Belajar dari Pak De Dirman
Wednesday, November 28, 2012
0
comments
Pejuang kemerdekaan yang
mengobarkan semangat jihad, perlawanan terhadap kezaliman, membekali dirinya
dengan pemahaman dan pengetahuan agama yang dalam, sebelum terjun dalam dunia
militer untuk seterusnya aktif dalam aksi-aksi perlawanan dalam mempertahankan
kemerdekaan negeri. Mengawali karir militernya sebagai seorang dai muda yang
giat berdakwah di era 1936-1942 di daerah Cilacap dan Banyumas. Hingga pada
masa itu Soedirman adalah dai masyhur yang dicintai masyarakat.
Lahir dari keluarga petani
kecil, di desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa
Tengah, pada tanggal 24 Januari 1916. Ayahnya seorang mandor tebu pada pabrik
gula di Purwokerto. Sejak bayi Soedirman diangkat anak oleh asisten wedana
(camat) di Rembang, R. Tjokrosunaryo.
Ketika ia menjadi seorang
panglima, Soedirman adalah seorang yang ditakuti lawan dan disegani kawan.
Memiliki semangat berdakwah yang tinggi, dan lebih banyak menekankan pada
ajaran tauhid, kesadaran beragama serta kesadaran berbangsa. Sebagai bagian
dari hamba-hamba Allah, kepedulian akan kemurnian nilai-nilai ketauhidan
terhadap masyarakat Jawa yang masih sangat kental dipengaruhi oleh adat
istiadat. Menjadi suatu kegiatan dakwah yang memiliki nilai strategis, karena
dengan cara itulah semangat jihad untuk melakukan perlawanan dalam diri rakyat
dapat terpompa dan terpelihara. Termasuk bagi seorang Soedirman, yang
memulainya dari kepanduan Hizbul Wathon bagian dari Muhammadiyah.
Bakat dan jiwa perjuangannya
mulai terlihat sejak dari kepanduan Hizbul Wathon ini, juga peningkatan
kemampuan fisik dan penggemblengan mental. Bakat kemiliterannya ditempa melalui
organisasi berbasis dakwah. Bahkan semangatnya berjihad telah mengantarkan
Soedirman menjadi orang nomor satu dalam sejarah militer Indonesia.
Sebagai kader Muhammdiyah,
Panglima Soedirman dikenal sebagai santri atau jamaah yang cukup aktif dalam
pengajian “malam selasa”, yakni pengajian yang diselenggarakan oleh PP
Muhammadiyah di Kauman berdekatan dengan Masjid Besar Yogyakarta. Seorang
Panglima yang istimewa, dengan kekuatan iman dan keislaman yang melekat kuat
dalam dadanya. Sangat meneladani kehidupan Rasulullah, yang mengajarkan
kesederhaan dan kebersahajaan. Sehingga perlakuan khusus dari jamaah pengajian
yang rutin diikutinya, dianggap terlalu berlebihan dan ditolaknya dengan halus.
Seorang jenderal yang
shalih, senantiasa memanfaatkan momentum perjuangan dalam rangka menegakkan
kemerdekaan sebagai bagian dari wujud pelaksanaan jihad fi sabilillah. Dan ini
ia tanamkan kepada para anak buahnya, bahwa mereka yang gugur dalam perang ini
tidaklah mati sia-sia, melainkan gugur sebagai syuhada. Untuk menyebarluaskan
semangat perjuangan jihad tersebut, baik di kalangan tentara atau pun seluruh
rakyat Indonesia, Jenderal besar ini menyebarkan pamflet atau selebaran yang
berisikan seruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus berjuang melawan
Belanda dengan mengutip salah satu hadits Nabi. “Insjafilah! Barangsiapa mati,
padahal (sewaktoe hidoepnja) beloem pernah toeroet berperang (membela keadilan)
bahkan hatinya berhasrat perang poen tidak, maka matilah ia diatas tjabang
kemoenafekan.”
Perang gerilya yang
dilakukan, tak luput dari mencontoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Sewaktu berada di desa Karangnongko, setelah sebelumnya menetap di desa
Sukarame, Panglima Besar Soedirman yang memiliki naluri seorang pejuang,
menganggap desa tersebut tidak aman bagi keselamatan pasukannya. Maka beliau
pun mengambil keputusan untuk meninggalkan desa dengan taktik penyamaran,
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah besarta para sahabatnya saat akan
berhijrah.
Setelah shalat subuh, Pak
Dirman yang memiliki nama samaran Pak De dengan beberapa pengawal pergi menuju
hutan. Mantel yang biasa dipakai olehnya ditinggal dalam rumah di desa itu,
termasuk beberapa anggota rombongan yang terdiri dari Suparjo Rustam dan Heru
Kesser. Pagi harinya Heru Kesser segera mengenakan mantel tersebut dan bersama
Suparjo Rustam berjalan menuju arah selatan, sampai pada sebuah rumah barulah mantel
tersebut dilepas dan mereka berdua bersama beberapa orang secara hati-hati
pergi menyusul Soedirman. Dan sore harinya pasukan Belanda dengan pesawat
pemburunya memborbardir rumah yang sempat disinggahi Heru Kesser dan Suparjo
Rustam, dan ini membuktikan betapa seorang Panglima sekaligus dai ini begitu
menguasai taktik dan sejarah perjuangan dalam Islam.
Sebuah perjuangan yang penuh
dengan kateladanan, baik untuk menjadi pelajaran dan contoh bagi kita semua,
anak bangsa. Perjalanan panjang seorang dai pejuang yang tidak lagi memikirkan
tentang dirinya melainkan berbuat dan berkata hanya untuk rakyat serta bangsa
tercinta. Penyakit TBC yang diderita, tidak menyurutkan langkah perjuangannya.
Sampai akhir usianya, 38 tahun, Panglima Besar Jenderal Soedirman yang dicintai
rakyat menutup hidupnya tanggal 29 Januari 1950, tepat hari Ahad. Bangsa ini
mencatat satu lagi pejuang umat, yang lahir dari umat dan selalu berjalan
seiring untuk kepentingan umat.
sumber: pundicahaya.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment