Bagaimana Berdebat Dengan Para Munafik
Friday, July 25, 2014
0
comments
Beberapa
kali mungkin kita terjebak dalam debat. Kadang malah terlihat tak berujung.
Akhirnya malah terjadi saling tuding, saling hina, bahkan tak jarang kata-kata
kasar terlontar. Baru saja, sebelum menuliskan catatan singkat ini, saya
membaca tulisan seorang saudara di akun twitternya.
Darinya,
ada beberapa hal yang perlu disampaikan di sini terkait sikap seorang da’i
dalam menghadapi orang-orang munafiq. Allah berfirman,
“Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah
dari orang-orang yang bodoh”. (QS al A’raaf 199)
Mengomentari
ayat ini, Sayyid Quthb, dalam Zhilal, berkata, ” Inilah arahan-arahan
rabbaniyah di dalam menghadapi kejahiliyahan yang sangat buruk, di dalam
menghadapi kemanusiaan yang tersesat. Arahan rabbani menyeru da’i untuk
berlapang dada dan toleran. Juga supaya menyampaikan perintah dengan jelas
untuk melakukan kebaikan yang sudah dikenal oleh fitrah manusia dengan lapang
dengan tidak mempersulit dan tidak memperberat. Juga supaya ia berpaling dari
tindak kejahiliyahan, dengan tidak menjatuhkan hukuman pada mereka, tidak mengajaknya/melayaninya
berdebat, dan tidak ikut bersama-sama mereka”, ujarnya.
Apabila
mereka melampaui batas dan menimbulkan kebencian dengan keras kepala dan
menghalang-halangi, dan setan mengembuskan kebencian itu, maka hendaklah
seorang da’i memohon perlindungan pada Allah agar hatinya tenang, tenteram, dan
bersabar.
Sementara
itu, Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, berkata, Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan
dia menceritakan sebuah kisah mengenai Umar ketika salah satu tamunya
membuatnya marah. Maka al Hur bin Qais berkata padanya, “Yaa amiral mu’minin,
sesungguhnya Allah ta’ala berfirman pada nabi, ‘Jadilah engkau pemaaf dan
suruhlah dengan ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh’.”
Ibnu
Jarir berkata bahwa sesungguhnya nabi telah memerintahkan agar dia menyuruh
pada yang ma’ruf pada hamba-hambanya. Termasuk dalam yang ma’ruf itu adalah
segala ketaatan, dan menyuruh berpaling dari orang-orang yang bodoh…
Mari
tetap bersikap dingin menghadapi orang-orang munafiq. Sebab, Allah berkata
bahwa memang seperti itulah tabiat mereka. Mereka akan tetap bersikap seperti
itu hingga mereka mau mengubah apa yang ada dalam dirinya, yang kemudian
berakibat pada turun tangannya Allah dalam mengubah hatinya, dalam mengubah
sikapnya.
“Dan
jika dikatakan pada mereka, “Marilah (kembali) pada apa yang diturunkan oleh
Allah dan kepada rasulnya.” kamu pasti akan melihat orang2 munafiq itu
menghalang2i kamu dengan keras”. (QS an Nisaa’ 61)
“Sesungguhnya
Allah tidak mengubah apa yang ada dalam qaum itu, sehingga mereka mengubah apa
yang ada pada diri mereka”. (QS ar Ra’d 13)
Menghadapi
mereka, Allah memerintahkan kita untuk memberikan “qaulan baliigha” pada
mereka.
“Mereka
itu adalah orang2 yang Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka. Krn
itu, berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan
katakanlah pada diri mereka qaulan baliigha (perkataan yang membekas)”. (QS an
Nisaa’ 63)
Pertanyaannya,
apa yang dimaksud dengan qaulan baliigha itu? Untuk lebih mudahnya, mari kita
simak nasihat Syaikh Utsaimin berikut ini. Beliau, dalam ash Shohwatul
Islamiyyah, berkata bahwa bashirah, khususnya dalam da’wah itu ada tiga:
pertama, bashirah ‘alaa ilmi. Kedua, bashirah ‘alaa mad’u. Ketiga, bashirah
‘alaa da’wah.
Yang
pertama, bashirah ‘alaa ilmi. Pengetahuan atau penguasaan atas ilmu. Yang ini
jelas merupakan syarat da’wah pertama. Tidak perlu saya jelaskan lagi lebih
jauh. Sebab apa lagi yang akan dijelaskan oleh seorang da’i selain ilmu
mengenai Islam? Bukankah mereka yang tak memiliki sesuatu tak dapat memberikan
sesuatu?
Mengenai
hal ini, Syaikh Utsaimin berkata, Sebagian orang menghukumi sebagian perkara
yang bukan merupakan kewajiban sebagai perkara yang wajib; dibangun dengan
ijtihad yang keliru, ta’wil, dan syubhat yang tiada dasarnya. Apalagi
menjadikan hal tersebut sebagai tolok ukur wala’ dan bara’! Apabila ia
menjumpai seseorang yang berbeda pendapat dengannya, ia benci dan marah
dengannya. Padahal pendapatnya sendiri telah menyelisihi al Kitab dan as
Sunnah. Namun, apabila pendapat seseorang sesuai dengan pendapatnya, ia pun
mencintainya.
