Demokrasi, Inflasi dan Korupsi...
Thursday, January 10, 2013
0
comments
Oleh :
Muhaimin Iqbal
Seorang
professor di Frankfurt School of Finance and Management – Germany, Prof.
Thorsten Polleit belum lama ini mengungkapkan teorinya bahwa faham demokrasi
yang dianut di hampir seluruh dunia saat ini telah membawa dampak korupsi
kolektif yang sangat besar yaitu berupa inflasi. Dengan tingkat keilmuan beliau
– yang dipercaya sebagai Chief German Economist for Barclay Capital selama 12 tahun - tentu teori tersebut
bukan teori yang tanpa dasar.
Demokrasi
yang mengandalkan suara terbanyak membuat pemerintah-pemerintah di dunia
berusaha memenuhi apa yang dikehendaki oleh rakyat banyak. Pemerintah atau
penguasa berkepentingan dengan perolehan suara, sehingga beresiko terhadap
kelangsungan keterpilihan mereka bila tidak merespon keinginan terbanyak ini.
Masalahnya
adalah keinginan masyarakat terbanyak ini belum tentu yang terbaik dan yang
benar bagi kepentingan keseluruhan negeri dalam jangka panjang. Masyarakat
kebanyakan akan cenderung mengharapkan hasil jangka pendek, bukan solusi yang
memerlukan kerja keras dan membawa kebaikan jangka panjang.
Dalam kaitan
dengan pencetakan uang misalnya, jauh lebih mudah bank-bank central dunia
berkolaborasi dengan pemerintah masing-masing mencetak uang lebih banyak lagi
untuk mengatasi masalah-masalah sesaat yang menjadi perhatian publik –
ketimbang mencari solusi permanen dan terbaik jangka panjang yang membuat jidat
mengkerut !.
Teori Prof.
Thorsten Polleit ini nampaknya bisa kita saksikan langsung kebenarannya baik di
negeri yang mengaku adikuasa seperti Amerika maupun apa yang kita alami di
negeri ini.
Di Amerika
saat ini yang menjadi isu besar adalah debt ceiling limit – batas atas hutang
yang boleh dilakukan oleh pemerintah. Batas atas hutang sebesar US$ 16.4
trilyun yang diputuskan sekitar 1.5 tahun lalu tersebut kini sudah habis
terpakai. Negeri itu dalam bahaya bila batas atas baru tidak berhasil
disepakati antara eksekutif dan legislatif-nya dalam dua bulan ini.
Solusi yang
akhirnya nanti dicapai tentu yang populer di pasar dan di rakyatnya yaitu menaikkan
batas atas pinjaman ini, karena bila pinjaman dapat dinaikkan maka kehidupan
masyarakat dan dunia usaha akan bisa berlanjut sebagaimana biasa - life as
usual.
Tetapi
masalahnya adalah apakah ini solusi terbaik ?, solusi yang bersifat permanen
jangka panjang ?. Jawabannya adalah bukan solusi terbaik, ibarat orang sakit
hanya dihilangkan rasa sakitnya tetapi tidak diobati penyakitnya. Buktinya
mudah sekali kambuh lagi, baru 1.5 tahun lalu penyakit yang sama diusahakan
mati-matian diobati – sekarang sudah kambuh lagi.
Logika
sederhananya adalah kalau tetangga Anda hidup mewah dengan credit card tetapi
setiap saat dikejar-kejar debt collector, ketika mereka datang kepada Anda
minta tolong – lantas solusinya apakah Anda menolong dengan meminjami mereka dengan
credit card Anda, atau menasihatinya untuk hidup sesuai kemampuannya ?.
Yang pertama
mudah dan menyenangkan tetapi membawa bahaya ke Anda juga dalam jangka panjang.
Yang kedua pahit, membuat Anda tidak populer dihadapan tetangga Anda – tetapi
itulah yang benar dan bisa menyembuhkan.
Hampir pasti
solusi yang akan ditempuh Amerika adalah solusi pertama karena di masyarakat
demokrasi mereka, pemerintah perlu populer meskipun dengan ini tumpukan hutang
akan meninggi dan bebannya kembali ke rakyat dalam jangka panjang - hanya tidak
atau belum disadari saja.
Hutang yang
bertambah mendorong pencetakan uang yang lebih banyak, uang yang ada di
masyarakat akan turun daya belinya secara menyeluruh – dan inilah inflasi yang
menjadi korupsi kolektif itu. Inflasi menjadi instrumen legal untuk mengambil
kekayaan masyarakat dengan paksa dan tanpa bisa dilawan, mudah dan yang diambil
hartanya tidak segera merasa kehilangan .
Contoh kasus
berikutnya adalah yang kita alami di Indonesia. Karena kita menganut demokrasi
yang kurang lebih sama dengan yang di Amerika, maka keputusan-keputusan yang
diambil oleh eksekutif dan legislatif kita juga cenderung untuk menyenangkan
masyarakat banyak dalam jangka pendek.
Ambil
misalnya krisis subsidi bahan bakar, keputusannya cenderung untuk menambah
subsidi untuk mampu menekan harga bahan bakar sesaat – karena ini yang mudah,
populer dan diharapkan oleh masyarakat banyak. Tetapi menambah subsidi ini kan
bukan menyembuhkan penyakit ? dia hanya mengurangi rasa sakit sesaat.
