Buya Hamka Sang Teladan
Friday, December 7, 2012
0
comments
"Masak iya saya harus
mencabut fatwa,'' kata Hamka sambil tersenyum dan memberikan surat pengunduran
diri sebagai Ketua MUI.
Itu sekadar gelar
formalitas. Yang penting, mari kita teladani kebajikan Buya Hamka,'' ujar
Sekjen Forum Umat Islam, Muhammad Al Khaththath, menanggapi pemberian gelar
''Pahlawan Nasional'' bagi Allah-yarham Buya Hamka.
Bersama 6 orang lain yaitu:
Mr Sjafruddin Prawiranegara, HM Idam Chalid, Ki Sarmidi Mangunsarkoro, I Gusti
Ketut Pudja, Sri Susuhunan Paku-buwono X, dan Ignatius Joseph Kasimo, Hamka
ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan UU no 20/2009 dan Peraturan
Pemerintah no 1/2010.
Gelar diberikan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono kepada ahli waris para pahlawan nasional tersebut di
Istana Negara, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (11/8/2011).
Al Khaththath mengemukakan,
salah satu teladan Haji Abdul Malik Karim Amrullah adalah keteguhan sikap dalam
beragama. ''Sikap Hamka tidak terpenjara oleh jabatannya, kalau perlu dia
lepaskan jabatan demi mempertahankan kebenaran,'' ucap Al Khaththath. Misalnya, saat Buya Hamka jadi Ketua MUI.
Tanggal 26 Juli 1975,
Menteri Agama Indonesia waktu itu, Prof Mukti Ali, melantik Hamka sebagai ketua
umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pelantikan juga dihadiri secara khusus oleh
sahabat Hamka yaitu PM Malaysia Tun Abdul Razak.
Pada 1980, untuk kedua
kalinya Hamka terpilih sebagai Ketua Umum MUI periode 1980-1985.
Pada sebuah sore di tahun
1981, ditemani Rusydi Hamka, anak sulungnya, Buya Hamka hendak terbang ke Irak
memenuhi undangan. Dalam perjalanan ke bandara, Buya mengajak mampir ke Kantor
Departemen Agama. Di sana ia menyerahkan surat berisi beberapa kalimat saja.
''Masak iya saya harus
mencabut fatwa,'' sambil tersenyum Hamka memberikan surat berisi pengunduran
diri sebagai Ketua MUI.
Itulah pertaruhan Buya
Hamka, demi fatwa MUI 7 Maret 1981 yang menegaskan Natal Bersama haram
hukumnya. Fatwa tersebut bagai nada sumbang di tengah orkestra kejayaan Orde
Baru yang dimainkan Presiden Soeharto bersama CSIS, Mafia Berkeley, Golkar,
ABRI, serta Birokrasi, yang sangat memberi angin bagi Kristenisasi dan
Jawanisasi. Natal Bersama salah satu lagunya, dengan dalih untuk menciptakan
harmoni antar-umat beragama.
Setelah Fatwa MUI yang
diteken Buya Hamka itu diedarkan pers dan aktivis muslim, Depag bagai dilanda
gempa. Menteri Agama waktu itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara, buru-buru meminta
agar fatwa segera ditarik dan dicabut. Tapi Buya memilih mundur ketimbang
menjilat ludah sendiri.
Dalam rubrik “Dari Hati ke
Hati” di Majalah Panji Masyarakat No 324/1981, Buya Hamka menulis artikel
berjudul ”Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?” Dia mencurahkan suara hati terdalam
tentang makna kerukunan umat beragama yang cenderung diplintir.
Jauh sebelumnya, di akhir
tahun 1960-an, Hamka telah menampik usulan akan perlunya diadakan perayaan
Natal dan Idul Fithri bersama, karena kedua hari raya itu waktunya berdekatan.
Dalam tulisan berjudul “Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme” di Majalah Panji Masyarakat No 324/1981, Prof
Hamka menyebut tradisi perayaan Hari Besar Agama Bersama bukan menyuburkan
kerukunan umat beragama atau toleransi, tapi akan menyuburkan kemunafikan.
Hamka menulis antara lain:
“Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu' bahwa Tuhan Allah beranak, dan
Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh
mendengar tentang Nabi Muhammad Saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan
oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat....”
Sikap Hamka itu selanjutnya
menjadi pegangan pimpinan MUI sampai sekarang. Misalnya, ketika MUI dihantam
para penganut paham Sepilis (sekulerisme-pluralisme-liberalisme) menyusul
fatwanya yang mengharamkan Sipilis dan Ahmadiyah. Mereka pun memprotes Presiden
SBY yang menyatakan tunduk pada fatwa MUI dalam kasus Ahmadiyah. Penganut
Sepilis berkilah, MUI kan bukan lembaga tertinggi negara yang membawahi
Presiden.
Menurut Ketua MUI, KH Kholil
Ridwan Lc, sangat wajar jika dalam hal ini kepala negara mengikuti fatwa MUI.
Bagaimana tidak. Naskah 11 fatwa MUI yang dihasilkan pada Munas VII di Jakarta,
26-29 Juli 2005, itu tebalnya 42 halaman dengan referensi 102 butir dalil
Qur'an dan hadits. Isinya antara lain bahwa paham Sipilis dan Ahmadiyah sesat
dan menyesatkan, serta haram dianut dan diikuti kaum muslimin.?
Pejuang Empat Zaman
Hidup adalah perjuangan''.
Bagi Buya Hamka, kalimat ini bukan sekadar slogan kosong. Hamka menghabiskan
hidupnya berjuang di era kolonial Belanda, Jepang, Orde Lama, dan Orde Baru. Pada
masa penjajahan Belanda, Hamka berjuang lewat jalur intelektual, spiritual, dan
bahkan fisik bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional, terutama melalui Syarikat
Islam dan Muhammadiyah.
Pada masa revolusi
1945-1949, Hamka ditunjuk Wapres Mohammad Hatta sebagai Sekretaris Front
Pertahanan Nasional yaitu Himpunan Parpol Sumatera Barat dalam bersatu melawan
Belanda. Dia juga ikut mendirikan Badan Pembela Negara dan Kota (BPNK), yaitu
pasukan rakyat sebagai basis kekuatan perang gerilya di Sumbar.
Akibat agresi Belanda, semua
kota di Sumbar sempat jatuh. Sebagai Ketua BPNK waktu itu, Hamka turut
bergerilya melawan kolonial; Berjalan kaki masuk-keluar hutan, mendaki dan
menuruni bukit-bukit, dalam upaya mengobarkan semangat rakyat melawan penjajah
Belanda merebut Sumbar.
Hamka juga memperkenalkan
Komisi Tiga Negara (KTN) kepada rakyat sewaktu KTN berkunjung ke Bukit-Tinggi.
Sambutan yang positif dari rakyat terhadap KTN ini adalah berkat peranan Hamka
yang telah menyampaikan orasi memukau menjelaskan maksud dan arti penting KTN
dalam proses kemerdekaan Indonesia.
Ketika kolonial Jepang
mengambil alih pendudukan penjajah Belanda pada 1942, majalah Pedoman
Masyarakat pimpinan Hamka dibredel. Hamka lalu menerbitkan Majalah Semangat
Islam bersama Yunan Nasution dan Yusuf Ahmad. Selain itu ia lebih fokus
memimpin Muhammadiyah wilayah Sumatera bagian Timur.
Setelah Partai Masyumi
dibubarkan penguasa, Hamka tidak lagi terjun ke politik praktis. Ia membidani
penerbitan majalah Panji Masyarakat sebagai kelanjutan Pedoman Masyarakat yang
ia terbitkan saat tinggal di Medan. Melalui media ini, Hamka terus mengkritisi
pemerintahan Soekarno yang mesra dengan komunis.
Kritik juga disampaikannya
dalam berdakwah memimpin jamaah di masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Surat-surat kabar komunis pada masa itu
semisal Harian Rakyat dan Bintang Timur, dan koran-koran nasionalis pendukung
Soekarno, tiap hari menyerang Hamka di halaman pertama (headline) dengan
huruf-huruf kapital. Antara lain mengatakan: ”Neo-Masyumi” muncul di Masjid
Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta.
Panji Masyarakat dibreidel
penguasa, setelah memuat tulisan Mohammad Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita”.
Dalam tulisan itu, Hatta mengkritik keras konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno.
Ia menguraikan secara menyeluruh semua pelanggaran-pelanggaran konstitusional
yang telah dilakukan oleh regim Soekarno. Selanjutnya pada 27 Agustus 1964,
dengan dalih UU Antisubversif, pemerintahan Soekarno memenjarakan Hamka bersama
beberapa pemimpin Masyumi.
Di era Pemerintahan Orde
Baru pimpinan Presiden Soeharto, Hamka turut memprakarsai Musyawarah Antar Umat
Beragama. Forum ini mempertemukan pemerintah dan ulama Islam dengan pemimpin
Kristen untuk meredakan pertikaian-perselisihan yang kerap kali terjadi pada masa
itu. Dari kalangan Islam hadir antara lain Mohammad Natsir, Idham Khalid,
Profesor Rosyidi, dan Hamka. Sementara dari Kristen Katholik antara lain:
Simatupang dan J. Leimena. Pertemuan
gagal menghasilkan kesepakatan, lantaran pihak Kristen tidak mau menandatangani
aturan main dakwah.
Pada 26 Juli 1975, Hamka
terpilih menjadi Ketua Umum MUI. Dalam jabatannya ini, ia menolak keinginan
Presiden Soeharto untuk mengakui golongan kepercayaan dengan mencantumkannya
dalam GBHN. Bagi Hamka, pengakuan itu adalah wujud perbuatan syirik, yang
sangat dikutuk Allah SWT.
Setelah terpilih sebagai
pemimpin MUI kali kedua, Hamka menolak pemaksaan asas tunggal Pancasila. Hamka
akhirnya memilih mundur dari MUI karena tak sudi mencabut fatwa haramnya
Perayaan Natal Bersama.
syaiful falah | Edisi : 125 - 6-20 Muharram 1433 H / 2-16 Desember 2011
Sumber:
http://www.suara-islam.com
0 comments:
Post a Comment