Pak AR Menolak Menjadi Menteri
Wednesday, November 14, 2012
0
comments
Muhammadiyah
dan Budaya Jawa
M
Bambang Pranowo
Guru
Besar Sosiologi Agama UIN Jakarta
Satu
kenyataan yang sering dilupakan orang adalah bahwa Muhammadiyah lahir dan besar
di pusat kebudayaan Jawa, Yogyakarta. KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah
adalah orang Jawa tulen yang hidup dan besar dalam lingkungan Jawa.
Ayahnya,
KH Abu Bakar, adalah khatib terkemuka di masjid Kesultanan Yogyakarta pada
masanya. Dengan melihat latar belakang Muhammadiyah tersebut, paling tidak,
kultur kejawaan tersebut amat penting untuk dipahami oleh warga Muhammadiyah,
khususnya yang menjadi caloncalon pimpinan tertinggi Muhammadiyah. Kenapa Jawa?
Jawabnya: Jawa dan kebudayaannya adalah ”sebuah entitas budaya dan psikologis”
yang nyaris telah menyatu dalam keindonesiaan. Hal ini logis karena mayoritas
penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa dan lebih dari 75% perekonomian dan
pusat keuangan berada di Jawa. Yang menarik, sejak zaman kemerdekaan pun,
hampir semua tokoh-tokoh nasional papan atas berasal dari Jawa. Jika pun tidak
lahir di Jawa, mereka pernah menuntut ilmu dan tinggal di Jawa.
Kiai
Dahlan dan Pak AR
Dalam
sejarah Muhammadiyah, barangkali, pemimpin yang paling fenomenal adalah KH
Ahmad Dahlan sendiri. Ini bukan saja karena beliau seorang pendiri Muhammadiyah
yang ingin mendobrak kejumudan umat Islam, melainkan juga karena kemampuannya
menyintesiskan pemikiran modern Islam dengan budaya Jawa. Gagasannya untuk
menjadikan umat Islam sebagai umat terpelajar dan mampu menyaingi kemajuan
Barat terealisasi melalui berbagai pendidikan modern yang dirintisnya,yang
mula-mula didirikan di Yogyakarta,pusat kebudayaan Jawa.
Kini
Muhammadiyah telah menjadi satu-satunya organisasi Islam di dunia yang paling
banyak mempunyai lembaga pendidikan, mulai TK,SD,SMP,SMU, sampai perguruan
tinggi. Melalui jalur pendidikan modern inilah,Muhammadiyah mendapat sambutan
masyarakat, baik di kota maupun pedalaman desa. Di sisi lain, Muhammadiyah pun
mencoba membumikan Islam dengan metode partisipatif.Pelajaran agama yang
sebelumnya terlihat sangat elitis karena kental aroma Arabnya oleh Muhammadiyah
diterjemahkan dalam simbol-simbol budaya setempat, khususnya Jawa, dengan
bahasa lokal yang sederhana sehingga mudah dipelajari oleh wong cilik.
Budayawan
Mohamad Sobary, mantan Ketua LKBN Antara, pernah bercerita bahwa dia mengenal
Islam pertama kali di tempat kelahirannya di sebuah desa kecil di Bantul
melalui langgar kecil Muhammadiyah. Sobary menceritakan, dulu Al-Fatihah dengan
terjemahannya dinyanyikan dalam lagu-lagu Jawa yang sederhana sehingga mudah
dipahami dan enak dinikmati. Di pelosok-pelosok desa di
Jawa,misalnya,ustadustad Muhammadiyah sangat pandai mengajarkan Islam dengan
cara yang sederhana, enak, dan menyatu dengan kesenian Jawa. Banyak sekali
tembang-tembang Jawa bernuansa Islam yang digubah oleh guru-guru Muhammadiyah.
Guru-guru
dan dai Muhammadiyah tampaknya mengikuti jejak wali (yang juga seniman) Sunan
Bonang, yang banyak menciptakan lagu-lagu bernuansa dakwah Islam dalam bahasa
Jawa. Barangkali itulah yang menyebabkan Muhammadiyah cepat sekali tersebar di
Jawa dan menjadi trend setter keislaman saat itu. Melalui metode penyebaran
Islam seperti itulah, Muhammadiyah mudah diterima orang Jawa. Soeharto, mantan
Presiden RI yang fenomenal itu, bahkan mengaku pernah menikmati sekolah di SD
Muhammadiyah.
Fenomena
itu jelas sangat menarik karena Muhammadiyah sebetulnya didirikan oleh Ahmad
Dahlan muda yang sangat mengagumi pemikiran-pemikiran modern Jamaludin
Al-Afghani dan Sayyid Rasyid Ridha, tokoh intelektual muslim Timur Tengah yang
berpikir modernis pada zamannya. Namun, melalui metode KH Ahmad
Dahlan,pemikiran modern Al-Afghani dan Sayyid Ridha tersebut ”bisa
bermetamorfosa” dengan budaya Jawa.Itulah keberhasilan yang fenomenal dari KH
Ahmad Dahlan. Dalam upayanya untuk memodernisasi Islam, Muhammadiyah tetap
mampu mengharmoniskan Islam dengan budaya setempat tanpa menimbulkan
gejolak.Muhammadiyah berhasil membentuk masyarakat Islam modern yang ramah dan
berbudaya.
