Menyoal Integritas Mubaligh Kita
Tuesday, January 1, 2013
0
comments
OLEH: MUHSIN
HARIYANTO
Dosen Tetap
FAI-UMY dan Dosen Tidak tetap STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta

Bagi jamaah,
satu tindakan ‘menyimpang’ dari standar keshalihan yang dilakukan oleh ‘Sang
Mubaligh’ sudah bisa menjadikan pamornya –di kalangan jamaah pengajian yang diasuhnya–
jatuh, bahkan mungkin mereka tiba-tiba ‘terjerembab’ dalam lembah nista dalam
ukuran para jamaahnya.
‘Sang Guru
Ngaji’ harus pandai dalam menjaga citra dirinya dengan standar moralitas
tertentu. Bukan dalam makna membangun perilaku kosmetikal yang lebih bernuansa
artifisial. Tetapi, benar-benar jujur dan ikhlas untuk menjadi ‘orang shalih’
di tengah para jamaahnya. Ada proses yang sebegitu rumit dan melelahkan untuk
menjadi ‘Sang Idola’, tetapi sebaliknya ada proses yang sebegitu cepat dan mudah
untuk menjadi yang terpuruk dalam citra diri sebagai manusia yang ‘tak
berharga’. Kadang-kadang para jamaah pengajian tiba-tiba menjadi musuh ‘Sang
Guru Ngaji’, setelah sekian lama menjadikan dirinya sebagai ‘Sang Idola’.
Dalam urusan
politik praktis, misalnya, para sosiolog yang peduli terhadap nasib ‘Sang Guru
Ngaji’ berkali-kali mengingatkan, mengapa para ustadz (guru ngaji) ikut-ikutan
terlibat dalam urusan dukung-mendukung bahkan mengeluarkan fatwa politik yang
sarat kepentingan? Ketika ‘Sang Guru Ngaji’ terjun dalam dunia politik praktis,
kata para sosiolog itu, dia sesungguhnya tengah mempertaruhkan integritasnya.
Menghadapi
momentum pilkada di beberapa daerah, misalnya, para ‘guru ngaji’ dihadapkan
pada pilihan yang terkadang amat sulit. Di satu pihak, ia harus menjaga
integritasnya sebagai simbol moralitas- Muslim dengan netralitasnya terhadap
siapa pun yang tengah berkompetisi (kalau tidak sedang ‘berkongkurensi’, karena
kecurangannya. Di lain pihak, mereka setiap hari harus berhadapan langsung dengan
para jamaahnya yang selalu menunggu dan bertanya mengenai sikapnya terhadap
para calon yang tengah bersaing untuk meraih ‘kue kekuasaan’. Mereka – para
jamahnya — tidak mempunyai
banyak
pilihan. sehingga akhirnya harus menentukan pilihan politiknya. Apalagi, ‘Sang
Guru Ngaji’ juga bisa memanfaatkan momentum pilkada itu untuk —misalnya— meraih
keuntungan melalui konsesikonsesi tertentu dari ‘cabup-cawabup’ (atau yang
setara dengannya) yang bisa dengan terus-terang ‘didukungnya’, bila ia mau
menggalang dukungan melalui ketaaatan para jamahnya.
Risiko dari
setiap langkahnya dalam pelibatan dirinya di dunia poilitik praktis —seperti
apa pun— memang selalu “ada’, sehingga
ia harus
bersikap ekstra hati-hati untuk menentukan sikap dalam berpartipasi politik. Ia
harus menjadi manusia ‘cerdas’ yang mau tidak mau harus memiliki sikap bijak
dalam memilih untuk menjadi apa dan siapa dalam konteks kehidupan berpolitik,
termasuk di kawasan di mana dia harus berperan aktif menjadi ‘Sang Idola’ yang
akan terus diikuti oleh para jamahnya karena sikap bijaknya.
Sayangnya,
mereka ‘Sang Guru Ngaji” sering kali kehilangan akal sehatnya, nuraninya
tersembunyi karena tarikan kuat tawaran yang sangat menggiurkan dari para
kandidat beserta tim suksesnya, yang tidak jarang menggunakan beragam cara yang
kurang, atau bahkan sama sekali tidak ‘elegan’ untuk menarik ‘Sang Idola’ itu
untuk menjadi bagian dari partisan salah satu kandidat, sehingga pendidikan
politik yang seharusnya didakwahkan oleh mereka (Sang Guru Ngaji), tiba-tiba berubah
menjadi menjadi serangkaian upaya penggalangan dukungan. Yang biaya politiknya
bisa diduga, pada saat di mana Sang Guru Ngaji itu berbuat sesuatu yang salah
karena sikap ‘sembrono’-nya, dia akan –bisa jadi– terpuruk menjadi “bagian dari
orang yang dicurigai”, dan bahkan – dengan ke’nekat’annya untuk menjadi
pendukung salah satu calon yang tak dimaui oleh para jamaahnya, dirinya akan
menjadi seseorang yang ditinggalkan oleh para jamaahnya?
Saat ini,
banyak ‘Guru Ngaji’ yang ditinggalkan oleh para jamaahnya, di samping karena
persolaan kompetensinya, dalam banyak hal karena integritasnya. Integritas yang
berasal dari bahasa Inggris, integrity, yang diartikan sebagai `the state of
being honest, up right and sincere’. Atau dalam bahasa Indonesia, diartikan
sebagai keterpaduan, kebulatan, keutuhan, jujur, dan dapat dipercaya. Atau
dalam makna yang lebih luas, orang yang memiliki integritas adalah: “orang yang
bersikap jujur, bisa menjaga komitmen dan berperilaku konsisten.
Bicara
integritas, umumnya terkait dengan kepemimpinan. Sebagaimana kepemimpinan ‘Sang
Guru Ngaji’ bagi para jamaahnya. Integritas memang mutlak diperlukan dalam
kepemimpinan. Integritas diidentifikasi sebagai karakter yang mutlak harus
dimiliki oleh seorang pemimpin, termasuk untuk para guru ngaji. Karena itu,
seorang ‘Guru Ngaji’ yang telah kehilangan integritas sebagai ‘seorang
pemimpin’ bagi para jamaahnya dalam konteks ruang dan waktu (tidak hanya dalam
wilayah politik praktis), tiba-tiba bisa saja ditinggalkan oleh para jamaahnya,
“dilupakan” seolah-olah (dirinya) tak pernah ada di tengahtengah jamaahnya.
Ironis, memang! Tetapi itulah fakta-empiriknya.
Oleh karena
itu, berhati-hatilah dalam melangkah. Bahkan untuk ‘Sang Guru Ngaji’:
“sebaiknya bisa melangkah dengan ekstra hati-hati”.
Sumber: muhammadiyah.or.id
0 comments:
Post a Comment