Jiwa Besar Buya Hamka Terhadap Lawan Politiknya
Wednesday, November 7, 2012
0
comments
Rangkaian tulisan berikut
adalah penggalan dari perjalanan hidup Prof. KH. Abdul Malik Karim Amrullah
alias Buya Hamka yang dikisahkan oleh putra kelima beliau, yakni KH. Irfan
Hamka di dalam bukunya Kisah-Kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka.
Penggalan ini berkisah
tentang kebesaran jiwa dan sifat pemaaf Buya Hamka kepada lawan-lawan
politiknya secara ideologis: antara Islam, nasionalis dan komunis yang diwakili
para tokohnya yakni pencetus penggali Pancasila Mr. Moh.Yamin dan Soekarno
serta tokoh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) Pramudya Ananta Tur; padahal tak
jarang demi mempertahankan dan membela keyakinannya itu Buya Hamka harus masuk
penjara, difitnah, disingkirkan, dimiskinkan namun kesabaran beliau dalam
menghadapi ujian itu berbuah menjadi hikmah yang luar biasa yang diantaranya
terungkap dalam penggalan kisah berikut ini yang insya Allah dapat membuka mata
hati siapapun yang membacanya, meresapinya dan menghayatinya untuk menetapi
jalan Islam menuju keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selamat membaca.
Pesan Terakhir Mr. Mohammad
Yamin
Masih ada lagi bukti-bukti
bagaimana kebesaran jiwa dan pemaafnya ayahku (Buya Hamka – pen.). Susah kita
mengukur pribadi orang yang memiliki jiwa sebesar ayahku, Hamka.
Dalam tulisan yang
kusiapkan, penulis ini berusaha menghindari penilaian yang subyektif karena aku
anak beliau. Kucoba merangkai bagaimana sifat pemaaf yang begitu ikhlas
diberikan ayah kepada orang-orang yang membencinya. menzalimi dan memfitnah.
Tahun 1955 sampai 1957,
sebagai seorang anggota Konstituante dari Fraksi Partai Masyumi, ayah cukup
aktif dalam sidang merumuskan Dasar Negara Rl. Ada 2 pilihan untuk dasar negara
kita; pertama, UUD 1945 Negara berdasarkan Islam. Kedua, UUD 1945/ dengan dasar
negara Pancasila
Untuk kedua pilihan dasar
negara itu, terbuka dua front yang sama kuat. Front pertama tentu saja kelompok
Islam. Masyumi sebagai pimpinannya, mengajukan dasar negara berdasarkan Islam.
Front kedua, dipimpin PNI, Partai Nasional Indonesia ingin negara berdasarkan
Pancasila.
Dalam suatu acara
persidangan ayah menyampaikan pidato politiknya, dengan beraninya menyampaikan
isi pidatonya:
"Bila negara kita ini
mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke
neraka … "
Tentu saja para hadirin
dalam sidang paripurna Konstituante itu terkejut mendengar pernyataan ayah.
Tidak saja pihak pendukung Pancasila, juga para pendukung negara Islam
sama-sama terkejut.
Mr. Moh. Yamin sebagai
seorang anggota Konstituante dari Fraksi PNI turut terkejut atas pernyataan
ayah itu. Tokoh PNI itu tidak saja marah, berlanjut menjadi benci. Walaupun
kedua tokoh yang berseberangan sama-sama dari Sumbar. Moh Yamin tidak dapat
menahan kebencian- nya kepada ayah. Baik bertemu dalam acara resmi, seminar
kebudayaan dan sama-sama menghadiri sidang Konstituante, kebencian itu tetap
tak dapat dihilangkannya. Akibat dari pidato ayah, bahwa menjadikan Pancasila
sebagai dasar negara sama saja merintis jalan ke neraka, sedangkan Mr. Moh.
Yamin sangat percaya pada mitos bahwa penggali Pancasila itu Soekarno.
