Hadits Dhoif Bolehkah Dijadikan Sandaran Hukum
Tuesday, February 5, 2013
0
comments
Kaum
muslimin yang semoga dirahmati Allah. Saat ini telah tersebar berbagai macam
perkara baru dalam agama ini (baca: bid’ah). Seperti contohnya adalah acara
tahlilan/yasinan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam dan tidak pernah pula dilakukan oleh para sahabatnya. Dan kebanyakan
bid’ah saat ini terjadi dikarenakan tersebarnya hadits dho’if/lemah di
tengah-tengah umat. Contoh dari hadits dho’if tersebut adalah tentang keutamaan
surat yasin sehingga orang-orang membolehkan adanya yasinan. Hadits tersebut
adalah,”Bacakanlah surat yasin untuk orang mati di antara kalian”. (Hadits ini
dho’if/lemah diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa’i. Imam Nawawi
mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat 2 perawi majhul/tidak dikenal).
Selain
itu juga, hadits dho’if digunakan oleh sebagian orang untuk menjelaskan
fadh’ail a’mal yaitu mendorong umat untuk melakukan kebaikan dan menakut-nakuti
mereka agar tidak melakukan kejelekaan. Hadits dho’if (bahkan palsu) ini
semakin tersebar –di zaman yang penuh kebodohan mengenai derajat hadits saat
ini- baik melalui tulisan atau pun melalui lisan para da’i. Namun menjadi suatu
pertanyaan penting, apakah hadits dho’if (atau bahkan palsu) boleh dijadikan
sandaran hukum?! Simaklah pembahasan berikut ini.
Larangan
Berdusta Atas Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Kaum
muslimin yang semoga selalu ditunjuki oleh Allah menuju kebenaran. Perlu
diketahui, bahwa berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
termasuk dosa besar karena beliau shallallahu ’alaihi wa sallam mengancam orang
yang demikian dengan neraka. Sebagaimana sabda beliau shallallahu ’alaihi wa
sallam,
مَنْ
كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
”Barangsiapa
yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mengambil tempat
duduknya di neraka”. (HR. Bukhari & Muslim). Dari hadits ini terlihat jelas
bahwasanya seseorang yang menyandarkan sesuatu kepada Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam tanpa mengetahui keshohihannya, dia terancam masuk neraka.
Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda,
كَفَى
بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
”Cukuplah
seseorang dikatakan berdusta, jika ia menceritakan setiap yang dia dengar.”
(HR. Muslim). Imam Malik –semoga Allah merahmati beliau- mengatakan,
”Ketahuilah, sesungguhnya seseorang tidak akan selamat jika dia menceritakan
setiap yang didengarnya, dan dia tidak layak menjadi seorang imam (yang menjadi
panutan, pen), sedangkan dia selalu menceritakan setiap yang didengarnya.
(Dinukil dari Muntahal Amani bi Fawa’id Mushtholahil Hadits lil Muhaddits Al
Albani).
Dari
perkataan Imam Malik ini terlihat bahwasanya walaupun seseorang tidak dikatakan
berdusta secara langsung namun dia dapat dikatakan mendukung kedustaan karena
menukil banyak hadits lalu mendiamkannya, padahal bisa saja hadits yang
disampaikan dho’if atau dusta. (Lihat Muntahal Amani)
Hukum
Memakai Hadits Dho’if
Setelah
penjelasan larangan berdusta atas Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yaitu
seseorang tidak boleh menyampaikan suatu hadits tanpa tahu terlebih dahulu
keshohihannya, maka perlu kita ketahui pula hukum menggunakan hadits dho’if
dengan melihat perkataan Imam Muslim –semoga Allah merahmati beliau- berikut
ini.
Imam
Muslim –rahimahullah- berkata, ”Ketahuilah –semoga Allah memberikan taufiq
padamu- bahwasaya wajib atas setiap orang yang mengerti pemilahan antara
riwayat yang shohih dari riwayat yang lemah dan antara perowi yang tsiqoh
(terpercaya, pen) dari perowi yang tertuduh (berdusta, pen); agar tidak
meriwayatkan dari riwayat-riwayat tersebut melainkan yang dia ketahui
keshohihan periwatnya dan terpercayanya para penukilnya, dan hendaknya dia
menjauhi riwayat-riwayat yang berasal dari orang-orang yang tertuduh dan para
ahli bid’ah (yang sengit permusuhannya terhadap ahlus sunnah). Dalil dari
perkataan kami ini adalah firman Allah yang artinya,”Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
(Q.S. Al Hujurat: 6)
Ayat
yang kami sebutkan ini menunjukkan bahwa berita orang yang fasik gugur dan
tidak diterima dan persaksian orang yang tidak adil adalah tertolak.”
(Muqoddimah Shohih Muslim, dinukil dari Majalah Al Furqon). Maka dapat
disimpulkan bahwa hadits dho’if tidak boleh dijadikan sandaran hukum karena
periwayat hadits dho’if termasuk orang yang fasik.
Bolehkah
Hadits Dho’if Digunakan dalam Fadho’il A’mal?!
Ada
sebagian kaum muslimin yang sering membawakan hadits dho’if (bahkan sangat
dho’if/lemah) tentang fadha’il a’amal (keutamaan berbagai amal) dalam dakwah
mereka. Mereka beralasan bahwa para ulama telah sepakat bolehnya menggunakan
hadits dho’if dalam fadha’il a’mal. Padahal di pihak lain, banyak ulama yang
menyatakan hadits dho’if tidak boleh diamalkan secara mutlak meskipun di dalam
masalah fadha’il a’mal.
