CMM #3 : Kader Muhammadiyah, Memahat Kemanfaatan Bagi Semesta
Tuesday, February 5, 2019
0
comments
“Sesungguhnya Allah
suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli).
Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa
dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla.” (Riwayat Ahmad)
Pada titik akhir kemanfaatanlah
nilai kehidupan manusia ditentukan.
Kemanfaatan yang tidak hanya tersemat dalam diri. Namun meruah kepada keluarga,
masyarakat, dan semesta. Ia menjadi tanda syukur atas karunia Allah yang
melimpah. Ia sebagai wujud tugas kekhalifahan di bumi. Lalu lewat kemanfaatan
itu pula manusia mencapai derajat khairunnas, insan terbaik.
Cukuplah berdiam di
Gua Hira’ maka tidak akan ada kebencian dari orang-orang kafir. Tetaplah
bersembahyang di dalam rumah, maka kaum Quraisy tak akan mengusir. Diamlah, dan
lupakan kalimat, ‘Ahad, Ahad, Ahad’ maka tak akan ada lagi siksaan dari
majikan, Umayah bin Khalaf. Tapi itu tak akan pernah menjadi pilihan
pribadi-pribadi agung umat ini. Muhammad Saw, Abu Bakar Ash Shidiq dan Bilal
bin Rabah. Setelah kebenaran menghunjam di hati, ada kerja yang harus
dijalankan agar ia memberi kemanfaatan bagi semesta.
“Tidakkah kamu
perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu
memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim
[14]: 24-25)
Ego seringkali
menjebak orang bijak. Asyik membangun kesalehan diri lalu mengabaikan orang
lain. Dengan dalih menjaga kesucian lalu enggan memperbaiki lingkungan yang
‘kotor’. Melalaikan tugas dakwah yang dipikulkan pada setiap insan. Mereka lupa
sedang berada dalam perjalanan di atas lautan.
Dari Nu'man bin
Basyir radhiallahu 'anhuma dari Nabi s.a.w. bersabda: "Perumpamaan orang
yang berdiri tegak pada had-had Allah dan orang yang menjerumuskan diri di
dalam had-had Allah adalah sebagai perumpamaan sesuatu kaum yang bersama-sama
ada dalam sebuah kapal, maka yang sebagian dari mereka itu ada di bagian atas
kapal, sedang sebagian lainnya ada di bagian bawah kapal. Orang-orang yang
berada di bagian bawah kapal itu apabila hendak mengambil air, tentu saja
melalui orang-orang yang ada di atasnya, maka mereka berkata:
"Bagaimanakah andaikata kita membuat lobang saja di bagian bawah kita ini,
suatu lobang itu tentunya tidak mengganggu orang yang ada di atas kita."
Maka jika sekiranya
orang yang bagian atas itu membiarkan saja orang yang bagian bawah menurut
kehendaknya, tentulah seluruh isi kapal akan binasa. Tetapi jikalau orang
bagian atas itu mengambil tangan orang yang bagian bawah tentulah mereka
selamat dan selamat pulalah seluruh penumpang kapal itu." (Riwayat
Bukhari)
Setiap manusia
memiliki kemampuan yang dengannya tugas dakwah bisa dilakukan. Jika mampu
mencegah kemunkaran dengan tangan (kekuasaan) maka lakukanlah karena itu suatu
kelebihan. Jika mampu mencegah kemunkaran dengan lisan maka ucapkanlah karena
itu menjadi keharusan. Jika tidak ada kemampuan keduanya, maka pengingkaran
hati menjadi pilihan akhir, maka inilah selemah-lemahnya iman. Kurang dari itu,
tidak ada lagi sisa keimanan.
Untuk menebus
kesalahan di masa lalu, Fudhail bin ‘Iyadh, seorang yang zuhud, mengikrarkan
diri tinggal di Baitul Haram. Hari-harinya dilalui dengan taubat dan ibadah.
Tak terhitung berapa banyak ia menangis sampai-sampai ada bekas aliran air mata
di pipinya. Suatu saat Abdullah Ibnu Mubarak, seorang ‘ulama ahli hadis,
memberinya nasihat penuh makna.
“Wahai ‘abid Al
Haramain, seandainya engkau memperhatikan kami, engkau akan tahu bahwa selama
ini engkau hanya bermain-main dalam beribadah.
Kalau
pipi-pipi kalian basah dengan air mata,
Maka
leher-leher kami basah bersimbah darah,
Kalau
kuda-kuda kalian letih dalam hal yang sia-sia,
Maka
kuda-kuda kami letih di medan laga,
Semerbak
wanginya parfum itu untuk kalian,
Sedangkan
wewangian kami pasir dan debu-debu,
Telah datang Al
Quran kepada kita menjelaskan, para syuhada tidak akan pernah mati, dan itu
pasti.”
Nasihat yang membuat
Fudhail tersentak. Mebangunkan kesadaran yang selama ini tersamarkan. “Engkau
benar Ibnul Mubarak. Demi Allah engkau benar!” ucapnya penuh ketegasan.
“Janganlah
kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan
mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (Ali 'Imran [3]: 169)
Mengukir
Prestasi Terbaik
Diam itu baik,
ketika tak ada pilihan kata yang lebih berguna. Tetapi saling menasehati dalam
kebenaran dan kesabaran menjadi lebih baik agar manusia tak terjebak dalam
kerugian. Bersikap hemat itu baik, ketika harta hanya digunakan untuk
pemborosan. Tetapi memperbanyak shadaqah akan menjadi lebih baik, agar kelak
harta tidak menjadi beban saat tanggungjawab diminta. Mengistirahatkan badan
itu baik, ketimbang beraktifitas untuk kesiaan. Tetapi mencurahkan keringat
untuk kerja yang bermanfaat akan lebih baik hingga keletihan berbalas pahala.