Penulis masih ingat ketika
rumah kami kedatangan tamu Buya KH. Isa Anshari. Ulama sekampung dengan kampung
kami Maninjau, beliau sudah lama bermukim di Kota Bandung Dalam acara makan
siang, Buya KH. Isa Anshari bertanya kepada ayah; "Apa masih tetap Yamin
bersitegang dengan Hamka ?"
Ayah menjawab, "Rupanya
bukan saja wajahnya yang diperlihatkan kebenciannya kepada saya, hati nuraninya
pun ikut membenci saya."
Bertahun-tahun setelah
dekrit di mana Soekarno kemudian membubarkan Konstituante, parlemen dan
menetapkan UUD '45 dan Pancasila sebagai dasar negara, terjadi peristiwa yang
luar biasa. Tahun 1962; Mr. Moh. Yamin jatuh sakit parah dirawat di Rumah Sakit
Pusat Angkatan Darat, RSPAD. Ayah mengetahuinya dari berita koran dan radio.
Ayah menerima telepon dari Bapak Chairul Saleh, salah seorang menteri pada
waktu itu. Menteri ini ingin datang bersilaturahim kepada ayah dan menyampaikan
perihal sakit Mr. Moh. Yamin.
Chaerul Saleh datang menemui
ayah di rumah. Kepada ayah, menteri di era Soekarno ini menceritakan perihal
sakitnya Mr. Moh. Yamin.
"Buya, saya membawa
pesan dari Bapak Yamin. Beliau sakit
sangat parah. Sudah berhari-hari dirawat. Saya sengaja datang menemui Buya. Ada
pesan dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir. “
"Apa pesannya?"
tanya ayah.
"Pak Yamin berpesan
agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya
dapat mendampinginya, sekarang Pak Yamin dalam sekarat."
Ayah agak tercengang
mendengar pesan Pak Yamin itu. Teringat
kembali sikap bermusuhan dan membencinya.
"Apalagi pesan Pak
Yamin?” Kembali ayah bertanya kepada menteri yang ditugaskan Pak Yamin itu.
"Begini Buya, yang
sangat merisaukan pak Yamin, beliau ingin bila wafat dapat dimakamkan di
kampung halamannya yang telah lama tidak dikunjungi. Beliau sangat khawatir
masyarakat Talawi tidak berkenan menerima jenazahnya. Ketika terjadi pergolakan
di Sumatara Barat, Pak Yamin turut mengutuk aksi pemisah-an wilayah dari NKRI.
Beliau mengharapkan sekali Hamka bisa menemaninya sampai ke dekat liang
lahatnya. "
Hanya sebentar ayah
termenung. Banyak pengalaman pahit yang dirasa oleh ayah selama beberapa tahun ini
dengan tokoh yang mengaku wajahnya mirip dengan Patih Majapahit Gajah Mada
itu. "Kalau begitu mari bawa saya
ke RSPAD menemui beliau."
Sore itu juga ayah dan Pak
Chaerul Saleh tiba di rumah sakit. Dalam ruangan VIP, banyak pengunjung. Ada
Pendeta, Biksu Budha dan pengunjung yang lain. Pak Yamin terbaring di tempat
tidur dengan slang infus dan oksigen tampak terpasang. Melihat kedatangan ayah
tampak wajahnya agak berseri. Dengan lemah Pak Yamin menggapai ayah untuk
mendekat. Salah seorang pengunjung meletakkan sebuah kursi untuk ayah duduk di
dekat tempat tidur. Ayah menjabat tangan Pak Yamin dan mencium kening tokoh
yang bertahun-tahun membenci ayah.
Dengan suara yang hampir
tidak terdengar dia berkata: " Terima kasih Buya sudi datang." Dari
kedua kelopak matanya tampak air mata menggenangi matanya.
"Dampingi saya,"
bisiknya lagi. Tangan ayah masih terus digenggamnya.
Mula-mula ayah membisikkan
surat Al Fatihah. Kemudian kalimat La ilaha illallah Muhammadan Rasalullah.
Dengan lemah Pak Yamin mengikuti bacaan ayah. Kemudian ayah mengulang kembali
membaca dua kali. Pada bacaan kedua ini tidak terdengar Pak Yamin mengikuti,
hanya dia mem-beri isyarat dengan mengencangkan genggaman tangannya ke tangan
ayah. Kembali ayah membisikkan kalimat "tiada Tuhan selain Allah" ke
telinga Pak Yamin. Tidak ada respon. Ayah merasa genggaman Pak Yamin mengendur
dan terasa dingin dan terlepas dari genggaman ayah.
Seorang dokter datang
memeriksa. Dokter itu memberitahu Pak Yamin sudah tidak ada lagi.
"Innalillahi wa inna
lillaihi rajiun."
Tokoh yang bertahun-tahun
sangat membenci ayah, diakhir hayatnya meninggal dunia sambil bergenggaman
tangan dengan ayah.
Dari rumah sakit ayah diajak
Bapak Chairul Saleh ke Istana Negara. Waperdam III (Wakil Perdana Menteri III)
ini ingin melapor atas wafatnya Pak Yamin kepada Presiden Soekarno. Pemerintah
telah mempersiapkan acara pemakaman kenegaraan di TMP Kalibata, Jakarta.
Karena wasiat terakhir Pak
Yamin ingin dimakamkan di kampung halaman Talawi, Sawah Lunto. Presiden
memerintahkan Gubernur Sumatera Barat Drs. Harun Zen untuk mempersiapkan
upacara kenegaraan.
Sebelum meninggalkan istana,
Presiden Soekarno menyalami ayah sambil berucap: "Terima kasih atas
kebesaran jiwa Bung turut mendampingi Yamin menjelang wafatnya dan bersedia
mengantarnya ke Talawi. Atas nama pribadi dan
pemerintah saya ucapkan terima kasih."
(Ini adalah pertemuan
terakhir antara ayah dan Presiden Soekarno, 2 tahun kemudian ayah dicebloskan
ke penjara atas perintah Soekarno).
Keesokan harinya, memenuhi
pesan terakhir Almarhum Pak Yamin, agar ayah bersedia menemani jenazahnya
dimakamkan di Kampung Talawi, Sawah Lunto Sumatera Barat dikabulkan ayah.
Proses pemakaman dilakukan
dengan upacara kenegaraan. Inspektur upacaranya bapak Menteri Chaerul Saleh.
Siang itu juga ayah kembali ke Jakarta.
(Cerita dengan Pak Yamin ini
penulis mendengar dari ayah sendiri dan terakhir dari saudara Syakir Rasyid
putra Buya St. Mansur yang ikut mendengar Iaporan ayah kepada guru beliau A.R.
St. Mansyur sepulang dari Talawi di rumah Buya St. Mansyur).
Pesan Terakhir Soekarno
Dua tahun 4 bulan Iamanya
ayah ditahan atas perintah Presiden Soekarno, waktu itu dari tahun 1964-1966,
dengan tuduhan melanggar undang-undang Anti Subversif Pempres No. 11, yaitu
tuduhan merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno.
Betapa beratnya penderitaan
kami sepeninggal ayah yang ditahan. Buku-buku karangan ayah dilarang. Ayah
tidak bisa Iagi memenuhi undangan untuk berdawah. Pemasukan uang terhenti.
Untuk menyambung hidup ummi mulai menjual barang dan perhiasan.
Ayah baru bebas setelah
rezim Soekarno jatuh, digantikan oleh Soeharto. Ayah kembali melakukan kegiatan
seperti sebelum ditahan Soekarno.
Tanggal 16 Juni 1970, ayah
dihubungi oleh Bapak Kafrawi, Sekjen Dep. Agama. Pagi-pagi sekjen ini datang ke
rumah, Pak Kafrawi membawa pesan dari keluarga mantan Presiden Soekarno untuk
ayah. Pesan itu pesan terakhir dari Soekarno, begini pesannya; “Bila aku mati
kelak. minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku."
“Jadi beliau sudah
wafat?" Ayah bertanya ke Pak Kafrawi.
