Pendidikan yang Lahirkan "Rahib" di Malam Hari, "Panglima" di Siang Hari
Tuesday, January 29, 2013
0
comments
Oleh:
Shalih Hasyim
“DIDIKLAH
anakmu dengan sungguh-sungguh, karena ia akan hidup di sebuah masa selain zamanmu,” demikian kutip Ali bin Abi
Thalib. Kita bersyukur, berbagai intitusi pendidikan formal bermunculan di
mana-mana baik yang bercorak konvensional ataupun yang terpadu, bak jamur di
musim hujan di tanah air kita. Yang dikelola oleh pemerintah maupun pihak
swasta.
Secara
kuantitas, input dan lulusan pendidikan sejak Taman Kanan-kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) semakin bertambah. Tetapi, jika kita mencoba melihat ke
dalam secara jujur dan obyektif kita mengakui, dan mencoba memberikan catatan
ringan, sesungguhnya lembaga pendidikan yang ada tidak menggambarkan, mewakili
dan mewujudkan idealisme pendirian sebuah lembaga pendidikan itu sendiri.
Pendidikan
yang tidak melahirkan ilmuan yang memiliki kepribadian yang pemimpin. Dan
pemimpin yang ‘alim (Al ‘Alimuz Za’im waz Za’imul ‘Alim). Yang bermanfaat
ilmunya, baik untuk dirinya dan orang lain, ilmu nafi’ (ilmu yang membela
pemiliknya di akhirat). Bukan kepandaiannya digunakan untuk memanipulasi
angka-angka, menyalahgunakan wewenang. Ilmu yang menjadi penggugat pemiliknya
di Mahkamah Ilahi, ilmun la yanfa’ (ilmu yang tidak bermanfaat). Sebagaimana
doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam di atas.
Faktanya,
pendidikan kita telah gagal melahirkan manusia yang berkarakter. Cenderung
memperlakukan anak didik bagaikan robot. Bukan manusia, yang di dalamnya ada
perasaan. Pendidikan yang kurang humanis. Tampilan manusia sipil yang berwatak
militer, manusia cerdas yang miskin moralitas, manusia modern yang berwatak
primitif, manusia yang sehat secara pisik tetapi sakit ruhaninya, manusia yang
tinggi ilmunya tetapi terpuruk budi pekertinya, manusia yang tinggi
kedudukannya tetapi berjiwa kerdil, fenomena diatas adalah produk/out
put/lulusan pendidikan yang ada.
Sekolah
yang didirikan bukan untuk meningkatkan derajat dan kualitas kehidupan anak
didik, tetapi menambah income. Sekolah yang berbasis bisnis. Anak didik
dimasukkan sekolah agar kelak mendapat pekerjaan yang layak, posisi yang
bergengsi.
Hasil
survey yang dilakukan oleh INSISTS, mahasiswa di PT kuliah tidak ingin
membangun tradisi ilmu, tetapi kelak supaya mudah melamar pekerjaan. Ada sebuah
ungkapan, SDIT identik dengan “Sekolah Dasar Iuran Terus”. Sekalipun statemen
tersebut sulit dicari rujukan ilmiahnya, tetapi subtansi kebenarannya tidak
mudah dipatahkan.
Sekolah
memperlakukan anak didik hanya sebagai har-disk yang siap dimasuki informasi
apa saja, tetapi tanpa program untuk mengolahnya, meminjam istilah penulis
buku-buku parenting Fauzil Adhim.
Setiap
hari mereka hanya belajar menyimpan informasi rapat-rapat ke dalam otak, dan
mengingat kembali saat ulangan.
Dengan
akselerasi media cetak dan elektronik, merupakan media pembelajaran untuk
mengelola berbagai informasi. Tetapi, mereka tidak diajari bagaimana
mensterilkannya dari sesuatu yang mengotorinya. Mereka trampil menggali
informasi, tetapi tidak pandai memfilternya (menyaring), - memilah-milah –
selektif dalam menyerapnya. Banyak penerbitan koran yang muncul, isinya hanya
identik dengan “rongsokan”. Masyarakat sulit menerima informasi yang berimbang
dan bermutu. Isi berita tidak mendidik, misalnya kritik yang bersifat
konstruktif, obral doa. Tetapi bermuatan obral gosip (memakan bangkai).