Upaya
penyembuhan penyakit yang sesungguhnya perlu kerja keras yang bisa pahit ,
tidak populer dan hasilnya jangka panjang. Hasil jangka panjang inilah yang
tidak sesuai dengan kepentingan demokrasi – karena saat penyakit tersebut
benar-benar sembuh sudah orang atau partai lain lagi yang mendapat gilirannya
untuk berkuasa dan mendapatkan kredit-nya.
Kasus yang
mirip dengan subsidi bahan bakar tersebut adalah masalah impor kebutuhan bahan
pokok kita seperti kedelai , daging dlsb. Masih terngiang di ingatan kita
bagaimana produsen tahu dan tempe menjerit atas tingginya harga kedelai ? apa
solusinya ? solusinya impor yang lebih banyak.
Sesaat
kemudian pedagang daging menjerit dengan tingginya harga daging, apa solusinya
? lagi-lagi membuka kran impor yang lebih banyak. Ini semua adalah obat
penghilang rasa sakit dan bukan penyembuh penyakit.
Penyakitnya
sendiri kambuh dalam skala yang lebih besar dengan wabah yang lebih luas. Berupa apa ?, inilah defisit neraca
perdagangan yang dialami negeri ini tahun 2012 lalu. Ini adalah defisit pertama
sejak defisit terakhir 52 tahun lalu atau tepatnya tahun 1961.
Mengapa
defisit neraca perdagangan ini ibarat penyakit adalah wabah yang lebih serius
dan meluas? Karena meskipun mungkin gejalanya tidak atau belum kita rasakan –
tetapi defisit ini akan menggerus nilai kekayaan siapa saja yang hidup di
negeri defisit.
Karena kita
lebih banyak mengkonsumsi daripada memproduksi, maka kembali ki ibarat rumah
tangga Anda – apa yang terjadi bila belanja keluarga Anda lebih besar dari
pendapatan Anda?, makin lama makin miskin dan hutang akan semakin banyak.
Kalau sudah
penyakit defisit ini kambuh, upaya penyembuhannya-pun bisa menyakitkan. Untuk
mengurangi impor dan meningkatkan daya saing ekspor misalnya, salah satu
instrumen yang biasa dipakai otoritas moneter adalah dengan menurunkan nilai
uang kita.
Dengan cara
ini barang-barang impor akan bertambah mahal dan kurang menarik, sebaliknya
barang-barang ekspor kita terasa murah oleh uang negeri pengimpor.
Karena
strategi menurunkan daya beli uang ini juga diketahui oleh seluruh negara lain
di dunia, maka mereka berlomba menurunkan daya beli uangnya untuk bisa
memenangkan persaingan pasar ekspor produk mereka masing-masing. Perlombaan
menurunkan daya beli uang inilah yang sering disebut currency war – perang mata
uang itu, perang untuk saling membanting harga uang !.
Siapa korban
perang dari currency war ini?, lagi-lagi adalah rakyat kebanyakan. Kekayaan
mereka yang tersimpan dalam bentuk tabungan, deposito, asuransi, dana pensiun,
tunjangan hari tua, dana kesehatan dlsb – semua yang terdenominasi dalam mata
uang yang terlibat dalam currency war secara langsung maupun tidak langsung –
menurun daya belinya. Inilah korban korupsi kolektif yang bermula dari
demokrasi yang kemudian membawa kepada keputusan yang inflatif.
Lantas
bagaimana kita dapat menghindarkan diri dari menjadi korban korupsi kolektif yang
diteorikan oleh Prof. Thorsten Polleit tersebut di atas?
Pertama kita
harus sadar dahulu bahwa kita sedang menjadi korban itu. Caranya adalah dengan
mengecek penghasilan Anda, tabungan Anda, dana pensiun Anda dlsb. Apakah
nilainya meningkat bila diukur dengan satuan yang baku – universal unit of
account - atau malah menurun, bila ternyata menurun berarti Anda telah ikut
menjadi korban korupsi kolektif itu.
Untuk
mengecek pergerakan asset Anda tersebut dapat Anda gunakan Kalkulator Dinar di
menu situs ini atau Kalkulator Point di www.indobarter.com .
Setelah
ternyata Anda juga menjadi korban korupsi kolektif ini, maka amankan aset Anda
dari Wealth Reducing Assets (aset-aset yang menjadi korban korupsi kolektif)
menjadi Wealth Preserving Assets – yaitu aset-aset yang mampu mempertahankan
kemakmuran pemiliknya. Yang kedua ini bisa Dinar/emas, property dan aset-aset
riil lainnya yang terjaga nilainya.
Tahap
berikutnya adalah mengupayakan agar aset-aset Anda menjadi Wealth Producing
Assets, yaitu aset-aset yang meningkatkan kemakmuran Anda melalui usaha,
perdagangan, pertanian, peternakan dlsb.
Tidak mudah,
perlu kerja keras dengan berurai keringat dan kadang juga air mata, pahit dlsb.
tetapi itulah obat yang sesungguhnya. Bukan sekedar penghilang rasa sakit,
tetapi insyaAllah bener-bener menyembuhkan penyakit. InsyaAllah kita bisa
menghindarkan diri dari menjadi korban masal dari wabah penyakit korupsi
kolektif itu. InsyaAllah.
Sumber:
geraidinar.com
_________________________
Pemilik
Gerai Dinar, Pengusaha dan Praktisi ekonomi Islam
Alumni
SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta
0 comments:
Post a Comment