"Iya Buya. Bapak telah
wafat di RSPAD, sekarang jenazahnya telah di bawah ke Wisma Yaso." (Ini
versi pertama).
Ada satu versi lagi
menyatakan bahwa dalam keadaan sekarat mantan Presiden RI ini menyampaikan
pesannya kepada keluarga beliau, bahwa bila datang ajalnya, beliau ingin yang
menjadi imam sembahyang jenazahnya dilakukan oleh Hamka. Pesan itu disampaikan
oleh keluarganya kepada Presiden Soeharto yang telah menggantikan beliau
sebagai Presiden RI ke-2.
Presiden Soeharto mengutus
salah seorang Aspri (Asisten Pribadi)nya Mayjen Suryo menemui Buya Hamka di
rumah JI. Rd.Fatah, didampingi seorang sekjen Dep. Agama RI. Kepada ayah utusan
Presiden Soeharto itu menyampaikan permintaan terakhir Soekano. Tanpa ragu
pesan yang dibawa utusan Presiden Soeharto dilaksanakan oleh ayah.
Ayah tiba di Wisma Yaso
bersama penjemputnya. Di wisma itu telah banvak pelayat berdatangan, penjagaan
pun sangat kuat. Shalat jenazah baru akan dimulai menunggu kehadiran ayah. Ayah
dengan mantap menjadi imam jenazah Soekarno. Pesan terakhir mantan Presiden
Pertama dengan ikhlas dijalankan oleh ayah.
Aku sangat menyesal tidak
bisa mengikuti peristiwa ayah dijemput untuk mengimami sholat jenazah mantan
Presiden Soekarno dari dekat karena berada di luar kota Jakarta. Dalam menyiapkan
buku ini menyangkut pesan terakhir Soekarno aku harus mencari inrormasi.
Tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu banyak yang sudah meninggal dunia
termasuk almarhum abangku H. Zaky Hamka yang ikut menemani ayah ke Wisma Yaso.
Hubungan antara ayah dan
Bung Karno telah terjalin sejak tahun 1941. Selesai menghadiri Muktamar
Muhammadiyah ke-30 di Yogyakarta, Januari 1941, atas ajakan H. Abdul Karim (Oei
Tjing Hin) Konsul Muhammadiyah Bengkulu seorang Tokoh Cina Muslim, menemui
Soekano di tempat pengasingannya di Bengkulu. Dalam pertemuan selama 2 jam itu
hubungan keduanya jadi akrab. Untuk kenang-kenangan mereka berfoto bersama.
Tahun 1946 setelah
kemerdekaan, Soekarno telah diangkat menjadi Presiden RI pertama, Presiden
mengajak ayah untuk pindah dari Medan ke Jakarta. Namun karena situasi tanah
air yang belum selesai urusannya dengan Belanda, terjadi aksi polisionil
pertama tahun 1947 permintaan Presiden tertunda. Pada tahun berikutnya 1948
Presiden Soekarno berkunjung ke Sumatera Barat. Kembali ayah bertemu dengan
Soekarno di Bukit Tinggi. Pada kesempatan itu ayah menghadiahkan sebuah puisi
kepada Presiden Pertama itu dengan judul "Sansai juga aku kesudahannya.”
Setelah penyerahan
Kedaulatan 1949, di awal 1950 ayah mengajak kami pindah ke Jakarta. Pada
peringatan Isra' Miraj Nabi Muhammad SAW tahun 1950, ayah diminta Presiden
Soekarno memberikan wejangan tentang rahasia Isra' Miraj di Istana. Hubungan
baik terus berlanjut. Sewaktu pelaksanaan shalat ldul Fitri tahun 1951 diadakan
di Lapangan Banteng yang diselenggarakan oleh PHBI (Panitia Hari Besar Islam)
Jakarta aku turut diajak ayah, ayah duduk berdampingan dengan Presiden kita
waktu itu. Aku duduk diapit ayah dan Soekarno. Aku sangat bahagia karena aku
diperkenalkan ayah ke Soekarno.
