Mohammad Roem: Penulis dan Diplomat yang Hebat
Monday, October 7, 2013
0
comments
Oleh: Nuim Hidayat
Mohammad Roem, tokoh Masyumi ini bukan
hanya pintar menulis, ia juga ahli diplomasi. Bila ia bicara, tokoh-tokoh
Belanda mendengarkannya dengan takjub. Berulangkali ia terlibat dalam
perjanjian Indonesia dan Belanda, ia dan kawan-kawannya memenangkannya.
Gaya menulis Roem, berbeda dengan Natsir
atau HAMKA. Bila Natsir banyak menulis tentang konsep dan HAMKA banyak mengutip
ayat/hadits, maka Roem lebih banyak cerita tentang realitas. Ia senang menulis
dengan gaya bercerita. Bisa dikatakan ia termasuk ‘penulis terbaik’ yang
dimiliki Indonesia. Tulisan-tulisannya mempunyai ‘ruh Islam’.
Misalnya ketika menceritakan tentang Haji
Agus Salim, Roem bercerita bahwa suatu hari di tahun 1925, ia diajak’ ngaji’
oleh Kasman Singodimedjo dan Soeparno ke rumah Haji Agus Salim di Gang Tanah
Tinggi, Jakarta. Ringkas cerita, jalan
ke rumah Agus Salim itu becek bila kena hujan dan saat Kasman datang, Agus
Salim Salim berkomentar: ”Hari ini anda datang secara biasa. Kemarin peranan
manusia dan sepeda terbalik.” Kasman menjelaskan ke Roem bahwa kemarin ia
datang ke rumah Agus Salim, ia ditunggangi sepeda bukan ia menunggangi sepeda.
Maka Kasman menjawab ke Agus Salim : ”Een leidersweg is een lijdensweg, Leiden is lijden.” (Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah,
memimpin adalah menderita). (Lihat
tulisan lengkap tentang Haji Agus Salim dalam Bunga Rampai Dalam Sejarah 3,
Mohammad Roem, hlm. 29-59).
Ketika menggambarkan seorang guru
pemimpin bagi bangsa Indonesia, Roem menggambarkan kepribadian Tjokroaminoto
dengan rinci dan sangat bagus. Lihatlah bagaimana ia menulis tentang Tjokro:
“Pak Tjokro yang penulis ingat senantiasa memakai pakaian Jawa tradisionil.
Blankon, jas tutup, kain panjang dan sandal. Saudara Anwar Tjokroaminoto
baru-baru ini menerangkan kepada penulis, bahwa ia pun hanya ingat ayahnya
memakai pakaian itu.
Perkenalan kami, pemuda Islam terpelajar
yang tergabung dalam Young Islamieten Bond (Serikat Pemuda Islam), dengan Pak
Tjokro mulai di tahun 1925, sesudah JIB didirikan. Perkenalan pertama
berlangsung di Jakarta di rumah Pak Haji A Salim yang menjadi penasehat JIB.
Tapi Pak Tjokro hadir waktu pada akhir tahun 1924 di Yogyakarta, Pak
Syamsyurijal mengambil insiatip untuk mendirikan perkumpulan itu, dalam sebuah
ruangan yang diterangi dengan lampu teplok. Dan Pak Tjokro ikut merestui
pendirian itu.
Seorang pemimpin lain yang juga
berkenalan dengan kami di rumah Pak Haji A Salim, ialah Pak AM Sangadji.
Kemudian hari kami, setidaknya penulis ini, juga berkenalan dengan lain-lain
pemimpin PSII, baik di rumah Pak Salim, maupun di tempat lain, seperti Pak
Abikusno, Pak Wondoamiseno, Pak Surjopranoto; tapi tiga orang yang tersebut
dahulu itu, yang paling kami kenal.
