KH. AR. Fachrudiin, Sosok Teladan Pemimpin Umat
Friday, November 9, 2012
0
comments
Di
tangannya, Islam terasa sangat mudah dan toleran. Dalam berdakwah, ia memegang
prinsip: Islam harus dibawakan dengan senyum.
Ia
menyadari betul, senyum memiliki nilai ibadah. Kata Nabi SAW, ''Senyummu kepada
saudaramu adalah sedekah.''
Memimpin
dengan senyum, kesan itulah yang melekat pada diri ulama kharismatik ini.
Agaknya, prinsip 'senyum' ini ikut membentuk wajah Muhammadiyah—ormas Islam
yang pernah beberapa periode dipimpinnya—terasa teduh.
Tokoh
dan ulama Muhammadiyah itu tak lain adalah KH Abdul Razaq Fachruddin atau lebih
akrab disapa dengan panggilan Pak AR. Dilahirkan di Clangap, Purwanggan,
Yogyakarta, pada 14 Februari 1916.
Ia
adalah anak ketujuh dari 11 bersaudara pasangan KH Fachruddin dengan Nyai
Hajjah Fachruddin binti KH Idris. KH Fachruddin adalah seorang lurah naib
(penghulu) dari Istana Pakualaman. Di kala usianya menginjak 16 tahun, ia
menjadi yatim karena ayahnya meninggal dunia.
Masa
kanak-kanak Abdul Razaq dihabiskan di Pakualaman. Setelah berusia tujuh tahun,
bersama orang tuanya ia pindah ke Purwanggan. Ia menempuh pendidikan dasar di
sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Mulai
dari Standard School Muhammadiyah Bausasran, Madrasah Muallimin Muhammadiyah,
Sekolah Guru Darul Ulum Muhammadiyah Sewugalur, Kulonprogo, sampai Tabligh
School Muhammadiyah.
Perjalanan
kariernya dimulai dari bawah, yaitu sebagai guru dan mubaligh pada usia yang
masih belia, 18 tahun. Dengan bekal pendidikan yang diperolehnya tersebut,
tahun 1936 ia dikirim oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah untuk menjadi guru
di sekolah-sekolah Muhammadiyah yang ada di Palembang. Ia mendedikasikan diri
sebagai guru di Palembang selama 10 tahun. Setelah itu, ia pulang ke kampung
halamannya, Bleberan.
Tahun
1944, atas permintaan kepala sekolah Darul Ulum, ia mengajar di sana dan
menjadi anggota pengurus Muhammadiyah Sewugalur. Ketika Indonesia merdeka,
tahun 1945, AR ikut menjadi anggota Barisan Keamanan Rakyat (BKR) tingkat
kecamatan atau pasukan Hizbullah Yon 39. Ia juga pernah menjadi pamong desa
Kelurahan Galur, Brosot, Kulonprogo, selama setahun.
Pada
awal kemerdekaan negeri ini, Pak AR diangkat menjadi pegawai Departemen Agama.
Berbagai jabatan pernah ia emban, seperti kepala Kantor Urusan Agama di
Adikarto, Wates, pada tahun 1974.
Tidak
lama kemudian, ia pindah ke Kulonprogo, Sentalo, dalam jabatan yang sama.
Selama sembilan tahun (1950-1959), ia menjadi pegawai jawatan agama Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang berkantor di Kepatihan.
Tahun
1959, ia pindah ke Semarang dan menjabat sebagai kepala Kantor Penerangan Agama
Provinsi Jawa Tengah. Tahun 1964, ia kembali ke Yogyakarta dan menjabat sebagai
kepala Kantor Penerangan Agama Provinsi DIY hingga pensiun tahun 1972.
Kiprah
di Muhammadiyah
Adapun
aktivitasnya di Persyarikatan Muhammadiyah bermula sebagai pimpinan
Muhammadiyah Kotamadya Yogyakarta (1952), ketua Pimpinan Muhammadiyah Daerah
Istimewa Yogyakarta (1953), anggota Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah
(1956-1965), Ketua PP Muhammadiyah (1968-1992), dan penasihat PP Muhammadiyah
(1992-1995).
