Matematika Petani
Wednesday, September 25, 2013
2
comments
Oleh : Muhaimin Iqbal
Di salah satu desa paling subur di
Magelang - Jawa Tengah, lurah setempat mengaku tidak bisa membendung aliran
penjualan tanah sawah para petani. Para petani lebih tertarik untuk menjual
sawah-sawah mereka untuk sekedar membiayai anaknya masuk menjadi pegawai
negeri, polisi atau tentara. Mengapa demikian ? dengan cara bertani
konvensional, pendapatan petani memang tidak menarik. Tetapi petani bukan tanpa
harapan, ada peluang besar menanti mereka.
Yang saya sebut bertani konvensional
adalah bertani seperti yang dilakukan oleh para petani sekarang. Sekali
menanam, panen sekali dan untuk ini diperlukan tenaga kerja yang intensif,
biaya benih, pupuk dan obat-obatan.
Cara bertani demikian sebenarnya belum
terlalu lama, sebelum Perang Dunia II umumnya petani tidak mengenal pupuk
apalagi insektisida seperti yang mereka kenal sekarang. Dunia mengenal pupuk
kimia setelah produksi bahan-bahan kimia untuk keperluan perang di masa PD II
tidak habis terjual, maka bahan-bahan kimia tersebut dijuallah ke para petani dalam
bentuk pupuk !
Akibatnya tanah menjadi seperti orang
yang kecanduan, bila tidak diberi pupuk produksi langsung turun – tetapi bila
terus diberi pupuk – kualitas tanah juga terus menurun secara gradual, dan
dalam jangka panjang produktifitas lahan juga pasti turun.
Ketika biaya bertani meningkat pesat
karena ongkos pupuk dan obat-obatan kimia, sementara hasil pertaniannya menurun
– maka disitulah penghasilan petani menjadi tidak menarik dan mereka rame-rame
menjual lahannya ke kelompok masyarakat yang bukan petani dan tidak terlalu
eager untuk memakmurkan lahan pertanian. Dari sinilah muncul masalah besar
produksi pangan kita secara nasional.
Bila petani Indonesia rata-rata memiliki
lahan 0.25 hektar, maka di daerah yang paling subur sekalipun mereka hanya akan
panen padi tiga kali. Katakanlah masing-masingnya 6 ton/hektar (rata-rata
nasional hanya 5.1 ton/hektar), petani dengan 0.25 ha lahan hanya akan
mendapatkan 1.5 ton gabah sekali panen. Dengan harga gabah sekarang dikisaran
Rp 5,000/kg; petani hanya memperoleh hasil penjualan gabahnya Rp 7.5 juta per
panen. Tiga kali panen berarti mendapatkan Rp 22.5 juta.
Tetapi ingat bahwa Rp 22.5 juta ini
adalah penjualan kotor, setelah dipotong biaya tenaga kerja, bibit, pupuk dan
obat-obatan katakanlah 50 %-nya, maka petani dengan luas lahan 0.25 hektar yang
subur hanya akan mendapatkan pendapatan bersih Rp 11.25 juta setahun (tiga kali
panen) atau Rp 937,500,- bila dirata-rata bulanan.
Gaji pegawai negeri terendah-pun kini Rp
1,323,000 per bulan (golongan 1 A dengan masa kerja nol tahun), jauh lebih
tinggi dari petani rata-rata yang memiliki lahan 0.25 hektar. Maka tidak
mengherankan bila para petani hingga kini terus rajin menjual lahannya untuk
membiayai anaknya masuk menjadi pegawai negeri dlsb.
Bila arus ini dibiarkan terus, maka akan
semakin banyak lahan-lahan petani yang jatuh ke tangan orang kaya hanya untuk
sekedar klangenan (hiburan), mereka tidak antusias mengolahnya dan malah lebih
sering hanya sebagai investasi belaka. Ketahanan pangan nasional akan terancam
bila praktek demikian dibiarkan.
Lantas apa solusinya ? berikut adalah
setidaknya dua solusi yang kami padukan
dari multi disiplin dan masing-masing keahlian telah memulai mencobanya di
lapangan atau mulai melakukan pembibitannya.
Pertama adalah Go Organic – ini yang
sudah dicoba oleh team kami di Jawa-Tengah dengan hasil yang sangat baik.
Bertani organic tidak harus mahal, justru sebaliknya bisa menjadi murah karena
tidak ada pupuk dan obat-obatan kimia yang perlu dibeli mahal, cukup membuat
sendiri dengan komponen microba yang sangat murah.
Menurut hitungan team kami bahkan setelah
sekitar 15 kali panen (5 tahun), pupuk-pupuk organic-pun tidak diperlukan sama
sekali. Tanah sudah kembali subur alami kembali ke pra PD II sebelum pupuk
kimia dikenal !
Kedua melengkapi pojok-pojok sawah petani
dengan tanaman jangka panjang yang diambil buahnya. Ide kami adalah bisa kurma,
zaitun, anggur atau kombinasi diantaranya. Petani hanya perlu menanam sekali
tetapi akan terus memetik hasilnya sampai anak turunan mereka.
Dengan dua langkah ini saja matematika
petani sudah akan jauh berubah. Dengan hasil yang dua kali lipat dan biaya yang
separuh dari sebelumnya, maka bertani sudah bisa kembali menarik.
Hasil dua kali lipat ini ditunjukkan oleh
beberapa kali panen padi organik kami di Boyolali yang berada di sekitar angka
12 ton/hektar atau 3 ton untuk tanah 0.25 hektar. Penjualan kotor padi petani
menjadi 3x3,000xRp 5,000 = Rp 45,000,000. Setelah dipotong biaya tenaga kerja
dan pupuk organik Rp 11,250,000, petani dengan 0.25 ha lahan akan memiliki
penghasilan bersih Rp 33.75 juta setahun atau rata-rata Rp 2,812,500 sebulan.
Dengan angka ini saja bertani sudah bisa
kembali lebih menarik ketimbang memaksakan diri menjual sawah untuk biaya anak
masuk menjadi pegawai. Hasil bertani akan semakin menarik, manakala
poohon-pohon jangka panjang yang ditanam tersebut mulai berbuah beberapa tahun kemudian.
Dari sinilah kami melihat masa depan
cerah bagi petani bisa kembali kita visikan. Bila masa depan petani cerah, maka
ketahanan pangan nasional-pun insyaAllah akan aman.
Mudahkah ini ?, tentu tidak ada yang
mudah, semuanya membutuhkan kerja keras yang memerlukan kesabaran. Tetapi semua
itu mungkin dilakukan karena memang sudah dicoba. Bahkan bagi masyarakat yang
membutuhkan pelatihan untuk bertani secara organic ini, unit usaha kami di
Boyolali- Jawa Tengah insyaAllah bisa membantu.
Lebih dari ikhtiar yang bersifat fisik,
masyarakat juga perlu diajak untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaannya
secara terus menerus. Hanya dengan iman dan takwa inilah negeri ini akan
memperoleh keberkahanNya, dan di negeri yang diberkahi, hasil panenan itu banyak
dan enak (QS 2:58). InsyaAllah.
*) Penulis adalah alumni SMA
Muhammadiyah 1 Yogyakarta
Sumber: geraidinar.com
2 comments:
Aamiin. . .
Semoga dpt dukungan dari pemerintah...
mari sambil kita bersama mengedukasi masyarakat dari lingkup kelompok kecil-kecil. jika memang kebijakan dari pemerintah belum mendukung penerapan secara masal
Post a Comment