Menyingkap Kembali Asbabul Wurud Kelahiran Muhammadiyah

Posted by KahfiMedia Tuesday, November 27, 2012 0 comments

Drs. H. Marjohan, MM
(Wakil Ketua PDM Pasaman, Sumatera Barat)

Seperti kita ketahui bahwa, secara lughat atau bahasa (etimologi) Muhammadiyah bermakna umat Muhammad atau pengikut Muhammad. Maksudnya, semua orang yang memagut Dinul Islam secara kaffah dan haqqul yakin bahwa Nabi Muhammad Saw adalah hamba dan Rasul terakhir (khataman nabiyyin wa la nabiyya ba’dah).


Dalam konteks ini, siapa saja yang mengaku dan memproklamirkan diri beragama Islam serta punya segenggam commitment (istiqamah) dengan kredo syahadah (dua kalimah syahadat) pada hakikatnya ia–baik individual maupun komunal–adalah Muhammadiyah tanpa dibatasi oleh dimensi ruang dan dimensi waktu.

Sedangkan pada ranah terminologi (istilahan) Muhammadiyah berarti: “Gerakan Islam yang dibidani KH. A. Dahlan pada 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan 18 November 1912 M di Kauman Yogyakarta. Dengan begitu, bertumpu pada perhitungan tahun hijriyyah, berarti Muhammadiyah telah berumur 102 tahun. Sedangkan bertolak-dasar dari tahun masehi, Muhammadiyah berusia 99 tahun.  Memiliki tujuan ideal-konsepsional yang diusungnya: “Menegakkan dan menjunjung tingga agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” (unggul, bernas, berkualitas/khaira ummah)

Menggeliat dalam qalbu Dahlan menamakan gerakan ini Muhammadiyah dengan secercah harapan (ber-tafa’ul) kiranya umat yang merayap di pelbagai komunitas mau dan mampu menauladani sepak terjang perjuangan, moralitas dan integritas (akhlaqul karimah) yang bergayut kukuh pada diri Nabi Muhammad Saw.

Obsesi (baca: nawaitu) lain yang bertengger di jiwa Dahlan agar semua pemuka, pimpinan (sejak pusat hingga ranting), anggota dan simpatisan Muhammadiyah satu ketika benar-benar punya sense of belonging and sense of responsibility terhadap doktrin dan ajaran Islam dalam lingkup orientasi maksimal, substansial, esensial plus universal (rahmatan lil ‘alamin).

Dan, bila ditelusuri ke belakang, niat dan ikhtiar Dahlan menegakkan tinag-pancang Muhammadiyah telah diawali sejak 1905. Enam tahun kemudian – tepatnya paruh 1911, Dahlan memelopori pendirian satu sekolah bercorak modern. Terpaut setahun setelah itu, dibantu para murid dan sahabat karib, Dahlan mendeklarasikan tegak berdirinya persyarikatan Muhammadiyah.

Melacak lebih menukik, setidaknya ada empat sebab-musabab (asbabul wurud), pendirian organisasi yang mengusung visi-misi tajdid ini. Pertama, dalam kacamata Dahlan faham plus pengamalan ke-Islaman umat di bumi Indonesia masih terjebak ke dalam kepompong sempit tradisionalisme, konservatisme, vandalisme, sekulerisme, dikotomisme dan bahkan sinkretisme – sebagai sisa-sisa  kepercayaan Hindu sekitar abad ke-7 M silam!

Indikasinya, yang namanya syirik dalam berbagai corak kian berkecambah di komunitas umat Islam – di kota dan di desa. TBC alias tahyul, bid’ah dan churafat dengan segala bentuk dan manifestasinya benar-benar telah merusak kemurnian iman dan orisinalitas tauhid umat – tidak saja tauhid Uluhiyah, lebih-lebih lagi tauhid Rububiyah.

Padahal, dalam pandangan Muhammadiyah – syirik dan TBC tidak saja membuat umat terbenam di kubangan jumud (stagnasi) yang bernuansa apatis – lebih parah dari itu, dosa yang digoreskanya tidak diampuni Allah Swt: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. Dan, Dia mengampuni segala dosa yang selain syirik, yaitu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang syirik kepada Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An-nisa’ ayat 48). “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. Dan, Dia mengampuni segala dosa yang selain syirik, yaitu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang syirik kepada Allah, maka sungguh ia telah tersesat sejauh-jauhnya (QS. An-nisa’ ayat 116)

Kedua, lembaga pendidikan, terbelah menjadi dua kutub, dan jauh panggang dari api dalam konteks semangat dan universalitas Islam (Islam kaffah). Satu sisi, lembaga pendidikan yang ada sepertinya hanya menggiring objek didik menggumuli kitab-kitab kuning dengan sistem hafalan. Sedang pada sisi lain, sistem pendidikan Belanda hanya bersentuhan dengan aspek kognitif dan skill pisikomotorik tok!