Reduksi
Pendidikan Agama
Pendidikan
agama hanya sebagai suplemen pendidikan formal. Agama diceraikan dari kehidupan
sosial. Tidak dilibatkan dalam mengelola kehidupan nyata. Disamping alokasi
waktu yang sedikit, itu pun menggunakan pendekatan kognitif. Jadi, pendidikan
agama nyaris tidak ada. Absen dari kehidupan anak didik. Agama hanya kumpulan
pengetahuan. Sehingga lulusan ushuluddin menjadi manusia “ucul-uddin
(ucul/lepas agamanya), ketika dirayu dengan harta, tahta dan wanita.
Agama
dilepaskan ketika disuguhi kursi, nasi dan komisi. Bukankah di Departemen
Agama, Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, sebagai sarang korupsi
insan berdasi (hasil penelitian ICW). Agama hanya sebagai isi otak, bukan
sebagai tata acuan dan tata kelola kehidupan (minhajul hayah).
Batasan
pendidikan agama di sekolah dipahami pelajaran menghafal dengan materi agama,
dan dalam partisi otak, diberi nama pendidikan atau pelajaran agama. Ini sangat
berakibat fatal terhadap perkembangan religiusitas lebih khusus lagi
spiritualitas peserta didik. Gara-gara penanaman pelajaran menghafal sebagai
pendidikan agama, peserta didik mengalami dereligiusisasi dan despiritualisasi
yang menyedihkan.
Padahal
agama adalah nasihat, untuk Allah, Rasul-Nya, Pemimpin dan masyarakat awam.
Mereka semua sejatinya tunduk dibawah komando yang memberi nasihat (agama) agar
selamat. Jika hidup tidak dikontrol oleh agama, orang kecil menjadi makanan
pembesar, orang bodoh menjadi ajang kesewenang-wenangan orang pintar. Orang
lemah menjadi makanan orang kuat. Orang miskin menjadi mangsa the have. Mereka
yang kuat, pemodal dan yang menggenggam kekuasaan menjadi makanan empuk syetan.
Demikianlah kelakar seorang tokoh ketika meresmikan IAIN Walisongo Semarang.
Sekalipun disampaikan secara humoris, tetap memiliki kedalaman makna.
Model
pendidikan yang mereduksi agama hanya menjadi seperti pelajaran IPA, Bahasa
Indonesia, Matematika, atau bahkan lebih rendah dari itu, membuat potensi
ruhiyah peserta didik tumpul dan mati. Bertambah jam pelajaran agama tidak
membangkitkan kekuatan maknawiyyah (spirit moral) mereka. Sebaliknya, justru
bisa rentan masalah. Mereka kehilangan kepercayaan pada agama, sekalipun mereka
tetap memeluk agama. Agama hanya sebagai simbol. Hari ini, itulah yang sedang
terjadi. Anak-anak kita banyak mengalami kelelahan batin dan disorientasi
kehidupan.
Reduksi
agama ini tidak boleh diteruskan. Kekuatan ruhiyah peserta didik harus
ditumbuhkan dan dikuatkan, sehingga menjadi penggerak hidup yang sempurna.
Pembangkit stamina lahir dan batin. Agama menggali potensi manusia untuk
berinteraksi dengan metapisik, membangkitkan idealisme, mensucikan maksud dan
tujuan, menguatkan azam (tekat) untuk bergerak menuju ke arah yang lebih baik,
dan menghadirkan makna, nikmat (kepuasan batin) atas setiap tindakan yang dikerjakannya.
Kita
teringat seorang ulama yang buta -Direktur Madrasah Ar Rasyad– sedang menguji
hafalan Hadits Arbain Hasan Al Banna yang tersendat-sendat. Beliau langsung
memberi motivasi yang terkesan dalam hati murid kesayangannya itu. Asri’ Ya
Gharatallah! (wahai kuda-kuda Allah percepatlah larimu).
Setelah
keluar dari kelas ucapan gurunya yang cacat pisik itu, tetapi karakternya kuat,
berkesan di hatinya. Kata-kata ustadznya dipraktekkan dengan kawan-kawannya
untuk lomba lari. Wahai kuda-kuda Allah, percepatlah larimu! Ucapan yang
langsung direspon dan dijadikan acuan kehidupan.
Kita
pula diingatkan dengan Lorraine Monroe. Ketika ia harus menangani sebuah SMA
dengan latar belakang siswa yang sebagian besar berantakan, -broken home-
(keluarga bermasalah), dan hidup dengan logika kekerasan. Ada dua hal yang
menjadi program prioritas.