Selama
24 tahun—dari tahun 1968 sampai tahun 1992—Pak AR menjadi orang nomor satu di
Muhammadiyah. Amanah tersebut ia pegang tatkala KH Faqih Usman, Ketua PP
Muhammadiyah waktu itu, meninggal dunia. Faqih Usman terpilih sebagai ketua PP
Muhammadiyah periode 1968-1971.
Tapi,
belum setahun ia memegang amanah sebagai pimpinan Muhammadiyah, Faqih Usman
(Ketua Muhammadiyah) meninggal dunia.
Maka,
oleh pengurus, Pak AR didaulat secara aklamasi untuk menggantikan posisi Faqih
Usman pada 3 Oktober 1968. Sejak saat itu, ia dikokohkan dalam setiap
muktamar-muktamar Muhammadiyah berikutnya.
Pada
Muktamar ke-42 Muhammadiyah di Yogyakarta, tahun 1990, Pak AR yang terpilih
sebagai 13 besar anggota PP Muhammadiyah menolak jabatan ketua PP. Ia
memberikan alternatif penggantinya kepada KH Ahmad Azhar Basyir MA. Dengan
demikian, genaplah 22 tahun ia menjadi ketua PP Muhammadiyah.
KH
AR Fachruddin berkali-kali ditawari untuk menjadi anggota DPR. Akan tetapi,
karena khawatir tersita waktunya, ia menolak tawaran anggota DPR tersebut dan
lebih memilih mengurus Muhammadiyah. Namun kemudian, ia menerima jabatan
sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan dilantik pada 14 Agustus
1988.
Pernikahannya
dengan Siti Qamariah binti Kiai Abu Umar pada tahun 1938 mendapatkan tujuh
orang putra-putri. Setelah sempat dirawat di RS Islam Jakarta, Pak AR wafat pada
17 Maret 1995.
Sosok
sederhana, jujur, dan ikhlas
Sebagai
seorang Muslim, KH AR Fachruddin selalu berkecimpung dalam bidang keagamaan dan
kemasyarakatan. Sebagai ketua PP Muhammadiyah, ia telah memberi contoh teladan
yang baik untuk para pengikutnya.
Sebagai
contoh, dalam menjalankan tugas sebagai pimpinan, ia selalu menempuh cara
kolegial, yaitu memusyawarahkan segala tindakan yang akan ditempuh organisasi
sekalipun dalam hal yang kecil.
Sesuatu
yang tampak menonjol dari pribadi Pak AR adalah kesederhanaan, kejujuran, dan
keikhlasan. Tiga sifat itulah, yang menurut para penerusnya di Muhammadiyah,
sebagai warisan utama Pak AR yang perlu dihidupkan tidak hanya oleh kalangan
Muhammadiyah.
Bagi
yang pernah kenal dan menengok keseharian Pak AR, mereka akan sepakat bahwa
tokoh yang satu ini adalah sosok yang amat sederhana.
Dalam
buku Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 karya Herry Mohammad dkk,
budayawan Emha Ainun Nadjib mengungkapkan kekagumannya terhadap sosok Pak AR.
''Sedemikian
melimpah rezeki dari Allah kepada Pak AR sehingga kehidupan beliau hampir sama
sekali tidak bergantung kepada barang-barang dunia." "Pernahkah Anda
membayangkan ada seorang pemimpin organisasi besar yang anggotanya
berpuluh-puluh juta yang mencari nafkah hanya dengan beberapa jerigen minyak
tanah dan bensin untuk dijual di depan pagar rumahnya?''
Kekaguman
Emha tak berhenti sampai di situ. Ia melanjutkan, ''Di tengah zaman, di mana
para pemimpin orang banyak serta para pemegang kekuasaan dan senapan banyak
mengolusikan modal-modal itu untuk perolehan-perolehan finansial, bisakah Anda
berpikir ada seorang kiai besar yang profesi ekonominya adalah penjual eceran
minyak di kios pinggir jalan?”
“Di
tengah era di mana seorang kiai bisa menjual kekiaiannya, seorang pemimpin bisa
mengomoditaskan kepemimpinannya, serta seorang penggenggam massa bisa
mengencerkan akses-aksesnya. Kata apakah yang sebenarnya bisa kita ucapkan
kepada Pak AR yang bersih dari semua itu?''
Emha
benar. Di rumah 'dinas' milik persyarikatan di Jalan Cik Ditiro, Yogyakarta,
kesederhanaan itu tampak. Pak AR bukanlah penganut tarekat atau seorang sufi.
Tapi, pembawaannya sangat sederhana dan juga kehidupannya dalam keluarga.
Saking sederhananya, meski ada garasinya, tak ada mobil yang menjadi penghuninya.
Yang
nangkring di garasinya hanya sebuah sepeda motor Yamaha butut keluaran 1970-an.
Motor ini yang ia pakai untuk berdakwah di sekitar Yogya. Kalau motor tersebut
kebetulan dipakai anak-anaknya untuk kuliah atau keperluan lain, ia lebih suka
naik sepeda onthel, becak, atau jalan kaki. Tak jarang Pak AR dibonceng naik
motor oleh anak-anak SMA untuk mengisi pengajian di sekolah atau masjid-masjid
kampung.
Dilihat
secara kasat mata, sesuatu yang tak lazim bila seorang pemimpin organisasi
modern terbesar di Indonesia yang punya puluhan rumah sakit dan ribuan sekolah
itu hidup dengan penuh kesederhanaan. Di rumahnya, tak hanya ada kios bensin,
tapi juga beberapa kamar disewakan untuk kos-kosan mahasiswa.
Dalam
sebuah pengajian, Pak AR ditanya oleh seorang jamaah, ''Pak AR, dalam hadis
diterangkan bahwa selama bulan Ramadhan semua setan dan iblis dibelenggu.
Tetapi, mengapa kenyataannya masih banyak orang berbuat maksiat di bulan
Ramadhan?''
Dengan
kalem dan suara serak-serak basah, Pak AR menjawab, ''Yah, itulah manusia.
Banyak yang lemah iman. Dengan setan dibelenggu saja kalah, apalagi melawan
setan lepas-lepasan.''
Pak
AR dikenal sebagai pendakwah yang tidak menyinggung orang lain, melainkan
mengajak umat untuk berintrospeksi diri. Ketika banyak orang menentang dan
mempertanyakan perayaan Sekaten di Yogyakarta yang menggelar tontonan dangdut,
tong setan, bola maut, dan sejenisnya. Pak AR dengan kalem menjawab, ''Kalau
tak rela perayaan Sekaten ada tari dangdut, tong setan, bola maut, dan
sejenisnya, ya mari kita gembirakan dengan kesenian yang bermutu dan bercitra
Islam.”
“Jika
umat agama lain punya sekolahan, panti asuhan, rumah sakit, ayolah kita
tanding. Jangan cuma menggerutu. Ada yang tiap malam Minggu nonton bioskop
karcis seribu, tapi kalau jumatan kasih 50 rupiah. Kalau tidak boleh,
mentang-mentang membawa agama Allah melanggar jalur helm.''
Kesejukannya
sebagai pemimpin umat Islam juga bisa dirasakan oleh umat agama lain. Ketika
menyambut pemimpin umat Kristiani sedunia, Paus Yohannes Paulus II, di
Yogyakarta dalam sebuah kunjungan resmi di Indonesia, Pak AR menyampaikan
unek-unek dan kritik kepada Paus.
Ia
mengeluhkan bahwa tak sedikit umat Islam yang lemah dan tak berkecukupan sering
kali dirayu umat Kristen untuk masuk agama mereka. Kesempatan itu juga ia
gunakan untuk memberi penjelasan kepada Paus bahwa agama harus disebarluaskan
dengan cara-cara yang perwira dan sportif. Kritik ini diterima dengan lapang
dada oleh umat lain karena disampaikan dengan lembut dan sejuk serta dijiwai
dengan semangat toleransi tinggi.
Kini,
memasuki seabad Muhammadiyah, tantangan terbesarnya adalah melahirkan kembali
pemimpin umat masa depan yang memiliki sosok dan kepribadian seperti Pak AR;
penuh kesederhanaan, namun tetap berwibawa. Penuh kasih sayang dengan sesama
dan tegas terhadap segala bentuk kemunkaran.
sumber: republika.co.id
0 comments:
Post a Comment