita kompromikan dua dalil tersebut, yang lebih afdhol adalah menjawab shalawat
dengan suara sirr (lirih). (Lihat bahasan islamweb.net)
Menjawab
Orang yang Bersin
Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin ditanya, “Apa hukum menjawab salam dan
menjawab bersin saat khutbah Jum’at? Apa juga hukum menyodorkan tangan pada
orang yang ingin bersalaman ketika imam berkhutbah?”
Jawaban
beliau rahimahullah, “Menjawab salam orang lain dan menjawab bersin saat imam
berkhutbah tidak diperbolehkan, karena hal itu termasuk berbicara yang
terlarang dan hukumnya haram. Karena seorang muslim (yaitu jama’ah) tidaklah
diperintahkan untuk mengucapkan salam kala itu. Dikarenakan salamnya tidak
diperintahkan, maka demikian pula dengan balasannya.
Orang
yang bersin pun tidak diperintahkan mengeraskan bacaan ‘alhamdulillah’ tatkala
imam berkhutbah. Oleh karenanya, ucapannya tidak perlu dibalas dengan ucapan
‘yarhamukallah’.
Sedangkan
menyamput jabatan tangan orang yang ingin bersalaman, sebaiknya tidak dilakukan
karena termasuk membuat lalai. Kecuali jika dikhawatirkan terdapat mafsadat,
maka ketika itu tidaklah mengapa menyambut sodoran tangannya, akan tetapi tidak
boleh ditambah dengan obrolan. Dan jelaskan padanya setelah shalat bahwa
pembicaraan saat khutbah itu haram. (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin,
16: 94, Asy Syamilah)
Berbicara
dengan Khotib
Berbicara
dengan khotib saat khutbah diperbolehkan jika ada hajat, baik ketika khotib
memulai pembicaraan atau memulai bertanya, atau ketika menjawab pembicaraannya.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bin Malik, ia berkata,
أَتَى
رَجُلٌ أَعْرَابِىٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه
وسلم - يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، هَلَكَتِ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ
“Ada
seorang Arab badui mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat
itu beliau sedang berkhutbah Jum’at. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, hewan
ternak pada binasa ...” (HR. Bukhari no. 1029). Arab badui mengucapkan demikian
karena hujan tidak kunjung berhenti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
meminta hujan lewat shalat istisqo’ sehingga hewan-hewan ternak pun mati. Ia
meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya berdo’a agar hujan
dihentikan.
Begitu
pula dalam kisah Sulaik. Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata,
جَاءَ
سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِىُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
يَخْطُبُ فَجَلَسَ فَقَالَ لَهُ « يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ
فِيهِمَا - ثُمَّ قَالَ - إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ
فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ».
“Sulaik
Al Ghothofani datang pada hari Jum’at dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sedang berkhutbah. Ia masuk dan langsung duduk. Beliau pun berkata pada
Sulaik, “Wahai Sulaik, berdirilah dan kerjakan shalat dua raka’at (tahiyyatul
masjid), persingkat shalatmu (agar bisa mendengar khutbah, pen).” Lantas beliau
bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menghadiri shalat Jum’at dan
imam berkhutbah, tetaplah kerjakan shalat sunnah dua raka’at dan
persingkatlah.” (HR. Bukhari no. 930 dan Muslim no. 875) (Lihat Shahih Fiqh
Sunnah, 1: 589).
Demikian
bahasan rumaysho.com tentang berbagai masalah seputar obrolan atau pembicaraan
saat imam berkhutbah Jum’at. Intinya, asal obrolan saat khutbah adalah haram
kecuali jika ada hajat atau maslahat. Semoga bermanfaat.
Wallahu
waliyyut taufiq.
Segala
puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Sumber: rumaysho.com
0 comments:
Post a Comment