“Sesungguhnya Allah
suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli).
Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa
dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla.” (Riwayat Ahmad)
Beramallah dengan
amal terbaik. Memilih amal terbaik berarti menggunakan puncak dari kemampuan.
Mengeliminasi segala kemalasan yang bersarang dalam raga. Menyingkirkan
bermacam alasan yang selalu saja ada. Tidak mudah memang. Tapi kehidupan ini
tinggal menyisakan dua peluang. Mengikuti jalan terjal penuh liku lalu menjadi
pemenang. Inilah kebajikan. Atau menelusuri jalan mudah tapi penuh tipuan lalu
menjadi pecundang. Itulah kesesatan.
“Dan Kami telah
menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan), Tetapi dia tiada
menempuh jalan yang mendaki lagi sukar, Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki
lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan
pada hari kelaparan (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada
orang miskin yang sangat fakir. Kemudian ia termasuk orang-orang yang beriman
dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.
Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan
kanan.” (Al Balad [90]: 10-18)
Pahatkanlah
kemanfaatan bagi semesta. Tentu setiap diri punya kapasitas dan potensi yang
berbeda. Itu tak jadi soal karena setiap insan diciptakan dengan kelebihan dan
kekurangan masing-masing.
Ketika kata yang
dipunya, bercerminlah kepada Abu Bakar, sang pembenar yang tak pernah gentar.
Rasulullah bersabda,
“Ketika kafir Quraisy menganggap aku berdusta tentang kabar (isra’ mi’raj) maka
aku bediri di Hijir (Ismail) dan ditampakkan bagiku Baitul Maqhdis. Lalu aku
mengabarkan kepada mereka tentang tanda-tanda Baitul Maqhdis sambil aku
memandang kepadanya.” (Riwayat Bukhari dari Jabir bin Abdullah ra.)
Meskipun demikian,
masih saja banyak orang yang tidak percaya dengan perjalanan isra’ mi’raj.
Jangankan kafirin, sebagian orang mukmin pun tak mempercayainya. Tampillah Abu
Bakar, “Aku bersaksi bahwa ia (Nabi) benar.”
Mereka bertanya,
“Apakah kamu juga membenarkan Nabi telah tiba di Syam dan kembali lagi ke
Makkah, hanya dalam tempo satu malam?
“Ya. Lebih dari
itupun aku tetap membenarkannya. Aku percaya dengan berita langit dan
membenarkannya.”
Pantaslah bila ia
digelari Ash Shidiq, orang yang membenarkan.
Ketika raga punya
kemampuan tenaga. Contohlah ‘Umar, kegagahan dan sikapnya yang tegas membuat
barisan Islam kian kokoh.
“Kami selalu merasa
bangga sejak ‘Umar masuk Islam,” begitu pengakuan Ibnu Mas’ud. “Islamnya ‘Umar
adalah suatu kemenangan, hijrahnya adalah pertolongan, dan kepemimpinannya
adalah rahmat. Demi Allah, sebelum ‘Umar masuk Islam kami tak berani
terang-terangan shalat di sekitar Ka’bah. Namun ketika ‘Umar masuk Islam, ia
perangi mereka sehingga mereka tidak lagi mengganggu kami shalat.”
Ketika punya
kemampuan harta. belajarlah dari kedermawanan Utsman bin Affan.
Ialah yang membeli
sumur Raumah, satu-satunya sumber air tawar di Madinah ketika kemarau panjang
melanda, hingga setiap orang yang meminumnya wajib membayar. Utsman membelinya
seharga tiga puluh lima ribu dirham dan segera ia infakkan untuk umat Islam.
Pada perang Tabuk ketika berhadapan dengan tentara Rum, Utsman menyumbang tiga
ratus ekor unta berikut perlengkapannya, ditambah seribu dinar.
“Siapa yang menolong
pasukan (muslim) yang dalam keadaan sulit, ia akan memperoleh surga.” (Riwayat
Bukhari)
Ketika punya ilmu
dan pemikiran yang berguna bagi perjuangan Islam. Teladanilah ‘Ali bin Abi
Thalib, gerbangnya ilmu pengetahuan.
Potret kesederhanaan
lekat dalam dirinya. Tapi keluasan ilmunya tak ada yang meragukan. Meski
usianya lebih muda dibanding sahabat lain, ia tak sungkan memberikan ide dan
pemikiran. Ialah yang mengajukan usulan penghitungan kalender Islam dimulai
dengan hijrahnya Nabi. Maka dikenallah sampai sekarang penanggalan hijriyah.
Ambillah bagian
dalam bangunan dakwah Islam. Pahatkan kemanfaatan bagi semesta. Bukan hanya
diam atau menyendiri di ruang sunyi. Agar wajah Islam tak hanya ditemukan di
masjid, surau-surau, atau di atas sajadah. Tapi bisa tercermin di semesta alam
ini dengan penuh rahmah.
Wallahu a’lam bi
shawwab
Catatan Menuju Musyawarah Wilayah (#CMM) Pemuda Muhammadiyah DIY di Sleman
Catatan Menuju Musyawarah Wilayah (#CMM) Pemuda Muhammadiyah DIY di Sleman
0 comments:
Post a Comment