Aku bersalaman dengan
Presiden kita yang gagah itu. Kulit wajah beliau putih kemerah-merahan, segar.
Tatapan matanya kuat ketika bersalaman denganku. Usiaku ketika itu 8 tahun.
Bila aku ingat kejadian itu, aku sering tersenyum sendiri karena Presiden kita
itu memakai kaus kaki yang robek di ujung sebelah kanan. Sambil mengikuti
takbir Presiden RI Pertama itu tampak asyik mengelus-elus jempol kakinya yang
tersembul dari robekan kaos kaki kanannya.
Tahun 1955 ayah terpilih
menjadi anggota Konstituante. Sejak itu hubungan akrab dengan Soekarno mulai
renggang. Ayah dengan segenap fraksi Partai Islam memperjuangkan negara
berdasarkan Islam. Sedangkan Presiden Soekarno ingin mempertahankan negara
berdasarkan Pancasila. Sejak itu hubungan dua orang yang sebelumnya seperti
bersaudara terputus. Baru tahun 1962 mereka bertemu kembali ketika ayah turut
menyelenggarakan jenazah Mr. Moh. Yamin. Dua tahun kemudian ayah ditangkap atas
perintah Presiden Soekarno.
Setelah 8 tahun kemudian
1970, kedua orang yang dulu-nya bersahabat dipertemukan kembali, hanya
situasinya berbeda. Soekarno berada dalam peti jenazah, ayah berdiri di dekat
peti jenazah itu bertindak sebagai imam sembahyang jenazah orang yang pernah
menjebloskan diri beliau masuk penjara selama 2 tahun 4 bulan. Tampak benar
bagi penulis, walaupun keadaan dua orang ini berbeda paham politik yang tajam,
namun dalam hati mereka tetap menjaga tali silaturahmi. Soekarno tidak membenci
ayah. Begitu pula ayah pun tidak dendam kepada Soekarno.
Akibat ayah mengimami
jenazah Soekarno, teman-teman ayah banyak yang menyesalkan tindakan ayah itu.
Ada yang mengatakan bahwa Soekarno itu munafiq. Ada pula yang bertanya:
"Apa Buya tidak dendam kepada orang yang telah membenamkan Buya dalam
penjara?"
Dengan lemah lembut ayah
menjawab semua kritik itu. "Hanva Allah yang lebih tahu orang-orang yang
munafiq Dan saya harus berterima kasih, karena dalam penjara saya dapat
kesempatan menulis tafsir Al-Quran 30 juz. Satu hal lagi jangan dilupakan bahwa
almarhum memprakarsai pembangunan 2 buah masjid yang monumental, satu masjid
Baiturrahim di Istana Merdeka. Satu lagi masjid terbesar di Asia Tenggara,
Masjid Istiqlal. Semoga ini menjadi amal yang tak terhingga untuk Soekarno.”
Pesan Pramudya Ananta Tur
Awal tahun 1963, dunia
sastra kita digemparkan oleh dua surat kabar Harian Ibukota: Harian Rakyat dan
Harian Bintang Timur. Kedua koran milik Komunis ini menyiarkan di halaman
pertama dengan berita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck hasil jiplakan oleh
pengarang Hamka. Ulasan berita itu dilansir oleh seorang penulis bernama Ki
Panji Kusmin. Sedangkan di harian Bintang Timur dalam lembaran Lentera, juga
memuat dan mengulas bagaimana Hamka mencuri karangan asli dari pengarang
Alfonso Carr, pujangga Prancis. Lembaran Lentera ini diasuh oleh Pramudya
Ananta Tur.
Berbulan-bulan lamanva kedua
koran komunis ini menyerang ayah dengan tulisan-tulisan berbau fitnah, juga
menyerang secara pribadi.
Aku lihat ayah tenang-tenang
saja menghadapi segala hujatan dari Ki Panji Kusmin dan Pramudva Ananta Tur
itu.
