Menghadirkan Sikap “Tepo Seliro”
Tuesday, January 1, 2013
0
comments
Muhsin
Hariyanto
Dosen Tetap
FAI UMY dan Dosen Tidak Tetap STIKES AISYIYAH Yogyakarta

Ketika Allah
berjanji akan menumbuhkan ketakwaan pada setiap orang yang berpuasa, maka
ketakwaaan itu 'pasti' akan menjadi sebuah keniscayaan bagi setiap orang yang
berpuasa dengan cara yang benar. "Benar niatnya, benar tata-caranya dan
tentu saja harus benar-benar dilaksanakan dengan ikhlas untuk mencapai ridhaNya." dan, sebagaimana yang telah
penulis jelaskan dalam beberapa tulisan
sebelumnya, sikap 'tepo saliro'yang dalam
istilah Al-Qur'an disebut dengan istilah "tasâmuh" dengan
beberapa derivasi pengertiannya,
merupakan salah satu dari indicator ketakwaan seseorang.
Para ulama
kita di Indonesia juga menyatakan bahwa di antara sekian banyak indikator ketakwaan seseorang
Muslim ialah: "hadirnya sikap 'tepo saliro, yang dapat didefinisikan
sebagai kemampuan untuk (menjaga)
perasaan (beban pikiran) orang lain, sehingga dalam keseluruhan sikap dan
perilakunya seseorang yang telah memiliki sikap 'tepo saliro tidak akan pernah
menyinggung perasaan atau (bahkan) dapat
meringankan beban orang lain, memiliki sikap
tenggang rasa dan toleransi, yang dalam psikologi sering disepadankan dengan istilah:
"empati" (kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan
merasakan perasaan orang lain).
Seseorang yang berempati, antara lain: "berkesediaan untuk mencintai
sesama umat manusia, yang diwujudkan melalui kesanggupanantara lain(untuk)
berbagi kebahagian dengan orang lain". Yang dalam pernyataan Rasulullah
saw dinyatakan dengan sebutan: "ahl at-tarâhum ", seseorang yang
berkemauan dan berkemampuan untuk saling berbagi kasih-sayang. (Hadits Riwayat
Ibnu Majah dari Anas bin Malik)
Sikap 'tepa selira'setiap Muslim bisa
dibuktikan dalam aksi (amal shalih) bagi sesama. Islam mengajarkan kepada
setiap pemeluknya, untuk membuktikan
'iman'-nya dalam bentuk aksi (amal shalih). Iman bagi setiap Muslimbukanlah
sekadar percaya dan 'eling' (yang dalam khazanah budaya Jawa sering dimaknai sama
dengan konsep dzikr dalam Islam) setiap saat kepada Sang Pencipta, tetapi juga harus terimplementasi dalam aksi (amal
shalih), karya-nyata, dalam wujud yang bukan saja bermanfaat untuk dirinya,
tetapi juga (bermanfaat) untuk orang
lain. Karena 'iman'dalam perspektif Al- Qur'an dan As-Sunnahmerupakan pondasi
untuk menegakkan sikap 'takwa'.
Sebagaimana firman Allah: "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan
barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, Kitab-Kitab, Nabi-Nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Al-Baqarah
[2]: 177)
Dengan puasa
seorang Muslim dilatih oleh Allah SwT untuk merasakan 'lapar dan dahaga'. Rasa
lapar dan dahaga ini diperlukan oleh setiap orang yang kesehariannya
berkecukupan (baca:kaya) yang mungkin tidak pernah merasakan 'rasa lapar dan
dahaga' yang dialami oleh kaum dhu'afa'. Dengan merasakan lapar dan dahaga
diharapkan orang yang berkecukupan bisa membayangkan dan menghayati bahwa
seperti inilah keadaan kaum dhu'afa': "lapar dan dahaga", bahkan bisa
dirasahakan berhari-hari dan tidak mendapatkan kepastian berbuka dengan makanan
bergizi. Maka, dengan membayangkan dan menghayatinya, tahapan berikutnya adalah
timbulnya sikap 'empati' (baca: 'tepo saliro') kepada kaum dhu'afa'ini.
Sehingga tergeraklah orang-orang yang berkecukupan untuk menyantuni mereka, dan
menjadi orang yang selalu peduli kepada orang lain.
Meminjam
penjelasan para budayawan Jawa, dalam khazanah budaya Jawa, tepo sallro
didefinisikan dengan "sikap individu untuk mengontrol pribadinya berdasarkan
kesadaran diri. Tepo saliro adalah sebuah sikap yang bisa mendorong masyarakat
untuk meletakan dirinya dalam tata pergaulan sosial berdasarkan keputusan diri
dan kesukarelaan hati. Wujud tepo saliro adalah sikap menjaga hubungan baik
dalam segala bidang. Hubungan yang baik dalam masyarakat terkait dengan peranan
masing-masing anggota masyarakat. Contoh tindakan tindakan tepo saliro antara
lain tulung-tinulung (saling-membantu) dan rembug (musyawarah).
Yang pertama
(talung-tinulung), merupakan upaya untuk menggapai kerukunan. Nilai kerukunan
menjadi alasan untuk membantu sanak-saudara yang jauh sekali pun. Bahkan
apabila mereka tidak disukai dan kita sebenarnya merasa tidak peduli pada
mereka. Alasan kerukunan mengakibatkan munculnya sikap menerima saudara di
rumahnya sendiri serta kesediaan menyelenggarakan kebutuhan saudaranya
tersebut. (Lihat, Os Al-Mâidah [5]: 2)
Yang kedua
(rembug), merupakan kebiasaan dan usaha untuk menjaga kerukunan. Rembug, yaitu
proses pengambilan keputusan dengan saling berkonsultasi. Rembug adalah
prosedur yang semua suara dan pendapat didengarkan. Semua suara dan pendapat
dianggap benar dan membantu untuk memecahkan masalah. Rembug berusaha untuk
mencapai kebulatan kehendak atau pikiran. Kebulatan itu merupakan jaminan kebenaran
dan ketepatan keputusan yang akan diambil. Kebenaran termuat dalam kesatuan dan
keselarasan kelompok yang berembug (bermusyawarah). Kebenaran tidak dicari di
luar kelompok, atau mereka yang paling berkuasa, tetapi dicari di antara mereka
yang berembug (Lihat, Qs Asy-Syûrâ [42): 38)
Nah,
permasalahannya sekarang adalah, seandainya kita telah mengaku berpuasa,
"sudah mampukah kitasaat ini menghadirkan sikap 'tepo saliro'dengan puasa
kita itu?"*
Sumber: muhammadiyah.or.id
0 comments:
Post a Comment