Dua
pemimpin nasional Indonesia, Bung Karno dan Pak Harto, misalnya, dalam berbagai
kesempatan mengakui bahwa Muhammadiyahlah organisasi yang memberikan inspirasi
untuk membangun bangsa Indonesia. Di samping KH Ahmad Dahlan, tokoh
Muhammadiyah yang amat fenomenal adalah KH Abdur Rozak Fachrudin––biasa disebut
Pak AR. Beliau adalah pimpinan puncak Muhammadiyah terlama, 22 tahun
(1968-1990). Di bawah kepemimpinan Pak AR, Muhammadiyah terasa amat
sejuk,damai, dan dicintai masyarakat, baik dari kalangan elite,wong
cilik,maupun kalangan non-Islam. Muhammadiyah di zaman Pak AR tampil dengan
amat bersahaja, merakyat, tapi disegani baik oleh rakyat maupun pemerintah.
Dengan
mengendarai sepeda motor Yamaha butut warna kuning keluaran tahun 1970-an,Pak
AR keluar-masuk kampung memberikan ceramah agama kepada rakyat kecil.Materi
ceramahnya yang sederhana dengan menggunakan bahasa rakyat yang sederhana pula
plus humorhumornya yang segar menjadikan Pak AR amat dicintai masyarakat kecil
di Yogyakarta dan sekitarnya. Wejangan KH Ahmad Dahlan (jangan mencari hidup di
Muhammadiyah, tapi hidupkan Muhammadiyah) benar-benar dijalankan dengan amat
baik oleh Pak AR. Dalam pikiran Pak AR,beragama dan membesarkan Muhammadiyah
itu harus tulus ikhlas, tanpa pamrih.
Salah
seorang yang dekat dengan keluarga Pak AR pernah menceritakan,Pak Harto setiap
akan membentuk kabinet selalu menawarkan jabatan menteri kepada beliau.Tapi,
Pak AR selalu menolaknya dengan alasan yang khas Jawa (kulo mboten pantes dados
menteri– saya tidak pantas jadi menteri). Begitu pula ketika pimpinan PT Astra
mau memberikan sedan Toyota keluaran terbaru. Pak AR pun menolak dengan cara
halus (wah pripun,nyopir mobil mboten saged, terus nggowo mobil, rumit./Wah
bagaimana, menyetir mobil tak bisa, terus membawa mobil,rumit).Itulah Pak AR.
Meski demikian, jika bantuan itu untuk membesarkan Muhammadiyah, Pak AR akan
berjuang, tentu dengan gaya Jawanya yang halus.
Pak
AR pernah bercerita,ketika Muhammadiyah berniat membangun universitas di
Yogyakarta, beliau menitipkan surat kepada kenalannya yang dekat dengan Pak
Harto. Isi suratnya sederhana: Pak Harto, Muhammadiyah bade mbangun universitas
wonten Yogya. Menawi kerso monggo (Pak Harto, Muhammadiyah akan membangun
universitas di Yogyakarta. Jika berminat, silakan).Seminggu kemudian, cerita
Pak AR usai kuliah tujuh menit (kultum) bakda magrib di rumahnya, pihak istana
memberi tahu bahwa Pak Harto telah mengirimkan cek sekian rupiah. Itulah Pak
AR, seorang pimpinan puncak Muhammadiyah yang amat sederhana, merakyat,
berceramah agama dengan sederhana, menampilkan Islam dengan ramah, tanpa
pamrih, dan hidup bersahaja sampai menghembuskan nafas terakhirnya.
Barangkali,
”kemewahan” yang dinikmati Pak AR adalah saat kematiannya di Jakarta, 17 Maret
1995, ketika berusia 79 tahun.Pak Harto langsung memerintahkan TNI untuk
menyiapkan pesawat Hercules untuk mengantar jenazahnya ke Yogyakarta dengan
sebuah upacara kebesaran. Bangsa Indonesia berduka. Ratusan ribu orang dari
seluruh kalangan di Yogya mengiring kepergian Pak AR. Di saat akhir hayatnya
itulah masyarakat Indonesia tahu, betapa kebesaran pribadi Pak AR––seorang tokoh
besar yang di depan rumahnya di Jalan Cik Di Tiro, Yogyakarta, tertulis ”Pom
Bensin” yang ternyata pom bensin itu hanya menjual bensin eceran untuk
mahasiswa, khususnya yang kos di rumahnya, rumah pinjaman Muhammadiyah
tersebut.
”Di
dunia modern ini, hanya ada dua tokoh Islam yang amat saya kagumi. Pertama,
Ayatullah Ruhullah Khomeini. Kedua, KH AR Fachrudin,”kata budayawan Emha Ainun
Najib. Kiai Dahlan dan Pak AR telah tiada. Pertanyaannya: masihkah Muhammadiyah
menjadi tempat pengabdian orang-orang ikhlas untuk berjuang memperbaiki
kualitas umat? Orang Muhammadiyahlah yang bisa menjawabnya dengan jujur.(*)
Sumber:
http://muhammadiyahstudies.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment