Belajar Kepedulian Sosial dari KH. Ahmad Dahlan
Monday, November 12, 2012
0
comments
Dalam
penafsiran KH Ahmad Dahlan, surat Al-Ma’un (1-7) secara substantif mengandung
beberapa pesan. Pertama, orang yang acuh tak acuh terhadap kaum dhu’afa,
tergolong si pendusta agama. Kedua, ibadah shalat sebagai ibadah mahdhah
memiliki dimensi sosial yang tidak diragukan sedikit pun. Lebih menukik lagi,
tidak ada faedah shalat bila tidak dibarengi dengan ibadah sosial. Ketiga,
melakukan amal shalih tidak boleh riya, seperti ingin mencari nama atau
popularitas atau berudang di balik batu demi uang. Keempat, tidak sedikit orang
yang terjerembab ke dalam egoisme sehingga enggan mengulurkan pertolongan
(material dan imaterial) terhadap kaum mustadh’afin.
KH
Ahmad Dahlan dengan segenggam motivasi dan aplikasi sengaja mengajarkan surat
Al-Ma’un di atas pada jamaahnya secara berulang-ulang. Dalam memupuk kepedulian
sosial umat, KH Ahmad Dahlan tak terperangkap dengan teori-teori muluk yang
kadang amat melangit seperti yang menggejala di alam kontemporer kini. Tapi,
tokoh yang bernama kecil Muhammad Darwis dan pernah menimba ilmu kepada Syeikh
Ahmad Khatib al–Minangkabawy, bahkan rela berkorban moril dan material demi
mempraktikkan sensibilitas dan cita-cita sosial umat, yaitu tercapainya sebuah
masyarakat egaliter yang peduli kaum dhu’afa (ekonomi lemah).
Masih
berpijak pada spirit surat Al-Maa’un, satu ketika KH Ahmad Dahlan, memukul kentongan
guna mengumpulkan para tetangganya. Apa gerangan? Kiranya kaum kerabat dan
handai-tolan bersedia membeli perabot rumah tangganya dalam sebuah lelangan
spontan. Dijelaskan beliau bahwa hasil lelang akan digunakan untuk menyantuni
fakir miskin dan anak yatim.
Cita-cita
Sosial versus Realitas
Bila
dikerucutkan, paling tidak cita-cita sosial KH Ahmad Dahlan dengan
Muhammadiyah-nya berkisar pada empat persoalan esensial, yaitu: ukhuwah
(persaudaraan), hurriyah (kemerdekaan), musawwah (persamaan) dan ‘adalah
(keadilan). Namun, pada ranah realita, Persyarikatan Muhammadiyah hingga di
usianya yang sudah 99 tahun (menurut perhitungan tahun masehi) atau 102 tahun
menurut tahun hijrah, baru menyikapi sejumlah kecil cita-cita sosial yang
diwariskan KH Ahmad Dahlam tersebut.
Sudah
tentu kiat-kiat menggapai cita-cita sosial yang demikian runyam dan komplek
kini, dan dipertautkan dengan apa yang telah dicapai Muhammadiyah terkesan
belum memadai. Ketika Muhammadiyah berhadapan dengan masyarakat agraris yang
serba sederhana pada 1960-an, aktivitas yang digeluti Muhammadiyah tampak
begitu relevan dan bahkan bergema di depan sejarah. Namun, ketika Muhammadiyah
kini berhadapan dengan era industrialisasi dengan segala implikasinya, maka
konsep-konsep perjuangan, pranata-pranata organisasional plus corak leadership
yang ada sejatinya berada di depan perubahan sosial plus perubahan budaya yang
kian menapak maju.
Bersangkut-paut
dengan hal itu, persoalan sosial yang mesti disikapi organisasi reformis dan
modernis ini ke depan, bahkan sekarang juga, tidak lain adalah hal-ihwal
kemiskinan. Pasalnya, walau sudah 13 tahun reformasi, demokratisasi, dan juga
otonomi bergulir di negeri ini, namun sekitar 38 juta jiwa dari populasi
penduduk terpaut angka 237,56 juta jiwa (sensus 2010) masih terhuyung-huyung
dalam lumpur kemiskinan yang kian meluas. Yang membuat kening banyak orang
berkerut, kemiskinan yang diidap itu tidak cuma kemiskinan material, tetapi
juga terpuruk dalam kubangan kemiskinan spiritual, kemiskinan intelektual, kemiskinan
kultural dan kemiskinan struktural.
Berbarengan
dengan kebijakan Pemerintah yang dinahkodai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa waktu lalu, kian
menghempaskan komunitas miskin ke lembah yang lebih miskin. Walau Pemerintah
berupaya menopang lewat bantuan langsung tunai (BLT) bagi sekitar 15,1 juta
rumah tangga miskin yang disantuni Rp.100 ribu/bulan selama setahun, namun hal
semacam itu hanyalah sekadar menyuguhkan pil penenang bagi masyarakat miskin.