Berpijak dari realitas objektif yang menggalaukan itu, Dahlan justru mensenyawakan kedua unsur baik dari kedua sistem bertolak belakang itu. Kepada peserta didik ditransformasikan kitab-kitab kuning – dengan sistem klasikal – untuk kemudian menggiringnya ke kitab-kitab putih (realitas sosial umat) sesuai semangat zaman yang terus merangkak maju.

Sepertinya, yang dirakit dan dikemas Dahlan tak cuma integrasi dua habitat pendidikan yang berseberangan itu. Tapi, sedari dulu Muhammadiyah telah menjamah apa yang disebut dengan reposisi dan revitalisasi ajaran dan nilai Islam dalam kerangka pendidikan ideal. Menyemburat dalam fikiran Dahlan bahwa, Islam yang bersumber pada Al Qur-an dan Sunnah Rasul—yang shahih dan mutawatir, sama sekali tidak mengenal dikotomi ke-ilmuan – seperti yang disemai bahkan diindoktrinasikan kolonial Belanda demi memperkuat cengkraman kukunya di bumi nusantara.            Ketiga, yang tidak kalah pentingnya – kehadiran Muhammadiyah justru membendung bahaya westernisasi yang amat merugikan Islam dan umat Islam. Soalnya, tidak bisa dihitung dengan jari kaum terpelajar yang terkontaminasi oleh kebudayaan dan peradaban Barat. Sehingga Islam dijauhi, dimusuhi dan bahkan dipandang penghambat kemajuan. Bergelayut di alam fikir mereka bahwa, yang penting meraup iptek dan budaya Barat – tanpa ditapis nilai-nilai ketimuran. Pokoknya, untuk membeli kacamata – mereka tega menggadaikan kedua-belah mata. Rumit memang!

Kondisi runyam ini menyadarkan Dahlan untuk merancang bangun satu organisasi dakwah ber-kredo amar ma’ruf nahi mungkar, yaitu Muhammadiyah itu tadi. Kalaupun belum mampu menekan hingga ke titik nadir virus westernisasi – yang berimbas ke program yahudisasi – paling tidak Muhammadiyah bisa mengimbangi dan meminimalisir – yang pada gilirannya memang diharapkan virus itu tenggelam dan punah bagai daun dimamah ulat (faja’a lahum ka ashfim ma’kul).

Keempat, secara eksternal kelahiran Muhammadiyah di bumi Indonesia punya persentuhan berjalin-berkelindan dengan ide dan gagasan pembaruan  yang digelindingkan reformis Islam di Timur Tengah. Sebutlah misalnya, Ibnu Taimiyah (1263 – 1328), Jamaluddin Al Afghani (1838 – 1897), Muhammad Abduh (1849 – 1905), Rasyid Ridha (1856 – 1935) dan sederet mujtahid lainnya yang anti syirik dan taqlid – tidak terkecuali taqlid politik, taqlid budaya plus taqlid alam pikiran (rasionalitas).

Sebagai seorang mufassir lafzhiyah wal ma’nawiyah (tekstual dan kontekstual), Dahlan yang dinobatkan pemerintah sebagai pahlawan nasional ini amat terkesan dengan pesan dan semangat pembaruan yang “disipongangkan” dari belahan Timur Tengah tersebut – yang kemudian diaplikasikannya dengan mengibarkan bendera Muhammadiyah di tanah air.

Apalagi sebelumnya, Dahlan telah belajar banyak seputar kiat dan seni organisasi dari pergerakan Boedi Oetomo – sebuah organisasi kebangsaan yang diarsiteki Dr. Soetomo pada 1905. Yang membuat kita kini berdecak-kagum, segudang pengalaman organisasi  yang didulang Dahlan dalam kancah Boedi Oetomo disinergikan dengan firman Allah yang terpaut penuh zauq/getaran dalam Surah Ali Imran ayat 104 dan 110 – yang intinya memfardhukan umat  menyusun barisan guna menyemai benih kebajikan dan membasmi kezaliman.

