Ketika Sri Sultan HB IX Terkena Tilang di Pekalongan
Friday, January 31, 2014
0
comments
Kota batik Pekalongan di pertengahan tahun
1960-an menyambut fajar dengan kabut tipis, pukul setengah enam pagi polisi
muda Royadin yang belum genap seminggu mendapatkan kenaikan pangkat dari agen
polisi kepala menjadi brigadir polisi sudah berdiri di tepi posnya di kawasan
Soko dengan gagahnya. Kudapan nasi megono khas pekalongan pagi itu menyegarkan
tubuhnya yang gagah berbalut seragam polisi dengan pangkat brigadir.
Becak dan delman amat dominan masa itu,
persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk-angguk
mengikuti ayunan cemeti sang kusir. Dari arah selatan dan membelok ke barat
sebuah sedan hitam ber plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus
becak dan delman. Brigadir Royadin memandang dari kejauhan, sementara sedan
hitam itu melaju perlahan menuju ke arahnya. Dengan sigap ia menyeberang jalan
di tepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut sembilan
puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun lima
puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan Pekalongan berhenti di hadapannya.
Saat mobil menepi, Brigadir Royadin
menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat.
“Selamat
pagi!” Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap sempurna. “Boleh ditunjukan rebuwes!” Ia meminta
surat-surat mobil berikut surat izin mengemudi kepada lelaki di balik kaca, zaman
itu surat mobil masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan, pria berusia sekitar setengah abad
menurunkan kaca samping secara penuh.
“Ada
apa pak polisi?” Tanya
pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget, ia mengenali siapa pria itu . “Ya Allah…sinuwun!” kejutnya dalam hati. Gugup bukan main namun
itu hanya berlangsung sebentar, naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya
dalam sikap sempurna.
“Bapak
melanggar verbodden, tidak boleh lewat sini, ini satu arah !” Ia
memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Yogya, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Dirinya tak habis pikir, orang sebesar Sultan HB IX mengendarai
sendiri mobilnya dari Yogya ke Pekalongan yang jauhnya cukup lumayan, entah
tujuannya kemana.
Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin
mempersilakan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan,
namun sultan menolak.
“Ya
..saya salah, kamu benar, saya pasti salah !” Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri
Brigadir Royadin yang tetap menggenggam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa.
“Jadi…?”
Sinuwun bertanya, pertanyaan yang singkat namun sulit bagi Brigadir Royadin
menjawabnya .
“Em...emm...
bapak saya tilang, mohon maaf!” Brigadir Royadin heran, sinuwun tak kunjung
menggunakan kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya, jangankan
begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat Negara dan Rajapun beliau tidak
melakukannya.
“Baik...brigadir,
kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal!”
Sinuwun meminta Brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang. Dengan
tangan bergetar ia membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan
surat itu tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda
pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang paling membuatnya
sedikit tenang adalah tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut sinuwun
menyebutkan bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi. “Sungguh orang yang besar…!” begitu gumamnya.
Surat tilang berpindah tangan , rebuwes saat
itu dalam genggamannya dan ia menghormat pada sinuwun sebelum sinuwun kembali
memacu Sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal.
Beberapa menit sinuwun melintas di depan
stasiun pekalongan, Brigadir Royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya dan
segala macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda ontelnya mengejar sedan
hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya
untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun berhasil menghibur dirinya.
Saat aplusan di sore hari dan kembali ke
markas, Ia menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih
lanjut, Ialu kembali ke rumah dengan sepeda abu-abu tuanya.
Saat apel pagi esok harinya, suara amarah
meledak di markas polisi Pekalongan, nama Royadin diteriakkan berkali-kali dari
ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh-gopoh menghampirinya dan memintanya
menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor.
“Royadin,
apa yang kamu lakukan! Sak enake dewe... ora mikir... iki sing mbok tangkep
sopo heh... ngawur...ngawur!” Komisaris mengumpat dalam
Bahasa Jawa, di tangannya rebuwes milik sinuwun pindah dari telapak kanan ke
kiri bolak-balik.
“Sekarang
aku mau tanya, kenapa kamu tidak lepas saja sinuwun... biarkan lewat, wong kamu
tahu siapa dia, ngerti nggak kowe sopo sinuwun?” Komisaris
tak menurunkan nada bicaranya.
“Siap
pak, beliau tidak bilang beliau itu siapa, beliau ngaku salah... dan memang salah!”
Brigadir
Royadin menjawab tegas.