Program BLT ini nyaris sama dan sebangun dengan program Inpres Desa Tertinggal
(IDT) pada 1994-1998 pada masa Pemerintah otoritarian Orde Baru yang
mengalokasikan dana sejumlah Rp 57.000.000 untuk setiap desa. Hasilnya, hanya
membuat komunitas miskin jadi cengeng, dan jauh dari kemandirian seperti yang
diharapkan.
Menyikapi
hal tersebut, setidaknya ada dua upaya yang bisa ditawarkan. Pertama, cara
perbaikan incremental, yaitu menggugah kesadaran kaum berpunya (aghniya) untuk mendongkrak sensibilitas
plus sensitivitas sosial mereka agar rela memberikan sebagian kekayaanya guna
memperkecil kesenjangan sosial yang masih menganga di tengah masyarakat. Dalam
konteks ini, sesungguhnya kewajiban zakat, infak, shadaqah, wakaf, hibah,
hadiah dan lain sebagainya yang dituntut plus dituntunkan Islam dapat dikatakan
termasuk kategori ini, seperti yang tersurat dalam surat At-Taubah: 60.
Kedua,
cara reformatif, berupa perubahan yang cukup drastis dengan catatan tanpa
menelungkup-menelentangkan struktur ekonomi dan politik yang ada. Perubahan
reformatif, tidak lain adalah sebuah perubahan yang bertumpu pada political
will yang kuat lewat perundang- undangan dengan penegakan hukum yang tegas.
Misalnya, memberlakukan UU anti monopoli dan monopsoni tanpa pandang bulu dan
pandang kartu (diskriminatif); dan mengimplementasikan dengan sungguhsungguh
undang-undang yang berpihak dan membela hak-hak konsumen.
Agenda
Muhammadiyah
Bagaimana
posisi Muhammadiyah menghadapi persoalan-persoalan sosial ekonomi yang tidak
semudah membalik telapak tangan itu? Hemat kita, seyogianya Muhammadiyah tidak bernafsu
besar, tapi tenaga kurang. Pasalnya, problematika sosial-ekonomi yang dihadapi
bangsa Indonesia kini jauh lebih besar dan kompleks ketimbang kemampuan
Muhammadiyah. Terutama menyangkut hal-ihwal jabaran konsep, rentang kendali
organisasi, kekuatan personil/SDM, daya dukung finansial dan lain sebagainya.
Dalam konteks ini, Muhammadiyah memang harus bersikap realistis. Sikap
realistis itu tidak berarti Muhammadiyah stagnan dan puas dengan kondisi yang
ada. Sebab, seperti dikritik banyak pihak (internal dan eksternal) Muhammadiyah
pelan-pelan bisa kehilangan relevansi bila tidak tanggap melakukan perubahan di
tengah perubahan sosial yang kian menggelinding. Ke depan bahkan sekarang juga,
Muhammadiyah sejatinya mengakrabi perubahan-perubahan kreatif yang meliputi:
penataan kelembagaan yang rapi plus sinergis; menggenjot kualitas personel/SDM
sehingga lebih mumpuni dan visioner; dan yang tak kalah mendesak adalah
memperbanyak kader (genetikal, formal dan informal). Semuanya dilakukan demi
mengejar obsesi dan cita-cita sosial Muhammadiyah tadi.
Muhammadiyah
perlu mengemas pembaruan organisasional (tajdidu al-jamiyyah) serta menyiapkan
kader berspektrum kualitatif dan kuantitatif (tajdidu al-kawadir) yang mampu
memosisikan diri sebagai agents of change. Para petinggi dan Organisasi Otonom
Muhammadiyah seperti IMM, NA, Pemuda Muhammadiyah, IPM dan Tapak Suci Putra
Muhammadiyah) perlu menggelar acara duduk bersama. Tujuannya adalah untuk
memformulasikan program aksi untuk melahirkan kader-kader sebagai pelanjut,
penyempurna dan pelangsung Muhammadiyah dalam gerakan spiritual, intelektual, kultural
dan sosial demi mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Untuk
itu diperlukan tiga hal penting yang sejatinya berjalin-kelindan. Pertama,
konsep masyarakat Islam yang sebenar-benarnya itu mesti jelas plus koheren. Kedua,
mengerucutkan konsep-konsep tersebut dengan realitas sosial yang menyelinap di
tengah kehidupan masyarakat. Ketiga, Muhammadiyah dituntut melakukan semacam
analisis sosial yang lebih komprehensif tentang masyarakat yang menjadi arena berkibarnya
bendera Muhammadiyah. Sudah barang tentu, orientasinya sejak level Pusat
sampai tingkat Wilayah, Daerah, Cabang dan Ranting.
___________________________________________________
DRS
H MARJOHAN, MM
Penulis
adalah Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Pasaman, Sumatera Barat.
Sumber:
lazismu.org
0 comments:
Post a Comment