Amma ba’du! Bernostalgia, berdendang panjang, dan tenggelam dengan kehebatan Muhammadiyah tempo doeloe, bukanlah budaya Muhammadiyah. Makanya, dalam menjalani usia Muhammadiyah yang sudah 102 dan 99 tahun kini—agenda akbar yang terbentang di pelupuk mata antara lain: Pertama, sebagai gerakan Islam dan gerakan budaya – Muhammadiyah mesti sadar betapa kritisnya situasi keadaban anak manusia sekarang. Muhammadiyah sejatinya meneropong abad kini dan abad mendatang – tak boleh dibiarkan “tersungkur” lebih dalam lagi ke dalam kawah kerancuan moral, kerancuan spritual, kerancuan transendental dan juga kerancuan kultural.

Lebih dikerucutkan, sebagai gerakan yang selalu mengusung kredo amar ma’ruf nahi mungkar dalam pelataran makro – Muhammadiyah ikut bertanggung-jawab (bukan menjawab tanggung-tanggung) menyelamatkan negeri ini dari bahaya KKN alias korupsi, kolusi dan nepotisme – baik pribadi apalagi berjama’ah. Sebab, modus  operandi mempergemuk pundi di bumi Indonesia kini – bukanya kian berkurang, tapi malah semakin menggila. Sampai-sampai dana haji, dana madrasah, dana zakat dan uang sakral lainya pun dikorup tangan-tangan jahil tak bertanggung jawab. Na’udzubillahi min dzalik!

Apalagi segenggam political will (baca : nawaitu) yang menyembul di jiwa Presiden SBY – panggilan akrab Susilo Bambang Yudhoyono, akan menerabas korupsi sampai ke akar tunggangnya – nyaris tidak berhasil secara signifikan. Bagaimana benar mewabahnya virus KKN di negeri kita akan lebih afdhal dibaca ulang Majalah Tabligh, Edisi 21/IX Dzulhijjah 1432 H—Muharram 1433 H. Dalam konteks ini, agaknya kerjasama Muhammadiyah – NU (Nahdatul Ulama) yang dideklarasikan di Padang beberapa tahun yang lalu sejatinya ditelusuri dan dijemput kembali.

Kedua, Islam hingga kini belum berhasil maksimal meletakkan dasar-dasar moral yang kokoh bagi bangunan bangsa yang tengah terhuyung akibat dihantam krisis multi-dimensional sejak 1998 lalu. Maka, gawe akbar yang mesti digelindingkan ke depan bagaimana merakit substansi plus metodologi jitu, strategis dan aplikatif terhadap seruan: “kembali pada Al Qur-an dan Sunnah” yang digaungkan Muhammadiyah ke-sana ke-mari sejak awal berdirinya.

Soalnya, seruan semata tanpa dibarengi gerakan intelektual dan membumi, umat Islam pada giliranya tidak akan pergi ke mana-mana (jumud alias statis). Langkah pembaruan Muhammadiyah hanya akan beringsut di kawasan marjinal, kawasan internal dan kawasan formalistik dari universalitas doktrin Islam (kaffah wa rahmatan lil’alamin).

Konkretisasi untuk menggapai tujuan mulia ini, bagaimana menganyam apik Perguruan Tinggi Muhammadiyah lewat kerjasama dengan berbagai stakeholders dan Perguruan Tinggi lain sebagai sentral keunggulan dalam bidang ilmu, teknik, moral, spritual dan budaya. Diharapkan, kepada para Rektor Universitas Muhammadiyah, kiranya berfikir secara strategis guna menjuluk tujuan ideal konsepsional itu.

Akhirul kalam! Guna melecut kembali semangat ke-Muhammadiyahan warga yang belakangan ini nyaris pudar, mari direnungkan sebait syair yang diwariskan reformis Islam M. Iqbal (1876 – 1938): “Jangan ditiru deburan ombak – yang hanya berdendang bila terhempas ke tepi pantai. Tapi, jadilah bagai air bah! Ubah dunia dengan kalam-mu – sinari zaman dengan cahaya imanmu.” Wallahu a’lam bish shawab. [ ]

Sumber: tabligh.or.id (Majalah Tabligh versi Online)

0 comments:

Post a Comment

Terbanyak Dibaca

Sosok

Risalah

Catatan

Kabar

Halaman Dilihat