Perlu
kaum muslimin ketahui, bahwa maksud sebagian ulama yang membolehkan menggunakan
hadits dho’if bukanlah yang dimaksudkan mereka menggunakan hadits dho’if
serampangan begitu saja. Namun, maksud mereka adalah bahwasanya dibolehkan
menggunakan hadits dho’if untuk menjelaskan fadha’il a’mal
(keutamaan amalan) dalam amalan yang telah disyari’atkan dalam syari’at dengan
dalil-dalil yang shohih seperti dzikir, puasa, dan sholat. Hal ini dimaksudkan
agar jiwa manusia selalu mengharapkan pahala dari amalan-amalan tersebut atau
menjadi takut untuk melaksanakan suatu kejelekan. Para ulama tidak menghendaki
penetapan hukum syar’i dengan hadits-hadits yang dho’if/lemah yang tidak
memiliki landasan pokok dari hadits yang shohih. Seperti yasinan/tahlilan tidak
memiliki dalil dari hadits yang shohih sama sekali yang menjadi landasan pokok
dalam penetapan hukum.
Para
ulama yang membolehkan beramal dengan hadits dho’if di dalam fadho’il a’mal
juga memberikan persyaratan bagi hadits yang boleh diamalkan dalam hal
tersebut. Syarat-syarat tersebut adalah:
(1)
Hendaknya hadits dho’if tersebut bukanlah hadits yang sangat dho’if/lemah,
(2)
Hendaknya hadits dho’if tersebut masuk di bawah hadits shohih (atau minimal
hasan) yang sifatnya umum,
(3)
Di dalam mengamalkannya tidak diyakini keshohihannya,
(4)
Hadits ini tidak boleh dipopulerkan.
Syarat-syarat
di atas di dalam prakteknya sulit sekali diterapkan oleh kebanyakan kaum
muslimin. Kebanyakan dari mereka tidak bisa memilah antara hadits dho’if dengan
hadits yang dho’if jiddan (lemah sekali) dan antara hadits yang di dalamnya
memiliki landasan dari hadits yang shohih dengan yang tidak. (Lihat Majalah Al
Furqon, thn.6, ed.2 dan Ilmu Ushul Bida’)
Mengenai
hadits dho’if, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Sedangkan
hadits dho’if diperselisihkan oleh para ulama -rahimahumullah-. Ada yang
membolehkan untuk disebarluaskan dan dinukil, namun mereka memberikan tiga
syarat dalam masalah ini,
[Syarat
pertama] Hadits tersebut tidaklah terlalu dho’if (tidak terlalu lemah).
[Syarat
kedua] Hadits tersebut didukung oleh dalil lain yang shahih yang menjelaskan
adanya pahala dan hukuman.
[Syarat
ketiga] Tidak boleh diyakini bahwa hadits tersebut dikatakan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hadits tersebut haruslah disampaikan dengan lafazh tidak
jazim (yaitu tidak tegas). Hadits tersebut hanya digunakan dalam masalah at
targhib untuk memotivasi dan at tarhib untuk menakut-nakuti.”
Yang
dimaksudkan tidak boleh menggunakan lafazh jazim adalah tidak boleh menggunakan
kata “qola Rasulullah” (رَسُوْل اللهِ قَالَ), yaitu Rasulullah bersabda. Namun
kalau hadits dho’if tersebut ingin disebarluaskan maka harus menggunakan lafazh
“ruwiya ‘an rosulillah” (ada yang meriwayatkan dari Rasulullah) atau lafazh
“dzukiro ‘anhu” (ada yang menyebutkan dari Rasulullah), atau ”qiila”, atau
semacam itu. Jadi intinya, tidaklah boleh menggunakan lafazh “Qola Rosulullah”
(Rasulullah bersabda) tatkala menyebutkan hadits dho’if.
Jika
di masyarakat tidak bisa membedakan antara perkataan dzukira (ذُكِرَ), qiila (قِيْلَ),
ruwiya (رُوِيَ) dan qoola (قَالَ), maka
hadits dho’if tidak boleh disebarluaskan sama sekali. Karena ditakutkan
masyarakat akan menyangka bahwa itu
adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Faedah Ilmu dari Syarh Al
‘Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal. 401-402,
cetakan pertama, 1424 H). Lihat pula pembahasan kami di sini.
Faedah
Lainnya
Dari
sini menunjukkan bahwa hadits dho’if tidak boleh digunakan untuk menentukan
suatu amalan kecuali jika ada hadits shahih lain yang mendukungnya. Karena di
sini hanya disebutkan boleh hadits dho’if untuk memotivasi beramal atau
menakut-nakuti, bukan untuk menentukan dianjurkannya suatu amalan kecuali jika
ada hadits shahih yang mendukung hal ini. Perhatikanlah! Misalnya ada hadits
dho’if mengenai amalan pada malam nishfu sya’ban. Kalau landasannya dari hadits
dho’if tanpa pendukung dari hadits shahih, maka tidak boleh digunakan sama sekali
sebagai landasan untuk beramal.
Demikian
pembahasan ringkas kami. Semoga bermanfaat.
Hanya
Allah yang beri taufik.
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber:
http://rumaysho.com
0 comments:
Post a Comment