Nikah dalam Keadaan Hamil, Bagaimana? (1)
Monday, September 1, 2014
0
comments
LUMRAH
sekarang ini, walau membuat miris, bahwa banyak perempuan yang menikah ketika
sedang berbadan dua. Bagaimana Islam memandangnya?
Perempuan
yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam :
Satu
: Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Dua
: Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di
zaman ini –Wal ‘iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh
kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.
Adapun
perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai
lepas ‘iddah nya. Dan ‘iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam
firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : “Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu
‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya,” (QS. Ath-Tholaq : 4).
Dan
hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil
tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala : “Dan janganlah kalian
ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya”. (QS.
Al-Baqarah : 235).
Berkata
Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini : “Yaitu jangan kalian melakukan
akad nikah sampai lepas ‘iddah-nya”. Kemudian beliau berkata : ‘Dan para ‘ulama
telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah”. Lihat : Al-Mughny
11/227, Takmilah Al-Majmu’ 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma’ad 5/156.
Adapun
perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas karena
pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi di seputarnya. Maka
dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah Al-’Alim Al-Khabir,
masalah ini kami uraikan sebagai berikut :
Perempuan
yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya
melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para
‘ulama.
Secara
global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya
nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat
yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista. Dalam pensyaratan
taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama :
Satu
: Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat
Qatadah, Ishaq dan Abu ‘Ubaid.
Dua
: Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan
Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan
disyaratkan untuk bertaubat.
Sumber: islampos.com
0 comments:
Post a Comment