“Ya
tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia ... ojo kaku-kaku, kok malah mbok
tilang... ngawur... jan ngawur… Ini bisa panjang, bisa sampai Menter!”
Derai komisaris. Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Brigadir Royadin pasrah, apapun yang dia
lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan
peraturan pada siapa saja, memang koppeg (keras kepala) kedengarannya.
Kepala polisi Pekalongan berusaha mencari
tahu di mana gerangan sinuwun, masih di Tegalkah atau tempat lain? Tujuannya
cuma satu, mengembalikan rebuwes. Namun tidak seperti saat ini yang demikian
mudahnya bertukar kabar, keberadaan sinuwun tak kunjung diketahui hingga
beberapa hari. Pada akhirnya kepala polisi Pekalongan mengutus beberapa petugas
ke Yogya untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikutsertakan Brigadir Royadin.
Usai mendapat marah, Brigadir Royadin
bertugas seperti biasa, satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak teman-temannya
yang mentertawakan bahkan ada isu yang ia dengar dirinya akan dimutasi ke
pinggiran kota Pekalongan Selatan.
Suatu sore, saat belum habis jam dinas,
seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan Soko yang memintanya untuk
segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya ke ruang
komisaris yang saat itu tengah menggenggam selembar surat.
“Royadin….minggu
depan kamu diminta pindah!” lemas tubuh Royadin, ia membayangkan
harus menempuh jalan menanjak di pinggir kota Pekalongan setiap hari, karena
mutasi ini, karena ketegasan sikapnya di persimpangan Soko .
“Siap
pak!” Royadin menjawab datar.
“Bersama
keluargamu semua, dibawa!” pernyataan komisaris mengejutkan, untuk
apa bawa keluarga ke tepi Pekalongan Selatan, ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya
sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di
rumah sekarang!” Brigadir Royadin menawar.
“Ngawur…
kamu sanggup bersepeda Pekalongan – Yogya? Pindahmu itu ke Yogya bukan disini,
sinuwun yang minta kamu pindah tugas ke sana, pangkatmu mau dinaikkan satu
tingkat.!” Cetus pak komisaris, disodorkan surat yang ada digenggamannya
kepada Brigadir Royadin.
Surat itu berisi permintaan bertuliskan
tangan yang intinya : “ Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Yogya, sebagai
polisi yang tegas saya selaku pemimpin Yogyakarta akan menempatkannya di
wilayah Yogyakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk
menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Ditandatangani Sri Sultan Hamengkubuwono
IX.
Tangan Brigadir Royadin bergetar, namun ia
segera menemukan jawabannya. Ia tak sanggup menolak permntaan orang besar
seperti Sultan HB IX namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di
kota Pekalongan. Ia cinta Pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini .
“Mohon
bapak sampaikan ke sinuwun, saya berterima kasih, saya tidak bisa pindah dari
pekalongan, ini tanah kelahiran saya, rumah saya. Sampaikan hormat saya pada
beliau, dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya!” Brigadir
Royadin bergetar, ia tak memahami betapa luasnya hati sinuwun Sultan HB IX, amarah
hanya diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan tinggi justru datang
dari orang yang menjadi korban ketegasannya.
Juli 2010, saat saya mendengar kepergian
purnawirawan polisi Royadin kepada Sang Khalik dari keluarga di Pekalongan,
saya tak memilki waktu cukup untuk menghantar kepergiannya. Suaranya yang lirih
saat mendekati akhir hayat masih saja mengiangkan cerita kebanggaannya ini pada
semua sanak famili yang berkumpul. Ia pergi meninggalkan kesederhanaan perilaku
dan prinsip kepada keturunannya, sekaligus kepada saya selaku keponakannya.
Idealismenya di kepolisian Pekalongan tetap ia jaga sampai akhir masa baktinya,
pangkatnya tak banyak bergeser terbelenggu idealisme yang selalu dipegangnya
erat-erat yaitu ketegasan dan kejujuran .
Hormat amat sangat kepadamu Pak Royadin, Sang
Polisi sejati . Dan juga kepada pahlawan bangsa Sultan Hamengkubuwono IX yang
keluasan hatinya melebihi wilayah negeri ini dari Sabang sampai Merauke.
