Keteguhan Hamka: Ketika Ulama Tak Bisa Dibeli
Saturday, November 24, 2012
0
comments
Surat itu pendek. Ditulis oleh Hamka dan
ditujukan pada Menteri Agama RI Letjen. H. Alamsyah Ratuperwiranegara.
Tertanggal 21 Mei 1981, isinya pemberitahuan
bahwa sesuai dengan ucapan yang disampaikannya pada pertemuan Menteri Agama
dengan pimpinan MUI pada 23 April, Hamka telah meletakkan jabatan sebagai Ketua
Umum Majeiis Ulama Indonesia (MUI) .
Bagi banyak orang pengunduran diri Hamka
sebagai Ketua Umum MUI mengagetkan. Timbul bermacam dugaan tentang alasan dan
latar belakangnya. Agaknya sadar akan kemungkinan percik gelombang yang
ditimbulkannya, pemerintah dalam pernyataannya mengharapkan agar mundurnya
Hamka
“Jangan sampai dipergunakan golongan tertentu
untuk merusak kesatuan dan persatuan bangsa, apalagi merusak umat lslam
sendiri.”
Kenapa Hamka mengundurkan diri?
Hamka sendiri mengungkapkan pada pers,
pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut
pokok isinya mengharapkan umat Islam tidak mengikuti upacara Natal, meskipun
tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa.
Menurut K.H.M. Syukri Ghozali, Ketua Komisi
Fatwa MUI, fatwa tersebut sebetulnya dibuat untuk menentukan langkah bagi
Departemen Agama dalam hal umat Islam.
“Jadi seharusnya memang tidak perlu bocor
keluar,” katanya.
Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada
pengurus MUI di daerah- daerah. Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei 1981 memuat
fatwa tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no. 3/ April 1981.
Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada mereka yang bukan
pengurus MUI. Yang menarik, sehari setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula
surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan bertanggal
30 April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani
Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI.
Menurut SK yang sama, pada dasarnya
menghadiri perayaan antar agama adalah wajar, terkecuali yang bersifat
peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi seorang Islam
tidak ada halangan untuk semata- mata hadir dalam rangka menghormati undangan
pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual. Tapi
bila itu soalnya, kenapa heboh? Rupanya “bocor”nya Fatwa MUI 7 Maret itu konon
sempat menyudutkan Menteri Agama Alamsyah.
Hingga, menurut sebuah sumber, dalam
pertemuannya dengan pimpinan MUI di Departemen Agama 23 April, Alamsyah sempat
menyatakan bersedia berhenti sebagai Menteri. Kejengkelan Menteri Agama agaknya
beralasan juga. Sebab rupanya di samping atas desakan masyarakat, fatwa itu
juga dibuat atas permintaan Departemen Agama. “Menteri Agama secara resmi
memang meminta fatwa itu yang selanjutnya akan dibicarakan dulu dengan pihak
agama lain. Kemudian sebelum disebarluaskan Menteri akan membuat dulu petunjuk pelaksanaannya,”
kata E.Z. Muttaqien, salah satu Ketua MUI.
Ternyata fatwa itu keburu bocor dan heboh pun
mulai. Melihat keadaan Menteri itu, Hamka kemudian minta ijin berbicara dan
berkata, menurut seorang yang hadir, “Tidak tepat kalau saudara Menteri yang
harus berhenti. Itu berarti gunung yang harus runtuh.” Kemudian inilah yang
terjadi: Hamka yang mengundurkan diri. “Tidak logis apabila Menteri Agama yang berhenti.
Sayalah yang bertanggungjawab atas beredarnya fatwa tersebut …. Jadi sayalah
yang mesti berhenti,” kata Hamka pada Pelita pekan lalu. Tapi dalam
penjelasannya yang dimuat majalah Panji Masyarakat 20 Mei 1981, Hamka juga
mengakui adanya “kesalahpahaman” antara pimpinan MUI dan Menteri Agama karena
tersiarnya fatwa itu.
Kepada salah satu majalah, Hamka mengaku
sangat gundah sejak peredaran fatwa itu dicabut. “Gemetar tangan saya waktu
harus mencabutnya. Orang- orang tentu akan memandang saya ini syaithan. Para
ulama di luar negeri tentu semua heran. Alangkah bobroknya saya ini, bukan?”
kata Hamka.
Alasan itu agaknya yang mendorong lmam Masjid
Al Azhar ini menulis penjelasan, secara pribadi, awal Mei lalu. Di situ Buya
menerangkan: surat pencabutan MUI 30 April itu “tidaklah mempengaruhi sedikit
juga tentang kesahan (nilai/ kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh
dan menyeluruh.” HAMKA juga menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh
Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli agama dari ormas- ormas Islam dan lembaga-
lembaga Islam tingkat nasional — termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah
Islam Golkar.
Buya Hamka tercatat sebagai ketua MUI pertama
sejak tahun 1975. Keteguhannya memegang prinsip yang diyakini membuat semua
orang menyeganinya. Pada zamam pemerintah Soekarno, Buya Hamka berani
mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa
itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’.
Tidak hanya berhenti di
situ saja, Buya Hamka juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan
PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh
Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel
Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita”
yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi
Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan
urusan-urusan politik, hari-hari Buya Hamka lebih banyak diisi dengan kuliah
subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.
Ketika menjadi Ketua MUI, Buya Hamka meminta
agar anggota Majelis Ulama tidak digaji. Permintaan yang lain: ia akan
dibolehkan mundur, bila nanti ternyata sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya
dalam hal kerjasama antara pemerintah dan ulama. Mohammad Roem, dalam buku
Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, menyebut masalah gaji itu sebagai bagian
dari “politik Hamka menghadapi pembentukan Majelis Ulama”. Ulama mubaligh ini,
menurut Roem, kuat sekali menyimpan gambaran “ulama yang tidak bisa dibeli“.
Walaupun gaji sebenarnya tidak usah selalu menunjuk pada pembelian, kepercayaan
diri ulama sendiri agaknya memang diperlukan.
TAK ada lagi Buya Hamka. orang tak akan
menantikan khotbahnya di Masjid Al Azhar. Tak akan mendengarkan suaranya yang
serak itu lagi, pada malam tarawih, pada kuliah pagi, pada pengajian subuh
lewat RRI — untuk seluruh Indonesia. Suara yang sangat dikenal itu akan tak ada
lagi. Selama-lamanya.
Ulama sangat penting itu berpulang “di hari
baik bulan baik”, hari Jum’at 21 Ramadhan (24 Juli), “ketika bulan puasa masuk tahap
ketiga” atau tahap lailatul qadar, menurut pengertian orang santri. Memang
menunjukkan keutamaan: ribuan orang yang mengiring jenazahnya ke pemakaman, dan
yang keluar ke pinggir-pinggir jalan, boleh dikatakan semuanya orangorang yang
berpuasa dan baru turun dari sembahyang Jum’at. Entah apa yang menggertak mereka
itu: dalam waktu hanya empat jam, dan tanpa sempat disiarkan koran (meninggal
pukul 10.30, dan diberangkatkan ke pemakaman pukul – 14.30), ribuan para
pelayat memenuhi jalan dan pekuburan dengan kendaraan yang macet panjang di
daerah Kebayoran Lama dan Tanah Kusir.
Sumber: muhammadiyah.yu.tl
dengan
sedikit editan
0 comments:
Post a Comment