Penulis waktu itu sekolah di
SMAN IX merasakan tekanan batin juga. Guru Sastra lndonesiaku seorang guru PGRI
Vak Sentral begitu pula dengan guru civicku dengan gaya mengejek selalu
menanyakan kesehatan ayah dan tidak lupa berkirim salam. Kupingku terasa panas
bila kedua guruku itu bertanya kepadaku. Begitu pula halnya dengan
saudara-saudaraku yang lain. Apalagi membaca kedua koran yang sengaja dikirim
ke rumah secara gratis.
PKI melakukan usaha kudeta
tanggal 30 September 1965 namun gagal. Dalam usaha kup itu 6 jenderal dan 1
perwira gugur dibunuh PKI. Akibat kegagalan kup PKI itu, kedua guru SMA-ku itu
diberhentikan sebagai guru dan pegawai negeri, dan Pramudya Ananta Tur ditahan
di Pulau Buru. Bertahun-tahun kemudian Pramudya Ananta Tur dibebaskan, kemudian
melakukan kegiatan lagi. Ayah tidak pernah berhubungan dengan tokoh Lekra yang
tidak pernah bosan menyerang ayah di kedua koran Komunis itu.
Suatu hari, ayah kedatangan
sepasang tamu. Si perempuan orang pribumi, sedang laki-lakinya seorang
keturunan Cina. Kepada ayah si perempuan memperkenalkan diri. Namanya Astuti,
sedangkan si laki-laki bernama Daniel Setiawan. Ayah agak terkejut ketika
Astuti menyatakan bahwa dia anak sulung Pramudya Ananta Tur. Astuti menemani
Daniel menemui ayah untuk masuk Islam sekaligus mempelajari agama Islam. Selama
ini Daniel non muslim. Pramudya tidak setuju anak perempuannya yang muslimah
nikah dengan laki-laki yang berbeda kultur dan beragama lain.
Hanya sebentar ayah
berfikir. Tanpa ada sedikitpun keraguan permohonan kedua tamu itu dikabulkan
oleh ayah. Daniel Setiawan calon menantu Pramudya Ananta Tur langsung
di-Islam-kan oleh ayah dengan menuntunnya membaca dua kalimat syahadat. Ayah
menganjurkan Daniel berkhitan dan menjadwalkan untuk memulai belajar agama
Islam kepada ayah.
Dalam pertemuan dengan putri
sulung Pramudya dan calon menantunya itu ayah tidak ada sama sekali berbicara
masalah Pramudya dengan ayah yang pernah terjadi berselang lama waktu itu. Ayah
betul-betul telah dihancurkan nama baiknya oleh Pramudya Ananta Tur melalui
corong Komunis di harian Bintang Timur dan Harian Rakyat.
Salah seorang teman Pramudva
bernama Dr. Hudaifah Kuddah menanyakan kepada Pramudya alasan tokoh Lekra ini
mengutus calon menantunya menemui Hamka. Dengan serius Pram menjawab:
"Masalah faham kami
tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah harus bersuami dengan
laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama
Islam dan masuk Islam kepada Hamka. Dialah seorang ulama yang terbaik."
Menurut Dr. Hudaifah yang
tertuang dalam majalah Horison, Agustus 2006, secara tidak langsung tampaknva
Pramudya Ananta Tur dengan mengirim calon menantu ditemani anak perempuan
seakan minta maaf atas perilakunya memperlakukan ayah di Harian Bintang Timur
dan Harian Rakyat. Dan secara tidak langsung pula ayah memaafkan Pramudya
Ananta Tur dengan bersedia mengislamkan dan memberi pelajaran agama Islam
kepada sang calon menantu.
Dalam peristiwa ayah
menghadapi ketiga tokoh yang penulis sampaikan dalam buku ini, penulis sengaja
tidak memberikan komentar dan menilai ayahku Hamka. Penulis mernbebaskan kepada
pernbaca yang budiman menilainya sendiri. Penulis sebagai seorang anak ingin
menghindar penilaian kepada ayah secara subyektif.
Sumber: voa-islam.com
0 comments:
Post a Comment