Kombinasi tiga orang itu yang agak aneh
tidak terlepas dari perhatian penulis. AM Sangadji berasal dari Maluku, orang
Ambon pertama yang penulis kenal. Sebelumnya penulis mengira bahwa semua orang
Ambon beragama Kristen. Mulailah penulis tahu bahwa di Maluku banyak orang
Islam. Tapi orang Ambon yang ada di Jawa hampir semua beragama Kristen.
Pak Sangadji seorang yang gagah perkasa.
Pakaiannya selamanya rapih, jas buka dengan dasi, celana dan sepatu. Tapi tidak
pernah kepala terbuka, selamanya memakai pici. Kumis melintang, dada berbulu
(yang disebut akhir ini tidak kelihatan).
Pak Haji Salim seorang Minangkabau
memakai pakaian menurut model sendiri. Pakaian Haji Salim ini serupa dengan
kemeja yang kita pakai sewaktu revolusi di Yogya. Mula-mula Pak Salim memakai
Tarbus, kopiah berwarna merah, yang biasa dipakai oleh orang-orang Arab. Tapi
sesudah peristiwa Tripoli, maka tarbus itu yang semua “made in Itali” diboikot.
Kemudian Pak Salim membuat pici model sendiri, yang dibuat dari kain serdadu
(kain hijau). Pici itu mempunyai dua anak baju di bagian depan. Sesudah itu Pak
Sangadji memakai kopiah model “OK”, demikian Pak Salim menamakan modelnya.
Menurut PF Dahler, seorang nasionalis
Indonesia, pemimpin golongan Indo, Tjokroaminoto memiliki “een mole, krachtige
baritone stem” (suara yang merdu dan berat kuat). [Baca: Amelz: HOS
Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangannya, hal. 68, penerbit Bulan Bintang, 1952).
Istilah “baritone” mempunyai arti yang
khusus dalam seni musik. Penulis ini pernah mendengarkan Pak Tjokro berpidato
di rapat umum yang dihadiri oleh beberapa ribu orang. Dari tiga pemimpin yang
penulis sudah sebut Tjokro, Salim dan Sangadji, masing-masing orator “par
excellence”, ahli pidato ulung, yang mempunyai gaya dan ciri sendiri-sendiri.
Haji A Salim umumnya dipandang sebagai
orator yang brilian. Sangadji mempunyai suara seperti geledek. Perlu diingatkan,
bahwa generasi Pak Tjokro belum berbahagia hidup dengan mik dan pengeras suara.
Menurut ingatan penulis Pak Tjokro memang mempunyai keistimewaan. Orang di
baris depan mendengar suara Pak Tjokro sama kerasnya dengan orang yang duduk di
baris belakang, kecuali ia (juga –pen) mampu mengikat perhatian pendengar
berjam-jam…
Kalau dengan perkataan tidak akan cukup
untuk menggambarkan bagaimana Tjokroaminoto berpidato, penulis rasa orang dapat
mengatakan, bahwa kalau orang pernah mendengar dan melihat Soekarno atau
Harsono (anak Tjokroaminoto –pen) berpidato, kira-kira begitulah gaya dan nada
Tjokroaminoto.” (Lihat Majalah Kiblat, Agustus 1972 dalam Buku “Bunga Rampai
Dari Sejarah (II)”, Mohamad Roem, Bulan Bintang, 1977).
Lihatlah tulisan Roem ketika menulis
tentang sahabatnya Kiai Abdul Mukti, yang pernah menjadi Ketua Muhammadiyah
Cabang Madiun dan Ketua Pimpinan Pusat Masyumi Jakarta. Ia memberi judul :
“Semangatnya Tak Kunjung Padam: Cuplikan dari Hidup Kiai Mukti”.
Roem menulis: “Waktu Pak Kasman, Bu Roem
dan penulis sampai di kamar tidur Kiai Mukti di Rumah Sakit Islam Jakarta, ia
sedang tidur. Kami tekankan kepada yang menjaga agar ia jangan dibangunkan.
