Pak AR Menolak Dipilih Lagi Menjadi Ketua PP Muhammadiyah
Tuesday, November 13, 2012
0
comments
Tahun
1956, ketika Muktamar Muhammadiyah ke-33 di Palembang, saya sudah menjadi
anggota PP Muhammadiyah, meskipun cuma wakil ketua. Tahun 1959, pada Muktamar
Muhammadiyah ke-34 di Yogya, saya masih sebagai wakil ketua PP Muhammadiyah.
Demikian juga tahun 1962, ketika Muktamar ke-35 (setengah abad Muhammadiyah) di
Jakarta dan Muktamar ke36 di Bandung, tahun 1965.
Seperti
biasanya, Ketua PP Muhammadiyah dipilih saat muktamar. Demikian juga dengan
Muktamar ke-37 di Yogyakarta, tahun 1968. Pada pemilihan calon ketua, saya
mendapat suara terbanyak. Meskipun demikian, yang terpilih sebagai ketua PP
Muhammadiyah dari sembilan calon adalah K.H. Faqih Usman dari Surabaya. Dua
hari setelah muktamar, kami delapan orang, selain K.H. Faqih Usman, berangkat
ke Jakarta untuk musyawarah. K.H. Faqih Usman juga ada di Jakarta. Secara
fisik, K.H. Faqih Usman sehat-sehat saja, bisa jalan-jalan, meskipun suaranya
tidak keluar. Beliau sudah menulis pesan yang berbunyi, “Saya akan berobat ke
Belanda atas biaya Menteri Sosial, Saudara S. Mintarja, S.H. Selama berobat, PP
Muhammadiyah sehari-hari untuk Yogyakarta saya percayakan pada Saudara A.R.
Fakhrudin dan Saudara H.M. Jindar Tamimi. Untuk Jakarta, saya percayakan pada
Prof Dr. H. Rosyidi dan Prof Dr. Hamka.”
Beliau
menulis surat tersebut di rumahnya, Jakarta. Ketika mulai sidang, tiba-tiba ada
telepon dari Jalan Subang~ rumah K.H. Faqih Usman, yang memberitahukan bahwa
K.H. Faqih Usman meninggal dunia. Sorenya, Buya Hamka yang datang bersama dr.
Koesnadi (anggota PP Muhammadiyah di Jakarta), pendiri RS Islam Jakarta,
mengatakan ada nasihat Buya A.R. Sutan Mansur, penasihat PP Muhammadiyah. Buya
Sutan Mansyur mengatakan, “Yang meninggal bukan Faqih Usman pribadi, tapi Faqih
Usman Ketua PP Muhammadiyah, imamnya orang Muhammadiyah seluruh Indonesia.”
Karena itu, Buya Sutan Mansyur menyarankan, K.H. Faqih Usman jangan dikubur
sebelum ada gantinya. Kemudian, Buya Hamka mengatakan, “Begini saja, ini sudah
ada surat, kita anggap saja surat ini sebagai wasiat. ” Dulu, surat tersebut
memang bukan wasiat. “Karena itu,” demikian tutur Buya Hamka, “pengganti Faqih
Usman, adalah Saudara A.R. Fakhrudin.” Saat itu, tanpa dimusyawarahkan, semua
menyetujui. Sehingga saya menjadi pejabat Ketua PP Muhammadiyah tahun 1968.
Dalam
sidang Tanwir Muhammadiyah, 1969, di Ponorogo (sidang pimpinan-pimpinan
Muhammadiyah seluruh Indonesia), saya ditetapkan sebagai Ketua PP Muhammadiyah.
Tahun 1971, ketika Muktamar di Ujungpandang, saya terpilih lagi sebagai ketua
PP Muhammadiyah. Tahun 1974, saat Muktamar di Padang, saya masih terpilih
sebagai Ketua PP Muhammadiyah, demikian juga pada Muktamar tahun 1978, di
Surabaya, dan tahun 1985 di Solo.
Muktamar
Desember 1990, saya minta tidak dipilih lagi. Saya sudah tua, ganti yang lain
saja yang masih muda. Selain itu, saya sudah 22 tahun menjadi ketua PP
Muhammadiyah. Padahal, K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, hanya 11 tahun,
dari 1912 sampai 1923. Kiai Ibrahim memimpin dari 1923 sampai 1933. Kemudian,
Kiai Hisyam dari 1933 sampai 1937, diteruskan Kiai Mas Mansyur dari 1937 sampai
1942 . Ki Bagus Hadikusumo memimpin dari 1942 sampai 1953. Tahun 1953, pimpinan
Muhammadiyah diteruskan oleh Buya A.R. Sutan Mansyur sampai 1959. Setelah itu,
K.H. Yunus Anis dari 1959 sampai 1962, diteruskan Kiai Badawi sampai 1968.
Kemudian, saya menggatikan K.H. Faqih Usman yang meninggal dunia tahun 1968.
Saya
sudah paling lama menjadi Ketua PP Muhammadiyah, karena itu saya minta tidak
usah dipilih lagi. Saya tidak akan terpilih lagi karena sudah tidak masuk
calon. Terus terang, saya sama sekali tidak menyangka, mengapa saya yang
ditetapkan menjabat Ketua PP Muhammadiyah waktu itu. Waktu itu, usia saya 42
tahun. Ilmu agama saya tidak seberapa, apalagi saya hanya lulusan tsanawiyah.
Jadi, saya merasa belum pantas memimpin Muhammadiyah. Buat saya, itu tanggung
jawab yang sangat besar, bukan kepada Muhammadiyah, tapi kepada Allah. Saya
sampai syok dan mengalami stres. Tapi bapak-bapak yang lain mencoba
menggembirakan hati saya.
Sampai
1971, setelah Muktamar di Ujungpandang, saya masih stres. Waktu itu saya sudah
menempati rumah yang sekarang saya tempati (Jalan Cik Ditiro). Pernah, malam
hari, saat mengimami salat keluarga dan enam orang anak kos kami di musala
rumah, Al Fatihah yang saya baca putus-putus. Saya merasa hampir meninggal dan
berpikir, apa perlu saya beri tahu mereka kalau saya sudah hampir meninggal.
Kalau tidak saya beri tahu, alangkah terkejutnya mereka. Tapi kalau saya beri
tahu, tentu tambah pingsan Akibatnya, salat saya tidak selesai, biasanya
kultum, itu tidak. Saya hanya mondar-mandir.
Saya bilang pada istri saya kalau saya tidak apa-apa. Dia lalu mengajak
jalan-jalan keluar Sampai di depan rumah, saya diajak naik becak, kemudian saya
minta ke rumah Pak Jindar, kemenakan saya, di Kauman. Belum sampai di sana,
tiba-tiba saya ingin kembali saja dan mampir di PKU Muhammadiyah. Barangkali
masih ada dokter, jadi bisa tanya saya sakit apa. Belum sampai di PKU, pikiran
saya berubah lagi. Kami kembali ke rumah. Saya pun pernah istirahat di rumah
mbakyu saya, di Desa Srandakan.
Sumber:
http://nbasis.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment