Nasib Islam Liberal Pasca Muktamar Muhammadiyah
Wednesday, December 5, 2012
0
comments
Oleh: Adian Husaini
Islam Liberal terpental dari
Muhammadiyah dalam Muktamar ke-45 di Malang. Apa sikap Din Syamsuddin pasca
Muktamar? Baca Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini ke-108
Kaum Islam Liberal di tubuh
Muhammadiyah menjerit, karena misi mereka gagal. Semula, mereka berharap,
Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang akan menjadi momentum penting untuk
semakin leluasa menjadikan Muhammadiyah sebagai kuda tunggangan penyebaran
ide-ide liberal ke umat Islam Indonesia.
Sukidi Mulyadi, aktivis
Islam Liberal di Muhammadiyah yang juga mahasiswa Teologi di Harvard
University, menulis di majalah TEMPO edisi 17 Juli 2005, bahwa “Terpentalnya
sayap pemikir muslim liberal seperti Munir Mulkhan dan Amin Abdullah dari
formatur 13 juga dapat dibaca sebagai kemenangan anti-liberalisme dalam
muktamar.”
Di akhir tulisannya Sukidi
berharap, sebagai nakhoda baru di Muhammadiyah, Din Syamsuddin tidak akan
melakukan represi terhadap paham liberalisasi Islam, yang dia katakan makin
bersinar terang di bawah kepemimpinan Syafii Ma’arif.
Ia berharap, Din Syamsuddin
akan bersikap bijaksana dalam mengelola sayap liberal dan anti-liberal di tubuh
Muhammadiyah.”Kedua sayap itu justru menandakan terjadinya dinamika pluralisme
internal dalam tubuh Muhammadiyah. Jika Din sukses mengelola pluralisme internal
ini, Muhammadiyah akan menjadi kekuatan luar biasa sebagai “laboratorium
pemikiran” yang mencerahkan umat dan bangsa,” begitu tulis Sukidi, aktivis
penyebar paham Pluralisme Agama di Muhammadiyah.
Harapan kaum liberal untuk
tetap diakui sebagai bagian yang sah dari Muhammadiyah masih tersisa, mengingat
– tidak seperti Muktamar NU – Muktamar Muhammadiyah ke-45 memang tidak secara
formal melarang ajaran liberalisme dikembangkan di Muhammadiyah.
Merasa diri mereka tersudut,
mereka sekarang berjuang untuk mendapatkan pengakuan, bahwa liberalisme adalah
bagian yang sah dari Muhammadiyah. Bahkan, dibuat berbagai tulisan yang
menggambarkan, bahwa pendiri Muhammadiyah adalah juga seorang penganut paham
liberalisme.
Din Syamsuddin sendiri masih
dinilai oleh kaum Liberal belum jelas benar sikapnya, karena dalam berbagai
kesempatan, dia banyak mengkritik paham Islam Liberal. Dalam buku berjudul
“Pemikiran Muhammadiyah: Respons Terhadap Liberalisasi Islam, (Surakarta: UMS,
2005), Din menyatakan, bahwa Muhammadiyah
“tidak sejalan dengan paham ekstrem rasional dikembangkan Islam Liberal, meski
beberapa oknum terutama di kalangan muda atau yang merasa muda ikut-ikut
berkubang di jurang “liberalisme Islam”.
Dalam buku ini disebutkan,
bahwa Din menegaskan sikap Muhammadiyah yang ingin mengambil “posisi tengahan”
yang secara teologis merujuk kepada al-Aqidah al-Wasithiyah. Secara tegas, Din
mengkritik penjiplakan membabi buta terhadap paham rasionalisme dan
liberalisme, termasuk di kalangan Muhammadiyah.
Din menyatakan: “Begitu juga
ketika datang tawaran pemikiran rasionalisme dan liberalisme, tidak sedikit
generasi muda Muhammadiyah, dan mereka yang masih merasa muda, terseret dalam
arus liberalisme dan rasionalisme tersebut.
Muncul di sementara generasi
Muhammadiyah yang mengatakan bahwa Al-Quran itu adalah produk budaya lokal
(Arab), sehingga seluruh isinya adalah zhanni.
Dakwah Islam, menurut
mereka, bukanlah mengajak manusia untuk ber-Islam, baik kepada yang sudah
muslim apalagi yang belum muslim, dakwah tidak mengurusi keyakinan dan iman
seseorang, tetapi hanya menata kehidupan yang harmonis diantara berbagai
keyakinan dan mengatasi berbagai problem kemanusiaan seperti kemiskinan,
kebodohan, dan sebagainya.
Persoalan iman adalah
masalah individu sehingga isu kristenisasi seharusnya tidak menjadi masalah
lagi bagi Muhammadiyah. Bahkan, ada yang lebih ekstrem dengan mengatakan, bahwa
Muhammadiyah hendak diubah paradigmanya, dari gerakan amal saleh dan gerakan
ibadah menjadi gerakan praksis sosial yang netral dari kepentingan keagamaan.”
Itulah sebagian kritik yang
pernah disampaikan oleh Din Syamsuddin terhadap ide-ide liberalisme yang
berkembang di tubuh Muhammadiyah.
Namun, Din juga
menginginkan, bahwa jalan yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah pemikiran
adalah dialog pemikiran. Dia pernah mengutarakan keinginannya agar semua aliran
pemikiran itu ditampung dan didialogkan dengan serius dalam suasana
kekeluargaan.
Ketika menemui Nurcholish
Madjid, yang masih bergelut dengan penyakit hatinya, Rabu (13/7/2005), Din
mengatakan, pada kurun waktu terakhir ini, di Muhammadiyah telah berkembang
dialektika pemikiran dalam spektrum yang sejalan dengan ide-ide pembaruan seperti
modernitas, pluralisme, dan inklusivisme yang memadukan cita-cita liberal dan
progresif dengan keimanan yang saleh.
Disamping itu, di kalangan
warga Muhammadiyah, juga masih kuat berkembang bentuk-bentuk pemikiran yang
‘puritan’. Untuk menghindari kesenjangan dialektika dua arus pemikiran ini,
maka Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan berusaha mendekatkan kedua pihak melalui
dialog yang intensif dan kontinyu. (Republika, 14/7/2005)
Dialog pemikiran adalah
bentuk yang sangat ideal. Dan hal itu harus dikaji dengan serius dan mendalam.
Tidak bisa tidak, Muhammadiyah harus menghidupkan tradisi ilmu dan melengkapi
dirinya dengan literatur-literatur Islam dan Barat – termasuk studi Kristen,
Yahudi, dan agama-agama lain – yang memadai. Dalam hal ini, memang Muhammadiyah
masih jauh ketinggalan.
Untuk menilai ide mana yang
baik dan ide mana yang buruk, dibutuhkan ilmu yang cukup. Hingga kini,
misalnya, sebagai satu institusi keagamaan, Muhammadiyah belum melakukan kajian
yang serius dan sikap resmi tentang paham Pluralisme Agama, metode interpretasi
hermeneutika untuk tafsir al-Quran, dan isu-isu penting lainnya dalam
liberalisasi Islam.
Adalah sangat berbahaya jika
dialog dilakukan tanpa persiapan yang matang dalam keilmuan dan informasi yang
memadai tentang pemikiran tersebut. Yang salah bisa dilihat sebagai kebenaran,
sedangkan yang benar bisa dikatakan sebagai kesalahan, hanya karena kurang
pandai dalam ‘mengemas’ dan ‘menjual’.
Sudah lazim diketahui,
liberalisme dijajakan kepada masyarakat dengan kemasan yang menarik dan
teknik-teknik pemasaran yang piawai, serta biaya promosi yang ‘gila-gilaan’.
Untuk mengiklankan paham liberal di media massa saja, disiapkan dana milyaran
rupiah.
Meskipun sifatnya racun dan
sebenarnya patologis (seperti iklan bir bintang dan makanan anak-anak jenis
tertentu), karena ditampilkan dengan iklan yang menarik, maka akan banyak
peminatnya.
Disamping itu, sejak awal
perlu disepakati, bahwa ada hal-hal yang tidak mungkin dikompromikan, karena
secara substansial dan fundamental memang berbeda.
Antara iman dengan syirik
tidak mungkin bertemu. Antara paham Tauhid Islam dengan paham Pluralisme Agama
tidak mungkin bertemu, sebab paham Pluralisme Agama jelas-jelas mengajarkan
syirik. Mustahil dua paham ini bisa disatukan dalam satu tubuh, sebab satu sama
lain, saling menegasikan.
Yang satu mengakui
eksklusivitas Ke-Esaan Allah dan kebenaran risalah Nabi Muhammad saw sebagai
satu-satunya jalan kebenaran dan keselamatan, sedangkan yang lain mengakui
kebenaran dan validitas semua agama. Syirik adalah kezaliman yang besar
(zhulmun azhim), sedangkan salah satu dosa yang cepat mendatangkan azab Allah
adalah dosa kezaliman.
Karena itu aneh sekali jika
kaum Islam Liberal menginginkan paham syirik semacam ini hidup berdampingan
secara damai dengan paham Tauhid di tubuh Muhammadiyah. Seharusnya penyebar
paham ini bertobat dan menyadari kekeliruannya, mengaji Islam lagi dengan baik,
dan berpikir dengan lebih jernih dan ikhlas. Tidak perlu terlalu silau dengan
kemajuan Barat.
Kita sungguh kasihan pada
penyebar dan penganut paham ini. Sebagai contoh, bisa dilihat kasus Sukidi.
Sebagai propagandis pluralisme agama, Sukidi sendiri tidakmalu-malu lagi
mengakui kebenaran semua agama, dengan membangga-banggakan pendapat Mahatma
Gandhi, yang menyatakan: “Semua agama pada hakikatnya benar, tapi karena
kebenaran tunggal itu diterima sekian banyak manusia dari beragam ras, agama,
dan identitas, maka kebenaran yang tertangkap dari yang tunggal itu
terfragmentasi, terpecah-pecah. Padahal, inti kebenaran itu satu jua.”
Karena itu, kata Sukidi,
semua agama pada hakikatnya benar, hanya cara mendekati kebenaran itu saja yang
menggunakan sekian banyak jalan. Ia menilai, Islam yang dulu dipelajarinya
penuh dengan indoktrinasi, klaim-klaim kebenaran dan keselamatan, serta
meletakkan Islam seolah-olah sebagai satu-satunya jalan menuju Tuhan.
Karena itu, ia mengaku
menemukan Islam di Harvard, yakni Islam yang diletakkan dalam koteks studi
agama-agama lain memberi inspirasi bahwa Islam hanyalah salah satu jalan di
antara sekian banyak jalan menuju hadirat Tuhan.
Namun, ia sendiri menyatakan
belum menemukan kebenaran. Katanya, “Terus terang saya masih dalam tahap
pencarian akan arti kebenaran itu sendiri, sehingga masih dalam proses yang
tiada berujung.”
Kita sungguh kasihan dengan
anak muda pintar seperti Sukidi ini. Jauh-jauh belajar Islam ke Harvard
hasilnya justru mengakui kebenaran semua agama, dan ragu akan kebenaran
eksklusif agama Islam. Kasihan sekali, sungguh kasihan.
Namun, di sini kita juga mengakui,
betapa hebatnya program cuci otak yang dilakukan terhadap para cendekiawan
Muslim, sehingga entah sadar atau tidak, dia sudah menyebarkan virus pluralisme
agama itu ke tubuh Muhammadiyah dan umat
Islam secara keseluruhan.
Paham kebenaran semua agama
ini sudah berabad-abad digagas. Berbagai tamsil dibuat. Ada hikayat tentang
gajah dan orang buta, ada hikayat tentang Nathan yang bijaksana. Dan
sebagainya.
Di kalangan Yahudi, pada
abad ke-18 muncul nama Moses Mendelssohn (1729-1786) yang menolak klaim
kebenaran eksklusif satu agama. Belakangan, populer buku Charles Kimball “When
Religion Becomes Evil” yang menyebut, agama akan
menjadi jahat jika memiliki
doktrin “absulute truth claims”.
Jelas, bagi Muhammadiyah dan umat Islam pada
umumnya, paham Pluralisme Agama semacam itu adalah racun, sebab akan melemahkan
semangat Muhammadiyah dalam melakukan dakwah, dan terlena dari serangan gerakan
Kristenisasi atau evangelisasi yang semakin aktif disebarkan oleh kalangan
Kristen kepada kaum Muslim Indonesia.
Islam tegak diatas landasan
syahadat: pengakuan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah. Jadi, Islam bukan hanya percaya kepada Allah, tetapi juga
mengakui kebenaran kerasulan Muhammad. Inilah yang ditolak keras oleh kaum Yahudi
dan Nasrani sepanjang sejarah.
Kita setuju dengan rencana
Din Syamsuddin untuk melakukan dialog pemikiran. Tetapi, dialog itu perlu jelas pedoman, arah, batasan, dan
landasannya.
Anak-anak muda Muhammadiyah
yang terpukau kepada paham liberalisme perlu diajak dialog dan dijelaskan
dengan cara-cara yang baik dan ilmiah. Sebab, banyak yang terpesona dengan “hal
baru” tanpa mendalami hakekat dan dampaknya, karena miskinnya tradisi ilmu.
Kita berharap, Din
Syamsuddin dapat mendudukkan masalah liberalisme ini dengan bijaksana. Janjinya
untuk menegaskan jati diri Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tetap
menjadi gerakan amar ma’ruf nahi munkar, mudah-mudahan bisa direalisasikan.
Kemungkaran terbesar adalah
kemungkaran yang menghancurkan Tauhid Islam, seperti paham Pluralisme Agama ini
– sebuah paham yang melegitimasi dan mendukung kekufuran dan kemusyrikan.
Padahal, Allah SWT sudah
menegaskan (yang artinya): “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan
orang-orang musyrik (akan masuk) neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.”
(QS 98:6).
“Sesungguhnya Allah tidak
akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah,
maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS 4:48).
“Dan mereka berkata: “Tuhan
Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah
mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah
karena ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka
menuduh Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS 19:88-91).
Jadi, dalam konsepsi Islam,
sekedar menyatakan bahwa Allah mempunyai anak sudah disebut sebagai kemungkaran
besar dan Allah sangat murka dengan hal itu.
Dengan Pluralisme Agama,
semua kemungkaran ini dilegitimasi. Pluralisme Agama jelas membongkar Islam
dari konsep dasarnya. Tidak ada lagi konsep mukmin, kafir, syirik, sorga,
neraka, dan sebagainya. Karena itu, mustahil paham Pluralisme Agama bisa hidup berdampingan
secara damai dengan Tauhid Islam.
Sebab keduanya bersifat
saling menegasikan. Di mana pun juga, apakah di Muhammadiyah, di NU, MUI, DDII,
atau yang lain. Wallahu a’lam. (Jakarta,
15 Juli 2005).
Catatan Akhir Pekan (CAP)
Adian Husaini ini hasil kerjasama Radio Dakta FM dan www. Hidayatullah.com
sumber: hidayatullah.com
0 comments:
Post a Comment