Kami merasa lega, tidak harus mengatakan sesuatu kepada yang sakit. Menengok
orang sakit membawa kewajiban mengatakan sesuatu yang membesarkan hati, yang
mengandung harapan. Tugas itu tidak mudah.
Badan Kiai Mukti sudah sangat kurus dan
lemah. Pernafasan dibantu dengan zat asam yang disalurkan pipa lewat hidungnya.
Cairan glucose dituang di badannya dengan pipa yang dimasukkan di pembuluh
darah di lengannya.
Tapi ia bangun juga seolah-olah merasakan
kehadiran kami. Dengan cepat pipa yang masuk hidung ia tarik, begitu juga pipa
di lengannya. Dan sebelum kami dapat mengatakan sesuatu Kiai Mukti sudah
berbicara lebih dulu. Meskipun dengan pernafasan berat ia bercakap-cakap secara
santai, percakapan itu ia arahkan kepada sebuah kalimat yang penulis tidak
lupa: “Di hari-hari ini saya lebih menyadari arti iman kepada Tuhan.” Kita yang
sudah agak lama berkenalan dengan Kiai Mukti tahu bagaimana caranya Kiai Mukti
menyampaikan buah pikirannya. Secara “matter of fact”, zakelijk, prosaic,
biasa. Tidak secara persuasif tidak ada tekanan suara. Begitulah cara Kiai Mukti bicara. Kalau ada
yang meyakinkan ialah karena isi yang dikatakan mengandung kebenaran. Dan
kebenaran tidak perlu dikatakan dengan kenaikan suara. Maka berlangsunglah
percakapan, yang dimulai oleh Kiai Mukti. Saya sendiri menggunakan kesempatan
itu untuk mengucapkan terima kasih atas kebaikannya, menerima bayam dan tomat
waktu bersama-sama di Rumah Tahanan Militer tahun 1965. Bayam dan tomat itu
Kiai Mukti sendiri yang menanam. Hasilnya tidak habis dimakan sendiri…
Pertama kali penulis melihat Kiai Mukti
ialah di tahun 1925. Sehubungan dengan kunjungan Pengurus Besar Muhammadiyah di
Kudus, maka Muhammadiyah di Kudus, maka Muhammadiyah cabang Kudus mengadakan
acara khusus. Antara lain Hizbul Wathon berbaris dengan tambur dan trompet
menyelusuri beberapa Jalan Raya di Kota Kudus. Kejadian itu sangat menarik
perhatian rakyat. Akhirnya anak-anak dan juga orang tua yang menonton ikut
jalan di belakang barisan dengan jumlah lebih besar. Dengan kebetulan sekali
penulis berada di Kudus dan menemukan dirinya di tengah-tengah rakyat yang ikut
berjalan di belakang barisan Hizbul Wathon. Jika dalam perjalanan itu ada
tempat yang agak luas maka barisan berhenti. Rakyat yang menonton tambah banyak
lagi. Kesempatan itu dipergunakan untuk bertabligh atau berdakwah. Kiai Mukti
yang pada waktu itu menjadi Ketua Cabang Kudus memimpin acara-acara.” (Lihat
Bunga Rampai Dari Sejarah (3), Mohammad Roem, Bulan Bintang, 1983, Hlm. 11-13).
000
Mohammad Roem lahir di Desa Klewongan,
Parakan, Temanggung, Jawa Tengah pada 16 Mei 1908. Ia lahir sebagai anak keenam
dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Djulkarnaen Jayasasmito, ibunya bernama
Siti Tarbiyah.
Pendidikannya dimulai di Volkschool
(Sekolah Rakyat, sekolah dasar di masa Belanda) di desa kelahirannya. Ia
kemudian melanjutkan ke HIS (Holland Inlandsche School) Temanggung sampai kelas
III, dan diteruskan ke HIS Pekalongan. Tamat dari HIS pada 1924.