Depok June 25′ 2011
Aryadi Noersaid
Sumber:
pekalongankota.go.id dengan editan ejaan dan bahasa seperlunya
Setelah cerita di atas tersebar luas di
internet, tribunjogja berusaha mencari ke sumber yang terpercaya dan menemui
putra-putri Brigadir Royadin. Keluarga almarhum Royadin tinggal di Gang Sriti
RT 06/RW 06 No 53, Legoksari, Proyonanggan Tengah, Kecamatan Batang, Kabupaten
Batang. Rumah sederhana itu berada tak jauh dari ruas jalan utama Kabupaten
Batang, Jalan Gajahmada.
Semua warga Legoksari ternyata mengenal nama
Royadin, mantan polisi yang meninggal pada 14 Februari 2007 lalu dengan pangkat
terakhir Pembantu Letnan Satu (Peltu). Rumah itu berada di tengah kampung yang
hanya bisa dijangkau jalan kaki atau sepeda motor itu.
Tribun bertemu anak ketiga Royadin bernama
Supardiyo (57), dan anak kelima almarhum Murni Janasih (51). Total anak
almarhum ada enam; Raminten, Budiati, Supardiyo, Bambang Sugeng, Murni Janasih,
dan Sri Siti Handayani.
“Iya cerita Mas Didik (panggilan Aryadi)
memang benar. Saya juga pernah diceritain, tapi saat itu bapak tugasnya di
Semarang, bukan di Pekalongan. Sekitar tahun 1960an, pas ramai-ramainya PKI, ”
kata Diyo, panggilan Supardiyo, saat berbincang di ruang tamu rumah ayahnya,
Selasa (10/4) siang.
Ayah lima anak itu mengenang cerita ayahnya
sembari tersenyum kecil. Diyo mendengar kisah itu suatu saat ketika ayahnya
pulang ke Batang. Ibu dan saudara-saudaranya tinggal di Legoksari, sedangkan
ayahnya di asrama polisi di Jalan Admodirono, Semarang. Setiap akhir pekan
ayahnya menengok keluarga di Batang.
Bersama saudara-saudaranya, Diyo mendengar
ayahnya yang humoris bercerita baru menangkap penggede (orang besar) yaitu Sri
Sultan HB IX di Semarang. Kisahnya dimulai saat di Semarang ada upacara dengan
banyak pejabat negara yang datang ke Semarang.
Pertengahan 1960-an itu, Royadin bertugas di
pos lantas yang seingatnya kalau tidak di pertigaan depan Stasiun Poncol
Semarang, di Simpang Lima, ataupun daerah Jalan MT Haryono. Tiba-tiba Royadin
melihat ada mobil melanggar jalan searah.
Ia langsung mencegat. Ternyata pengemudinya
orang yang sama sekali tidak asing. Royadin tersentak, tapi ia tetap memilih
menilang orang besar itu. Sultan HB IX menurut Royadin tidak marah dan
memberikan surat-surat kelengkapan yang diminta sesuai peraturan.
Di mata Diyo dan saudara-saudaranya, Royadin
ayah yang sederhana. Hidupnya lurus tidak pernah berbuat macam-macam. Bahkan,
saat masih susah dan hanya bisa makan nasi jagung pun ayahnya tetap
bertanggungjawab.
Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, ia rela
menggadaikan apapun. Bahkan saat itu untuk memenuhi kebutuhan rumah, ayahnya
sempat menggadaikan sarung dan tidak jarang pakaian dinasnya di pegadaian.
Kenangan akan ayahnya pun membekas di hati
Murni Janasih (51). Baginya ayahnya sosok yang bersahaja. Tidak terlalu keras
ataupun lembut. Ia tidak pernah melihat ayahnya berkeluh kesah dan bertindak
macam-macam.
Data yang dihimpun Tribun, Royadin lahir di
Batang, 1 Desember 1926. Ia bertugas sebagai polisi selama 21 tahun 1 bulan.
Pernah bertugas di Boyolali, lalu pindah ke Semarang dan pulang kembali ke
Batang sebagai Kapolsek Warungasem, Batang hingga pensiun.
Pada 14 Februari 2007, dalam usia ke 81 tahun
Royadin berpulang di rumah yang dibangunnya dengan hasil keringatnya sendiri.
Ia dimakamkan di pemakaman umum dekat rumahnya di Kepuh, Priyonanggan Tengah,
Batang.
Tidak ada yang istimewa dengan makamnya.
Hanya ada tulisan Royadin bin Slamet yang berdampingan makam istrinya yang
meninggal dua tahun setelahnya. Anak-anaknya kini tersebar di Batang, Semarang,
dan Purworejo.
Sumber
: www.tribunjogja.com
0 comments:
Post a Comment