Pak AR Menolak Jadi Lurah
Tuesday, November 13, 2012
0
comments
Saya
pulang lagi ke Bleberan, tahun 1944. Waktu itu zaman Jepang Penduduk desa tahu,
saya pernah mengajar. Karena itu, Kepala Sekolah Darul Ulum (sekolah saya dulu)
meminta saya untuk mengajar. Akhirnya, saya mengajar sambil menjadi anggota
pengurus Muhammadiyah Sewugalur. Kakak tertua saya, Syaebani (Mangunsemedi,
nama Jawanya), menjabat lurah (kucho) Bleberan. Sedang saya menjabat ketua RT
(asacho). Ketua RT bertugas membantu lurah sebagai perjuangan, tidak apa-apa.
Jabatan itu saya gunakan sewajarnya. Artinya, sebagai RT, saya turut
menggerakkan kerja bakti untuk kelurahan, misalnya.
Tahun
1945, bulan Agustus, Indonesia merdeka. Saya masih di desa. Seperti lazimnya
orang Indonesia, saya juga ikut bergerak, masuk menjadi anggota BKR di
kecamatan. Barisan pelopor juga ada. Tahun 1946, di desa diadakan penggabungan
kelurahan-kelurahan terdiri dari 200-300 kepala keluarga. Kelurahan saya
termasuk besar wilayahnya, ada 1.200 kepala keluarga. Di Temon, malah hanya 100
kepala keluarga. Karena itu, desa saya tidak disatukan, hanya diganti lurahnya.
Kakak
saya yang menjadi lurah memberi tahu, bagaimana kalau saya yang pegang jabatan
lurah nantinya. Saya setuju saja kalau kakak-kakak yang sepuh tidak mau. Kalau
kakak-kakak mau, silakan. Saya masih lebih muda walaupun usia saya waktu itu 30
tahun. Waktu pemilihan calon, saya mendapat 900 suara lebih. Jadi, sudah pasti
masuk. Kakak ipar saya, Mohammad Darobi carik kelurahan, juga calon lurah,
hanya dapat 600 suara.
Untuk
jadi calon lurah, paling tidak harus mendapat 300 suara. Saya lumayan ngetop
waktu itu. Sebab waktu jadi ketua RT (asacho), saya selalu berhubungan dengan
rakyat. Orang melihat saya jujur. Artinya, saya tidak pernah korupsi. Tiap
bulan saya mengadakan pengajian dengan nama pengajian rakyat. Bersama kakak
saya yang lurah, tiap tahun menggerakkan zakat sampai terkumpul 4 ton yang
dibagi saat paceklik. Korban juga tidak saya lewatkan. Satu desa sampai 42 ekor
kambing. Saya jadi pimpinan pembagian tersebut. Dukuh-dukuh juga saya datangi.
Sehari-hari, orang melihat saya jujur dan mereka bersimpati pada saya. Itu yang
membuat saya meraih suara terbanyak.
Yang
mau dipilih Lurah, Carik, Kamituo, Jogoboyo, dan Kabayan. Kelima jabatan ini
dapat tanah bengkok. Waktu itu ada 12 calon dari 5 yang akan terpilih. Setelah
semua calon masuk, diadakan pemilihan lurah yang diurutkan dari usia. Karena
paling tua, kakak ipar saya yang ditanya lebih dulu, apa sanggup dan mau
menjadi lurah. Beliau mengatakan mau dan sanggup dicalonkan.
Setiap
calon ditanya, sampai tiba giliran saya. Saya jawab tidak mau karena kakak saya
sudah bilang ya. Kalau dia bilang tidak, ya saya mau. Seperti saya katakan
sebelumnya, kalau kakak saya mau, saya tidak mau. Saya masih muda, masih bisa
cari pekerjaan yang lain. Waktu itu, semua orang kaget. Demikian juga dengan
kakak saya yang bekas lurah. Saat pemilihan lurah, kakak ipar saya berhasil
jadi lurah. Saya ditawari jadi carik. Tapi saya tolak karena carik itu harus
ngantor dan tekun di kelurahan. Saya pilih jadi kamituo, wakil lurah di bidang
sosial. Seperti kesra.
Kami
bukan turunan lurah. Kakak tertua saya yang bekas lurah jadi lurah karena
terpilih. Bapak saya hanya seorang kiai. Mungkin, anaknya juga dianggap baik.
Setengah tahun kemudian, ada ujian naif dari kantor urusan agama kecamatan.
Saya ceritakan itu pada kakak tertua bagaimana kalau saya ikut. Setelah kakak
tahu pekerjaan naif, dia bilang ndak usah dan menyarankan untuk tetap jadi
kamituo.
Tiga
bulan setelah itu, ada ujian penghulu dan saya kabarkan lagi pada kakak.
Setelah tahu kerja saya bila jadi penghulu, kakak mengizinkan, tapi saya harus
mendapat restu dari kakak ipar saya yang sudah jadi lurah. “Kak, saya akan ikut
ujian penghulu,” kata saya waktu itu. Kakak ipar saya merestui dan berharap
mudah-mudahan saya diterima. Saya selalu minta restu pada kakak-kakak karena
ayah sudah meninggal tahun 1931, sebelum saya ke Palembang. Ternyata, saya
diterima. Kemudian, saya jadi penghulu di Adikarto (Wates). Waktu itu di
Kulonprogo ada 2 kabupaten: di Adikarto, Wates, dan di Sentolo, Kulonprogo.
Saya
jadi penghulu (Kepala Kantor Urusan Agama) di Wates, tahun 1947. Tidak lama
kemudian saya pindah ke Kulonprogo, Sentolo, juga menjabat kepala KUA.
Tiba-tiba, PKI Madiun meletus tahun 1948. Kemudian, terjadi clash dengan
Belanda tahun 1949. Tentu saja, saya ikut bergerilya.
Sumber:
http://nbasis.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment