Majalah Tabligh ‘versus’ Suara Muhammadiyah
Sunday, November 11, 2012
3
comments
Kata versus memang sengaja
saya beri tanda kutip. Karena tulisan ini memang tidak ingin mengadu dua media
massa (majalah) milik Muhammadiyah itu. Tulisan ini sekedar mereview dalam
sudut pandang penulis dengan meminimalkan sudut subyektifitas.
Penulis kenal majalah
Tabligh belum lama. Majalah yang diterbitkan oleh Majelis Tabligh dan Dakwah
Khusus PP Muhammadiyah (Jakarta) ini formatnya lebih kecil ketimbang SM, dengan
isi 80 halaman belum termasuk sampul. Memang agak aneh karena dibelakang PP
Muhammadiyah ada tulisan Jakarta, apakah MTDK PP terbelah menjadi dua kubu,
Yogyakarta dan Jakarta? Saya tidak paham.
Isi Majalah Tabligh (MT)
lebih beragam , disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh orang awam
sekalipun. Sehingga cocok untuk pembaca umum. Dari segi tampilan, mungkin MT
memang masih kalah ketimbang saudara tuanya, SM. Tetapi pembaca butuh isi dan
materi bukan hanya tampilan, apalagi pembaca sekelas kader Muhammadiyah. Sebab
pembaca bukan lagi anak-anak atau remaja yang suka warna-warni, mereka lebih
mengutamakan isi.
Bahasa yang digunakan MT
lebih mudah dipahami, isinya beragam, dan tidak terlalu akademis. Di samping itu
ada komunikasi yang berjalan, antara pembaca dengan redaksi, ini dapat dilihat
dalam rubrik Surat Pembaca yang selalu ditanggapi oleh redaksi. Bandingkan
dengan Surat Pembaca di SM yang sering dibiarkan tanpa jawab bahkan rubrik ini
sering ‘dikorbankan’ atau ditiadakan dalam beberapa edisi.
Pelanggan MT ternyata terus
bertambah, dan dalam beberapa kesempatan ketika rapat di persyarikatan beberapa
kawan mengaku lebih tertarik membaca MT. Dengan harga Rp 10 ribu per edisi dan
terbit satu bulan sekali, harga MT terasa cukup terjangkau.
Suara Muhammadiyah (SM)
sebagai majalah resmi persyarikatan (seperti yang saya baca dalam keputusan
Muhammadiyah yang dimuat di SM) memang memiliki peran dan kedudukan yang
strategis. Bahkan saya sendiri masih menyimpan koleksi SM dari tahun 70-an
karena memang materinya sebagian topiknya tetap awet.
Dengan menjadi media resmi
otomatis jutaan kader menjadikan SM sebagai ikon Muhammadiyah dalam bidang
media. Tak heran jika oplah SM menembus angka di atas 25 ribu eksemplar.
Tetapi dengan bahasa yang
berat dan terlalu akademis, saya tahu para pelanggan SM sebagian lebih karena
alasan fanatis. Dengan diam-diam mereka akan meletakan SM di atas meja setelah
melihat beberapa judul, dan tak menyentuhnya lagi. Meskipun secara rutin mereka
berlangganan dan mendapatkan dua edisi setiap bulannya dengan harga R12.500 –
Rp 15.000 tergantung daerahnya.
Persinggungan SM dengan
bahasan masalah-masalah politis, dan sarat dengan pandangan pribadi terkadang
membuat jengah. Rubrik yang ditunggu dan menjadi favorit biasanya khutbah jumat
dan tanya jawab agama.
Kehadiran MT seharusnya
mendapat sambutan positif untuk menambah khazanah media Muhammadiyah dengan
catatan MT tetap harus tunduk dan menjadi bagian dari PP Muhammadiyah. Karena
MT bisa menjadi bahan bacaan bagi kader awam yang butuh bacaan ringan berisi.
Sebaliknya SM bisa menjadi pilihan bagi mereka yang suka dengan bahasa yang
berat dan akademis. Ada baiknya juga SM maupun MT berbagi ilmu kepada Suara
Hidayatullah yang tampil secara apik dan berisikan materi menarik. [eko]
3 comments:
Masak Majalah Tabligh kok Versus Suara Muhammadiyah. Keduanya mitra dan saling mengokohkan satu sama lain. Memang gaya bahasanya berbeda. karena pangsa pasarnya memang "beda" meski kada dua-duanya.
Majelis Tabligh PP Muhammadiyah memang ada dua kantor (sperti PP Muhammadiyah) di Yogyakarta dan Jakarta, karena anggota yang di jakarta cukup banyak sehingga perlu ada kantor di Jakarta dan keduanya saling koordinasi. Jadi no problem dengan dua kantor dengan pembagian kerja yang jelas.
bisa dicermati lagi pada awal paragraf pertama.
Emang benar bahasannya. Walaupun bahasa versus seperti yang disampaikan punya analogi negatif dalam batok kepala manusia, makanya diberi tanda petik.
Munculnya Majalah Tabligh diuar Majalah Muhammadiyah, walau masih satu payung besar PP Muhammadiyah ternyata sebuah kondisi keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan. Bagi orang yang bergelut dalam dunia studi pemikiran islam kala mengkaji Persyarikatan Muhammadiyah, pasti akan mendapatkan perbedaan pandangan, pemikiran, keyakinan teologis bahkan mungkin politis dari para pemegang kebijakan. Secara detail ada dalam catatan saya, Naskah BUku Memuhammadiyahkan Warga Muhammadiyah
Post a Comment