Pertama,
membangkitkan high level of expectation (tingkat harapan yang tinggi). Mereka
dimotivasi untuk memiliki target-target, tujuan dan cita-cita besar. Kedua,
meletakkan landasan berupa keyakinan (belief) yang kuat sebagai penggerak untuk
melakukan dan mencapai yang terbaik (the spirit of excellence).
Proses
untuk membangkitkan kekuatan ruhiyah berupa keyakinan yang kuat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, serta kesadaran akan kasih sayang dan kekuasaan-Nya harus
mencakup semua aspek.
Kedua,
sudah saatnya pendidikan dirancang untuk secara seimbang memberi sentuhan yang
menggerakkan aspek kognitif, afektif, psikomotorik, dan spiritual anak.
Berbagai potensi tersbut tidak bisa/tidak boleh dipisah-pisahkan. Harus utuh,
dan ditangani secara holistik.
Pendidikan yang hanya menyentuh salah satu aspek saja, akan lemah dan rapuh.
Jiwanya retak-retak, terbelah (split personality). Boleh jadi tampaknya kuat,
tetapi tidak memiliki landasan psikis yang kuat.
Hari
ini kita menyaksikan bagaimana anak-anak sejak kecil dibiasakan dengan
aktifitas keislaman berubah secara drastis (180 derajat) begitu mereka
bersentuhan dengan lingkungan sosial, komunitas yang berbeda atau wacana yang
lain dipersepsikan batil/salah. Akhirnya merasa paling benar sekalipun jauh
dari kebenaran.
Hari
ini kita juga menyaksikan bagaimana anak-anak yang hanya diaktifkan kompetensi
kognitifnya yang paling rendah berupa menghafal, tetapi bobrok kepercayaan
dirinya. Tidak teguh dalam memegang prinsip (landasan berpikir dan bertindak).
Tidak memiliki keberanian berkorban dan mengambil resiko.
Hari
ini banyak orang pintar, ilmunya
menjulang ke langit (sundhul langit, Bhs Jawa), tetapi betapa parah dan
memprihatinkan mutu akhlaknya. Semakin memuncak karir yang dirintis tidak
semakin takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bukankah kasus KKN, simbol
penyakit moral, yang menggurita di negeri ini dilakukan oleh orang yang
berpendidikan sarjana. Bukan dari kalangan masyarakat awam.
“Barangsiapa
yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak
bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh.” (al-Hadits).
Mereka
menyerap pelajaran umum, pelajaran agama, tetapi tidak disertai dengan
penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam skala individu,
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Agama hanya sebatas sebagai makanan
logika, konsumsi otak. Sehingga kaya dengan serimonial keagamaan tetapi miskin
aplikasi. Agama hanya sebagai simbol, kehilangan spirit.
kibatnya,
wawasan mereka luas dan banyak. Tetapi, hanya sebagai mantra, bukan resep untuk
mengurai kerumitan kehidupan. Hampir-hampir tidak ada yang diingat ketika
mereka menghadapi masalah. Yang
dipelajari tidak bisa menjadi acuan dalam mengatasi problem yang dihadapinya.
Idealismenya melangit, tidak bisa dibumikan.
Rahibun
fillail, Fursanun Finnahari
Sebabnya,
proses pendidikannya salah. Input yang berbobot pun melahirkan out put yang
tidak berkualitas. Perlakuan yang mereka terima di sekolah/universitas, hanya
mencerdaskan otak, kemampuan manusia yang paling rendah (kognitif). Tidak
peduli – dengan rasa dan karsa serta sikap mental -.
Berbagai
upaya untuk melakukan revousi pendidikan mendesak dilakukan. Usaha yang
terencana – yang mengaktifkan secara stimulan dan simultan berbagai potensi
manusia, akliyah, ruhiyah dan jasadiyah - . Memadukan energi ijtihad, jihad dan
mujahadah, perlu dilakukan sekarang juga. Sehingga mereka malam hari bagaikan
pendeta, siang hari bagaikan panglima (rahibun fillail, fursanun finnahari).
Karenanya,
proses pematangan konsep dan penerapan pendidikan yang holistik harus
dipikirkan semua komponen bangsa sejak saat ini, sehingga cita-cita kita
terwujudnya pendidikan integral, kurikulum berbasis tauhid tidak hanya berupa
bayang-bayang.*
Penulis
adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Sumber: hidayatullah.com
0 comments:
Post a Comment