Ketika Soeharto Masuk Sekolah Muhammadiyah

Posted by KahfiMedia Tuesday, December 25, 2012 0 comments

Masa masa sulit almarhum Soeharto adalah saat menyelesaikan studi. Keterbatasan biaya dari orangtua membuatnya harus berpindah dari Yogyakarta ke Wonogiri, ikut pamannya yang mempunyai penghidupan lebih baik.

Namun, ikut bersama dengan paman dan bibi tidak semuanya mulus. Ia harus kembali ke orangtuanya di Kemusuk, Yogyakarta dan menyelesaikan sekolah. Masuklah Soeharto ke sekolah Muhammadiyah yang tidak memerlukan sepatu. Hal ini terungkap dalam buku otobiografi Soeharto, Ucapan, Pikiran dan Tindakan  Saya. Berikut nulikannya:

Satu hal lagi yang saya kenang mengenai hidup di rumah  Kiai Darjatmo ialah sewaktu saya diizinkan membantunya dalam membuat catatan (resep) obat-obatan tradisional yang diberikan sewaktu mengobati orang sakit.

Nama obat-obatan yang ganjil, ramuan yang aneh, tanam-tanaman yang langka dan yang banyak terdapat di tengah kampung serta peringatan-peringatan saya tuliskan untuk orang yang sakit, yang kadang-kadang saya kerjakan hingga larut malam. Maka saya mengenal pelbagai macam daun-daunan, akar-akaran, pohon-pohonan, rerumputan. Memang Pak Darjatmo itu suka memberikan petunjuk apa yang mesti dimakan atau dioleskan dan apa larangan-larangannya.

Bermacam orang datang minta tolong kepada Pak Darjatmo, dari mulai yang sakit kulit, sakit panas sampai kepada yang mempersoalkan perkawinan dan perceraian, yang mendambakan anak, kesulitan dalam berdagang, urusan dengan penguasa, yang merasa kemasukan setan, yang tertimpa oleh pemerasan orang ketiga, dan macam-macam lagi. Dan saya tahu dari dekat bahwa memang banyak diantara mereka yang meminta tolong itu, kemudian sembuh setelah mengikuti petunjuk Pak Darjatmo.

Pada suatu waktu berakhir juga hubungan saya dengan Pak Darjatmo. Saya kembali ke kampung asal, ke Kemusuk. Dan dari sana saya pergi setiap hari ke Yogya, naik sepeda, untuk menyelesaikan pelajaran di sekolah Muhammadiyah. Saya terpaksa meninggalkan Wonogiri dan langgar Kiai Darjatmo gara-gara peraturan sekolah yang mengharuskan murid pakai celana pendek dan bersepatu, sedang orang tua saya tak mampu membelikan.

Di Yogya, walaupun di kota, saya bersekolah pakai sarung atau kain, dan tidak bersepatu. Namun, saya tidak merasa kikuk, karena saya tidak seorang diri yang demikian. Masih ada sejumlah murid lagi yang datang seperti saya.

Pada masa itu saya mendengar tentang protes menentang penjajahan Belanda. Saya dengar adanya rapat-rapat umum di kota Yogya, yang digerakkan oleh tokoh-tokoh politik. Sampai di sekolahpun para pelajar ikut-ikutan membicarakan apa-apa yang telah didengar di tempat-tempat rapat umum itu. Tetapi semua ini belum memberi kesan yang kuat kepada saya. Saya memusatkan pikiran pada pelajaran dan menamatkan sekolah pada tahun 1939.

Setelah menamatkan sekolah schakel Muhammadiyah sebenarnya saya masih ingin melanjutkannya. Tetapi baik ayah maupun keluarga lainnya tidak ada yang sanggup membelanjai saya sekolah. Keadaan ekonomi- keluarga kami rendah sekali. Saya masih ingat saja akan apa yang dikatakan ayah saya waktu itu. "Nak," katanya,"Tak lebih dari ini yang dapat kulakukan untuk melanjutkan sekolahmu. Dari sekarang kamu sebaiknya mencari pekerjaan saja. Dan kalau sudah dapat, Insya Allah, kamu dapat melanjutkan pelajaranmu dengan uangmu sendiri." Sulit mendapatkan pekerjaan tanpa bantuan orang yang berkedudukan atau yang berpengaruh, tanpa uluran tangan orang kaya ataupun pengusaha besar waktu itu.