Semangat perjuangan Roem mulai bersemi
sejak di HIS. Kisahnya bermula tatkala seorang gurunya yang berkebangsaan
Belanda menghardik Roem, “Zeg, Inlander!”. Dasar pribumi, begitu kira-kira
artinya. Roem sangat tersinggung dihardik demikian. Sebagai orang pribumi ia
merasa dirinya dihina dan dilecehkan. Ia kemudian teringat sejumlah papan
larangan di gedung-gedung bioskop, di rumah makan, dan lain-lain tempat yang
mengharamkan orang pribumi masuk.
Penghinaan itu belum selesai. Di waktu
istirahat ada seorang murid Belanda yang mendorong-dorong tubuh Roem sambil
mengolok-olok, “Inlander! Inlander!” Akibat dorongan itu Roem jatuh
terjerembab. Tapi ia segera bangkit lalu dikejarnya anak Belanda itu. Setelah
tertangkap ditinjunya perut si anak bule itu hingga muntah-muntah.
Peristiwa itu sangat membekas pada diri
Roem. Ia kemudian bertekad untuk memerdekakan bangsanya agar tak lagi dihina
bangsa asing. Untuk mewujudkan niatnya itu sambil bersekolah Roem kemudian
bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa). (Lihat Hidayatulah Edisi
12/XV, 2003 dan
http://serbasejarah.wordpress.com/2009/06/17/mohamad-roem-pemimpin-tanpa...)
Mula-mula Roem bersemangat di kelompok
pemuda itu. Namun belakangan ia tidak betah berada di lingkungan Jong Java,
karena aspirasi Islam tidak tertampung di situ, ia bersama Syamsuridjal dan
beberapa tokoh lainnya memilih keluar, lalu pada tahun 1925 mendirikan Jong
Islamieten Bond (JIB) atau Himpunan Pemuda Islam.
Dalam JIB ini Roem dipercaya menjadi
salah seorang anggota pimpinan pusatnya. Kemudian pada tahun 1930 ia menjadi
ketua Panitia Kongres JIB di Jakarta. Ketika JIB membentuk kepanduan (Natipij)
ia menjadi ketua umumnya.
Pada tahun 1930 Roem tamat dari Algemene
Middlebare School (AMS) atau sekolah menengah atas. Ia kemudian melanjutkan
sekolah ke Rechts Hoge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum. Dari perguruan
tinggi tersebut ia berhasil meraih gelar Mester in de Rechten (Mr) atau Sarjana
Hukum pada tahun 1939. Skripsinya tentang Hukum Adat Minangkabau.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945),
Roem dipercaya sebagai Ketua Muda “Barisan Hizbullah” di Jakarta. Barisan
Hizbullah adalah organisasi semi-militer di bawah naungan Masyumi.
Oleh Pemerintahan Soekarno ia mendapat
amanah menjadi anggota tim juru runding RI dalam perundingan Renville 17
Januari 1948. Kemudian, seperti telah disinggung di atas, Roem diangkat sebagai
ketua juru runding RI dalam perundingan Roem-Royen pada tanggal 14 April 1949.
Perundingan tersebut dinilai berhasil karena telah mendorong segera
terselenggaranya Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan RI oleh
Belanda tahun 1949.
Di masa berikutnya Roem pernah menjabat
sebagai menteri dalam negeri dalam kabinet Natsir (1950-1953) serta pernah juga
menjadi wakil perdana menteri dalam kabinet Ali Sastroamijoyo (1956-1957).
Pada masa Demokrasi Terpimpin, terjadi
konflik antara Masyumi dengan Presiden Soekarno. Apalagi kemudian beberapa
pemimpin Partai Masyumi, seperti Natsir bergabung dalam PRRI.
Sejak Partai Masyumi membubarkan diri,
karena dipaksa Soekarno, pada tanggal 17 Agustus 1960, Roem tidak lagi memegang
jabatan di pemerintahan. Ia kemudian memusatkan perhatian pada penulisan buku
dan penelitian sejarah perpolitikan di Indonesia serta bidang ilmiah lainnya.