Kedua,
bashirah ‘alaa mad’u. Pengetahuan atas objek da’wah. Hal ini dicontohkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu
‘anhu untuk berda’wah di Yaman. Saat itu, beliau bersabda, Sesungguhnya engkau
akan mendatangi suatu kaum ahli kitab. (Muttafaqun ‘alaih)
Kata-kata
ini tentu bukan tanpa maksud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menginginkan kita mengetahui objek da’wah sebelum berda’wah padanya. Kita patut
mengetahui tingkat ilmunya, kemampuannya dalam diskusi maupun debat, dan
sebagainya, supaya kita kemudian mampu mengambil hatinya dan mengajaknya pada Islam.
Asy Syaikh kemudian mengutip sebuah hadis berikut, Sesungguhnya kalian akan
saling mengalahkan di hadapanku, dan sebagian kalian lebih cerdas dalam
mengemukakan pendapat daripada sebagian yang lain. Maka aku memutuskan perkara
berdasarkan apa yang kudengar. Barangsiapa yang mengajukan perkara demi
mengambil hak saudaranya, janganlah diambil. Sesungguhnya barangsiapa yang
berhenti dari hal itu, terputuslah api neraka baginya. (Muttafaqun ‘alaih)
Ketiga,
bashirah ‘alaa da’wah. Pengetahuan atas da’wah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Kami diperintah supaya berbicara kepada manusia menurut
kadar akal mereka masing-masing”. (HR. Muslim).
Ini
penting, sebab tidak semua manusia memiliki standar yang sama dalam menilai
perkataan orang lain. Bisa jadi, karena kita membaca al Quran dan mendapati
nabi Ibrahim yang merupakan khalilullah itu sampai menyebut ummatnya sesat
dengan perkataan yang jelas itu (QS 21:54), lantas kita berbuat hal yang sama.
Perlu
kita perhatikan kultur masyarakat yang berkembang. Jelas berbeda kultur
masyarakat nabi Ibrahim dengan kultur masyarakat kita, meski model ma’shiyatnya
sama saja. Sama-sama kesyirikan yang jadi masalah. Jelas berbeda kultur
masyarakat Arab zaman Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan budaya
masyarakat Indonesia saat ini. Dahulu, ada sebuah qabilah yang nyaman saja
disebut “bani kalb”. Tapi tentu itu tak tepat bila sebutan itu
disematkan—dengan alasan apa pun—pada penduduk Indonesia. Dahulu ada sahabat
yang lazim dipanggil Abu Hurairah. Tak pas pula rasanya bila panggilan ini
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kemudian kita sematkan pada tetangga kita
yang menyukai kucing.
Untuk
itu, Rasul kemudian memerintahkan kita untuk berbicara—dalam rangka berda’wah,
tentu—menurut kadar akal objek da’wah. Semata supaya pesan da’wah ini tak
tertinggal. Supaya maksud besarnya tak terpotong.
Ada
sebuah kekhawatiran dari dalam diri saya melihat da’i yang mengabaikan
rambu-rambu ini: akan ada perdebatan-perdebatan tak berkualitas yang secara
perlahan tapi pasti akan menurunkan izzah para da’i di mata mad’unya.
Akibatnya, belum satu kalimat terlontar dari lisan kita, keengganan mereka
sudah muncul terlebih dahulu. Jadilah niat kita untuk berda’wah tak terlaksana.
Syariat
ini perlu disampaikan. Salah satu wasilahnya adalah dengan cara beradu argumen
(QS 16:125). Berdebat, dengan kata lain. Di sisi lain, kita mudah menjumpai
ayat maupun hadis yang berisi anjuran untuk meninggalkan debat. Apalagi bila
debat itu mempertanyakan hukum atau syariat Allah.
Sesungguhnya
orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai pada
mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah kebesaran mereka
sekali-sekali tidak akan mencapainya. Maka mintalah perlindungan pada Allah.
Sesungguhnya Ia maha mendengar lagi maha melihat. (QS al Mu’min 56)
Namun,
sekali lagi, penguasaan kita terhadap medan da’wah diuji di sini, di mana kita
harus menempatkan diri kita di posisi pertengahan. Lembut dalam berda’wah
memang dianjurkan. Tapi jelas tidak untuk setiap saat dan tempat. Serupa debat
Ibrahim ‘alaihissalam muda dengan Namrudz. Atau seperti argumen-argumen Musa
‘alaihissalam di hadapan Fir’aun.
“Janganlah
kamu mengikuti orang2 yang mendustakan ayat2 Allah. Mereka menginginkan supaya
kamu bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak (juga) padamu”. (QS al Qalam
8-9)
Sumber: eramuslim.com
0 comments:
Post a Comment