Saya berusaha kian kemasi mencoba mendapatkan sumber nafkah. Tetapi tidak juga berhasil.  Akhirnya saya kembali ke Wuryantoro, tempat banyak kenalan yang saya harapkan akan bisa membuka jalan.

Benar juga. Setelah sekian banyak jalan yang saya tempuh, akhirnya saya diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volks-bank). Walaupun saya tidak begitu senang dengan pekerjaan ini, saya anggap lebih baik melakukannya daripada `nganggur di tengah suasana yang muram.

Saya mengikuti klerek bank berkeliling kampung dengan sepeda, dengan mengenakan pakaian Jawa lengkap, dengan kain blangkon dan baju beskap. Di kantor-kantor lurah kami menampung permintaan para petani, pedagang kecil dan pemilik warung yang menginginkan pinjaman.

Sebenarnya saya sudah mengetahui cukup banyak mengenai kebutuhan orang-orang kecil itu sewaktu saya bersama Pak Prawirowihardjo tempo hari dan sewaktu membantu Pak Hardjowijono dan Pak Darjatmo. Tetapi saya tidak banyak bicara. Saya merasa pada tempatnya kalau lebih banyak mendengarkan lagi.

Boleh dibilang setiap malam saya mengajak Kamin, seorang teman waktu itu, untuk belajar pembukuan. Mantri Bank Desa itu mengakui, bahwa otak saya encer. Tidak sampai dua bulan saya sudah menguasai seluruh pembukuan. Waktu itu saya memakai sepeda hitam. Kamin memakai sepeda hijau. Saya selalu disuruh Kamin mendayung sepeda di muka. "Ayo Mas Harto yang di depan, saya di belakang", kata Kamin.

Sekali waktu saya meminjam kain pada bibi karena kain saya sendiri sudah usang, tak patut lagi dipakai mendampingi klerek Bank Desa. Pada suatu hari saya bernasib jelek. Waktu turun dari sepeda yang sudah reot, kain yang saya pakai tersangkut pada per sadel yang menonjol keluar dan sobek. Saya dicela oleh klerek yang saya dampingi. Padahal saya tidak bersalah, cuma jalan hidup saya saja yang demikian. Tetapi bibi juga memarahi saya. Saya dibentaknya, dengan mengatakan, kain itu adalah satu-satunya kain yang baik. Tak ada lagi yang lainnya yang bisa diberikan, sekalipun mungkin saja sebenarnya ia masih mau menolong saya.

Dan kejadian ini merupakan perpisahan dengan tempat saya bekerja. Tidak begitu menyesal, sebab memang saya tidak mendapat kesenangan bekerja di sana. Cuma waktu berjabatan tangan dengan Kasmin, saya mesti menundukkan muka. Terharu meninggalkannya.

Saya menganggur lagi, tetapi saya tidak putus asa. Saya cari kesempatan yang lebih baik. Saya pikir saya akan mencoba mengadu nasib di Solo. Saya benar-benar mendambakan pekerjaan. Apa saja, asal halal.

Ada seorang teman yang menganjurkan untuk melamar ke Angkatan Laut Belanda. Tetapi lowongan yang ada di sana ialah sebagai juru masak. Saya pikir, biarlah itu nanti saya jadikan sebagai cadangan yang paling akhir.

Di Solo pun ternyata tidak ada pekerjaan. Maka saya kembali ke Wuryantoro. Waktu itu saya isi dengan pekerjaan gotong-royong, membangun sebuah langgar, menggali parit, dan membereskan lumbung. Tetapi setelah itu, hari depan saya gelap lagi.

Sumber: http://fdanila.multiply.com

0 comments:

Post a Comment

Terbanyak Dibaca

Sosok

Risalah

Catatan

Kabar

Halaman Dilihat