Kegiatan ini tidak berjalan lancar,
karena pada tanggal 16 Januari 1962, ia bersama-sama dengan beberapa tokoh
Masyumi dan PSI ditahan pemerintah tanpa pengadilan. Mereka dituduh oleh
Pemerintahan Presiden Sukarno terlibat peristiwa Cendrawasih, yakni peristiwa
percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Makassar.
Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari
tahanan pada tahun 1966 setelah pemerintahan Soekarno goyang usai pemberontakan
PKI tahun 1965. Pada tahun 1969 Roem
sempat hampir kembali ke kancah politik setelah terpilih sebagai ketua Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi). Ini adalah partai ‘jelmaan’ Masyumi yang didirikan
oleh para mantan kader Masyumi. Sayangnya Soeharto, presiden waktu itu, tidak
menyetujui. Soeharto khawatir, jika dipimpin Roem, Parmusi bisa menjadi partai
besar seperti Masyumi dulu, hingga menyaingi Golkar. Atas desakan pemerintah,
terpaksa Roem batal jadi Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.
Sejak itu Roem betul-betul undur diri
dari dunia politik praktis. Kemudian bersama-sama M Natsir dan kawan-kawan
mantan kader Masyumi lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)
di tahun 1970-an. Di tempat inilah kakek dari Adi Sasono ini berkhidmat bersama
para warga Bulan Bintang.
Suatu ketika Amien Rais dalam
wawancaranya dengan majalah Panji Masyarakat (no. 379/1982) menyatakan tidak
ada negara Islam dalam al-Quran dan as-Sunnah, “Oleh karena itu tidak ada
perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam,” kata Amien Rais. Atas
pandangan Amien itu kemudian Roem mengirimkan tanggapan ke majalah yang sama.
Roem membenarkan, bahwa memang tidak ada negara Islam dalam nama, namun secara
substansial ada.
“…Pada akhir hayat Nabi, pada saat Surat
Al-Maidah ayat 3 diwahyukan, maka sudah tumbuh sebuah masyarakat yang dibangun
oleh dan di bawah kepemimpinan Nabi sendiri, yang tidak diberi nama khusus oleh
Nabi, akan tetapi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara, sedang hukumnya
oleh Tuhan sudah dinamakan sempurna… Saya rasa selama tidak lebih dari tiga
bulan itu di dunia pernah ada ‘Negara Islam’ atau Islamic State, tidak dalam
nama, melainkan dalam substance, dalam hakikatnya.”
Sesudah itu Nurcholish Madjid yang sedang
berada di Chicago menyuratinya, sehingga berlangsung korespondensi antara
mereka berdua selama beberapa bulan. Setelah korespondensi berakhir, Mohammad
Roem dipanggil ke hadirat Allah pada 24 September 1983.
Pada tahun 1997 kumpulan korespondensi
itu plus wawancara Amien Rais dengan majalah Panji Masyarakat serta tanggapan
Roem dibukukan dan diterbitkan oleh Adi Sasono, lalu diberi judul “Tidak Ada
Negara Islam; Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohammad Roem.” (Lihat
Hidayatulah Edisi 12/XV, 2003 dan
http://serbasejarah.wordpress.com/2009/06/17/mohamad-roem-pemimpin-tanpa...)
Judul buku itu kacau. Seolah-olah Roem
menafikan keberadaan negara Islam. Padahal sesungguhnya, sebagaimana kutipan di
atas, Roem mengakui pernah ada negara Islam, meski tidak dinamakan Negara
Islam, yakni pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah saw.
Kini kapan akan muncul generasi model
Roem lagi? Generasi yang membuat tokoh-tokoh Barat (Belanda) bertekuk lutut
karena kata-kata diplomasinya yang hebat. Wallahu alimun hakim.*
Penulis adalah peneliti Insitute for the
Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS)
Sumber: hidayatullah.com
0 comments:
Post a Comment