Sudirman; Panglima Besar yang Bersahaja
Thursday, November 15, 2012
0
comments
Sudirman
adalah seorang yang bersahaja, lihat sajalah fisiknya yang cenderung kurus,
jauh dari penampilan profil tentara yang gagah perkasa. Satu hal yang menarik
apabila kita mencermati arsip foto-foto masa silam yang memuat sosok Sudirman
adalah penampilannya yang sederhana. Seragam militer yang ia pakai tidak
terlalu istimewa sebagai seorang pimpinan tentara Indonesia. Barangkali pakaian
kebesaran Bung Karno lebih berkesan militer daripada pakaian Sang Panglima
Besar (asli militer). Cobalah dengan seksama memperhatikan foto-foto tua itu,
lihat penutup kepala yang senantiasa dipakainya. Pada banyak kesempatan beliau
selalu memakai kopiah (peci) atau bahkan blangkon, bukan topi pet tentara
sebagaimana seragam militer yang umum kita lihat. Sudirman sebagai seorang
muslim telah meneladankan kesederhanaan.
Tanggal
10 Juli 1949, rakyat Jogja berjejal di sepanjang jalan sekitar alun-alun utara.
Ada yang ditunggu saat itu. Seorang jenderal besar hendak pulang setelah 7
bulan meninggalkan kampung halaman untuk memimpin pertempuran. Semuanya
berebutan ingin menyambut kedatangan sang pahlawan.
Ternyata
jenderal besar betul-betul pahlawan. Dengan paru-paru yang tinggal ¼ –paru satu
sudah rusak, satunya lagi tinggak separuh– dia memilih bergerilya, daripada
ditangkap Belanda. Semuanya terkejut dan terharu ketika melihat Jenderal
Sudirman keluar dari tandunya. Tidak seperti gambaran sosok tentara yang gagah
dan perkasa, justru wajahnya kuyu dan pucat, tampak lebih tua dibanding usia
sebenarnya yang masih 34 tahun. Badan kurus. Amat wajar, karena penyakit
tuberkulosis telah menggerogoti parunya. Selain itu istirahat yang kurang,
makan yang tidak teratur karena sering di hutan, dan obat-obatan yang sangat
terbatas membuat kondisinya tambah buruk.
Bakat
dan jiwa perjuangannya mulai terlihat sejak dari kepanduan Hizbul Wathon
Muhammadiyah, juga kemampuan fisik dan penggemblengan mental. Bakat
kemiliterannya ditempa melalui organisasi berbasis dakwah, bahkan semangatnya
berjihad telah mengantarkan Sudirman menjadi orang nomor satu dalam sejarah
militer Indonesia.
Sebagai
kader Muhammadiyah, Panglima Besar Sudirman dikenal sebagai santri atau jamaah
yang cukup aktif dalam pengajian “malam selasa”, yakni pengajian yang
diselenggarakan oelh PP Muhammadiyah di Kauman dekat Masjid Besar Yogyakarta.
Seorang Panglima yang istimewa, dengan kekuatan iman dan keislaman yang melekat
kuat dalam dadanya. Ia sangat meneladani kehidupan Rasulullah, yang mengajarkan
kesederhanaan dan kebersahajaan. Sehingga perlakuan khusus sari jamaah
pengajian yang rutin diikutinya, dianggap terlalu berlebihan dan ditolaknya
dengan halus.
Seorang
jenderal yang shalih, senantiasa memanfaatkan momentum perjuangan dalam rangka
menegakkan kemerdekaan sebagai bagian dari wujud pelaksanaan jihad fi
sabilillah. Hal ini ia tanamkan kepada para anak buahnya, bahwa mereka yang
gugur dalam perang tidaklah mati sia-sia, melainkan gugur sebagai syuhada.
Untuk menyeberluaskan semangat perjuangan jihad tersebut, baik dikalangan
tentara maupun seluruh rakyat Indonesia, Jenderal Besar ini menyebarkan pamflet
atau selebaran yang berisikan seruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk
terus berjuang melawan Belanda dengan mengutip salah satu hadist Nabi :
”Insyaflah!
Barangsiapa mati, padahal (sewaktu hidupnya) belum pernah turut berperang
(melawan ketidakadilan) bahkan hatinya berhasrat perangpun tidak, maka matilah
ia diatas cabang kemunafikan”.
Perang
gerilya yang digagasnya, tak luput dari mencontoh apa yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW. Sewaktu berada di desa Karangnongko, setelah sebelumnya menetap
di desa Sukarame, Panglima Besar Sudirman yang memiliki naluri seorang pejuang,
menganggap desa tersebut tidak aman lagi bagi keselamatan pasukannya. Maka
beliau pun mengambil keputusan untuk meninggalkan desa dengan taktik
penyamaran, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah beserta para sahabat saat
akan hijrah.
Sebuah
perjuangan yang penuh dengan keteladanan, baik untuk menjadi pelajaran dan
contoh bagi kita semua,anak bangsa. Perjalanan panjang seorang dai pejuang yang
tidak lagi memikirkan tentang dirinya, melainkan berbuat dan berkata hanya
untuk rakyat dan bangsa tercinta. Penyakit TBC yang diderita, tidak menyurutkan
langkah perjuangannya. Sampai akhir usianya 38 tahun, Panglima Besar Sudirman
yang dicintai rakyatnya menutup hidupnya pada tanggal 29 Januari 1950, tepat
pada hari Ahad. Bangsa ini mencatat satu lagi pejuang umat, yang lahir dari
umat dan selalu berjalan seiring untuk kepentingan umat.
Ia
seorang pejuang kemerdekaan yang mengobarkan semangat jihad, perlawanan
terhadap kezaliman, membekali diri dengan pemahaman dan pengetahuan agama yang
dalam, sebelum terjun kedalam dunia militer untuk seterusnya aktif dalm
aksi-aksi perlawanan dalam mempertahankan kemerdekaan negeri.
Meski
berbadan kurus, perawakan lemah, tapi semangat dan jiwa beliau jauh lebih besar
dari tampang beliau. Tubuh Sudirman melebihi tentara yang dilatih di Akademi
Militer dimanapun juga, tidaklah berlebihan jika Presiden Soekarno
mengangkatnya menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia.
Sumber:
jendela-kaca.blogspot.com
___________________________
Jenderal
Sudirman
Lahir
di Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916
Santri
Muhammadiyah dan pernah menjadi Guru
Tokoh
penting Hizbul Wathan Muhammadiyah
0 comments:
Post a Comment