Redenominasi : Ketika Mata Uang Di-reset Angkanya…
Tuesday, December 25, 2012
0
comments
Oleh : Muhaimin Iqbal
Isu redenominasi hari-hari
ini mencuat kembali setelah redam dua tahun lebih ketika ramai dibicarakan di
bulan Agustus 2010. Ketika isu ini ramai diberitakan di media saat itu, saya
sudah menulis dua artikel yaitu tanggal 04/08/2010 dan 05/08/2010. Dua tulisan
tersebut masih relevan untuk isu saat ini, hanya saya ingin melengkapinya
dengan sudut pandang lain - bahwa ada lho ‘uang’ lain yang tidak perlu di-reset
angkanya dari waktu ke waktu.
Mata uang kertas itu
berjalan seperti trip-meter yang ada di kendaraan Anda untuk mengukur jarak
tempuh perjalanan yang telah Anda lalui. Dari waktu ke waktu Anda perlu
me-reset trip-meter tersebut ketika Anda sampai tujuan Anda, atau trip-meter
tersebut secara otomatis me-reset dirinya sendiri ketika jatah digit angka yang
ada sudah mentok.
Redenominasi adalah me-reset
ulang angka di ‘tripmeter’ uang kertas kita ketika ekonomi dalam kondisi
relatif normal seperti sekarang ini. Lain dengan sanering seperti yang terjadi
di negeri ini tahun 1965/1966, yaitu
ketika ‘tripmeter’ tersebut mentok di angka maksimal oleh inflasi yang
sangat tinggi – sehingga mau nggak mau
harus di-reset ke angka awal, kalau tidak dilakukan saat itu Rupiah tidak akan
bernilai apa-apa dan tidak dipercayai masyarakat.
Meskipun redenominasi dan sanering
berbeda, keduanya memiliki sebab yang sama yaitu inflasi. Redenominsai timbul
karena inflasi yang gradual, sedangkan sanering terpaksa dilakukan karena
inflasi yang sangat tinggi. Uang kertas
bisa turun drastis nilainya dalam waktu cepat sehingga perlu sanering,
atau secara perlahan tetapi pasti terus menurun daya belinya sedikit demi
sedikit – lama kelamaan angka di uang kita menjadi terlalu besar, saat itulah
redenominasi perlu di lakukan.
Bila tahun 1970 Anda bisa
membeli kambing dengan harga Rp 2,000,- ; kini (2012) Anda harus membayar
kambing yang sama dengan Rp 2,000,000,-
maka memang ada yang salah dengan angka uang kita. Wajar kalau pemerintah
waktunya menghilangkan tiga angka nol dari uang Rupiah kita.
Bila hal itu dilakukan
sekarang, maka daya beli Rupiah kita akan kembali mirip dengan Rupiah tahun
1970 yaitu Rp 2,000,- untuk satu ekor kambing dan bukan lagi Rp 2,000,000,-.
Bila redenominasi itu dilakukan sekarang, maka jarak tempuh Rupiah kita yang
tercatat di ‘trip-meter’ adalah 42 tahun.
Dari sini kita tahu bahwa
usia uang modern seperti Rupiah ternyata tidak sampai setengah abad. Dan bukan
hanya Rupiah, Dollar-pun yang ada sekarang usianya baru 41 tahun – yaitu
dihitung dari Agustus 1971 ketika Dollar dilepaskan kaitannya dengan emas. Saya
juga tidak yakin apakah Dollar yang ada sekarang akan bisa melampaui ulang
tahun emasnya pada tahun 2021, lha wong sekarang saja sudah mulai dihancurkan
melalui serangkaian Quantitative Easing.
Bahwa tidak ada pemerintah
di dunia modern yang bisa mempertahankan
daya beli mata uangnya dalam jangka panjang, ini sudah diprediksi oleh pemenang
hadiah Nobel ekonomi tahun 1974 yaitu Friedrich August Von Hayek. Intinya dia
menyatakan bahwa tidak ada penguasa di dunia yang bisa menunjukkan disiplin yang
diperlukan dalam pengeluaran uang kertas. Menurutnya pula, uang yang baik yang
terus bisa dipercaya oleh masyarakat justru bukan uang pemerintah tetapi uang
swasta.
Sejalan dengan pendapat Von
Hayek ini adalah pendapat ‘dewa’-nya ekonom futurolog barat John Naisbitt yang menyatakan dalam bukunya Mind Set !
(2008) : “Monopoli terakhir yang akan
ditinggalkan umat manusia adalah monopoli uang nasional (sekarang uang fiat).
Umat manusia akan meninggalkan uang nasionalnya – uang fiat yang tidak memiliki
nilai intrinsik – dan menggantinya dengan uang private yaitu benda-benda riil
yang memiliki nilai intrinsik”.
Saya sendiri tidak
sepenuhnya sependapat dengan Von Hayek maupun John Naisbitt atas uang swasta
yang lebih unggul dari uang pemerintah. Uang khususnya dalam arti alat tukar
sebaiknya tetap harus penguasa yang menerbitkannya. Hanya saja penguasa ini
harus pandai menjaga amanahnya sehingga seperti yang diingatkan oleh Ibnu
Taimiyah bahwa “hendaklah mereka tidak mencetak fulus (uang kertas kini) yang
melebihi kebutuhan transaksi di negerai kekuasaannya, karena bila mereka
mencetak berlebih maka rakyat yang sudah memegang fulus tersebut yang akan
dirugikan (oleh inflasi)”.
Lantas bagaimana kalau
situasi ideal tidak tercapai ?, penguasa yang mencetak uang tidak bisa
mengendalikan jumlah uang yang dicetaknya dan inflasi menggerus daya beli uang
yang ada di masyarakat ?.
Masyarakat dapat berpegang
pada panduan ulama-ulama terdahulu. Salah satunya adalah Imam Ghazali yang
menyatakan bahwa : “Allah Yang Maha Besar telah menciptakan perak (Dirham) dan
emas (Dinar) sebagai hakim dan perantara bagi seluruh komoditi sehingga harta
kekayaan manusia bisa dinilai dengannya…perak dan emas adalah seperti cermin
yang dirinya sendiri tidak memiliki warna, tetapi dia bisa menampilkan semua
warna dari benda-benda yang ada”.
Jadi ketika redenominasi
harus dilakukan oleh pemerintah, agar kita tidak ter-disorientasi terhadap
nilai uang yang baru – yang kita butuhkan adalah hakim yang adil atau cermin
itu. Untuk barang yang berilai besar sudah kita perkenalkan Dinar lima tahun
terakhir – masyarakat bisa tahu bahwa harga kambing tetap dalam kisaran satu
Dinar, berapapun nilai Rupiahnya !.
Untuk barang-barang yang
bernilai kecil seperti sayur mayur, makan siang, beras 1 kg dlsb, sudah sejak
beberapa hari lalu saya memperkenalkan universal unit of account yang saya
sebut point – yaitu pecahan 1/10,000 Dinar atau 1 ¢¢ Dinar (dibaca satu sen sen
Dinar). Nilai 1 point atau 1 ¢¢ ini dapat diikuti setiap saat di
www.indobarter.com.
Dengan hakim yang adil atau
cermin tersebut di atas, insyaAllah kita akan siap menyongsong redenominasi –
kapan saja penguasa negeri ini melakukannya !.
Sumber:
geraidinar.com
_________________________
Pemilik
Gerai Dinar, Pengusaha dan Praktisi ekonomi Islam
Alumni
SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta
0 comments:
Post a Comment