Hubungan Soeharto dan Muhammadiyah
Tuesday, December 25, 2012
0
comments
Oleh : Jeffrie
Geovanie
Kurang lebih
dua pekan sebelum Soeharto wafat, puluhan siswa Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah
di Surabaya mendoakan kesembuhan Soeharto yang saat itu masih terbaring sakit
di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta. Anak-anak yang masih polos itu
tak peduli dengan kecaman banyak pihak terhadap Soeharto. Bahkan pimpinan
sekolah itu pun, karena khawatir ikut dikecam, tak mengakui kalau anak didiknya
berdoa khusus buat Soeharto. Cuma, diakui bahwa doa untuk Soeharto dilakukan
sebagai bentuk kilas-balik perjalanan Soeharto.
Riwayat
hidup Soeharto memang tak bisa dilepaskan dari Muhammadiyah. Meskipun tidak
memiliki nomor baku Muhammadiyah (NBM) sebagai tanda keanggotaan secara resmi,
Soeharto bisa dikatakan sebagai calon kader Muhammadiyah karena menurut Keputusan
Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh, lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah
ditetapkan sebagai salah satu sumber calon kader, dan Soeharto, dalam sejarah
hidupnya, pernah mengenyam pendidikan SD Muhammadiyah.
Lantaran
pernah dididik di sekolah Muhammadiyah dalam banyak kesempatan Soeharto
memberikan harapan dan doa untuk kebesaran Muhammadiyah. Hal itu antara lain
dinyatakan pada saat membuka Muktamar Muhammadiyah ke-41 (Desember 1985) di
Surakarta. "Sebagai orang yang pernah mengecap pendidikan
Muhammadiyah,
saya ikut mengharapkan agar Muhammadiyah tumbuh makin besar, makin kuat, dan
makin banyak amalnya dalam bidang-bidang yang amat luas."
Pernyataan
yang kurang lebih sama diungkapkan kembali pada saat membuka Muktamar ke-42
(1990) di Yogyakarta, dan secara lebih tegas dinyatakan pada saat membuka
Muktamar ke- 43 (1995) di Banda Aceh. Saat itu, sang jenderal mengatakan bahwa
dirinya merupakan bibit Muhammadiyah yang ditanamkan untuk
Bangsa
Indonesia.
Pernyataan
Soeharto secara umum tidak hanya membanggakan warga Muhammadiyah, tapi juga
memudahkan gerak langkah organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912
itu. Setelah Soeharto mengaku sebagai bibit yang ditanamkan Muhammadiyah,
banyak di antara tokoh birokrat yang mengaku simpatisan atau anggota
Muhammadiyah.
Padahal,
sebelum itu, banyak anggota Muhammadiyah yang menjadi pegawai negeri menyembunyikan
jati dirinya. Saking bangganya terhadap Soeharto, salah satu tokoh
Muhammadiyah, Lukman Harun, dalam suatu diskusi Pra Muktamar Aceh
menyatakan,
"bila perlu Muhammadiyah mengusulkan Pak Harto sebagai presiden
seumur
hidup...."
Kebijakan
Politik
Meskipun
demikian, bukan berarti Soeharto selalu berhubungan baik dengan Muhammadiyah.
Ada sejumlah kebijakan politik yang membuat pimpinan Muhammadiyah bersitegang
dengan Muhammadiyah, meskipun ketegangan itu lebih banyak latennya ketimbang
mencuat di permukaan.
Ketegangan
terjadi antara lain pada awal tahun 80-an, saat Soeharto mewajibkan seluruh
kekuatan politik berasas tunggal Pancasila.
Untuk
mengantisipasi ketegangan yang meluas, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menghadap
Presiden Soeharto. Dari pertemuan itu, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud
menjelaskan bahwa asas bagi ormas tidak harus Pancasila, karena ormas
bukan
kekuatan politik. Yang harus berasaskan Pancasila adalah parpol dan Golkar. PP
Muhammadiyah sempat lega, namun kekhawatiran kembali muncul karena pada
faktanya ormas-ormas pun dipaksa untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Karena
paksaan itu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terbelah antara yang menerima
dengan yang tidak. Yang tidak menerima asas tunggal lantas membentuk HMI MPO
(Majelis Penyelamat Organisasi) yang masih eksis hingga saat ini meskipun asas
tunggal sudah tak lagi diwajibkan. Sedangkan Pelajar Islam Indonesia (PII)
terpaksa menjadi organisasi "bawah tanah" karena tidak menerima asas
tunggal. Muhammadiyah sendiri baru menerima asas tunggal setelah melalui perdebatan
yang cukup dinamis dalam Muktamar ke-41 (1985) di Surakarta. KH A.R
Fachruddin,
Ketua PP Muhammadiyah saat itu, mengibaratkan asas tunggal seperti
"helm"
bagi pengendara motor. Artinya, asas tunggal hanya dijadikan pelindung dari
kemungkinan kecelakaan dalam perjalanan. Kebetulan, pada saat itu pemerintah
baru saja mewajibkan pemakaian helm bagi semua pengendara motor.
Ketegangan
hubungan Soeharto-Muhammadiyah kembali terjadi pada awal tahun 90-an, saat
Amien Rais (waktu masih menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah) melontarkan
gagasan perlunya suksesi kepemimpinan nasional. Amien menginginkan gagasan ini
menjadi sikap politik Muhammadiyah, yang diputuskan dalam Tanwir (semacam
Rakernas) di Surabaya 1993. Tapi, urung karena diredam oleh tokoh-tokoh senior
terutama Lukman Harun dan Ketua PP Muhammadiyah saat itu, Prof KH Ahmad Azhar
Basyir, MA. Tapi, ketegangan belum berakhir karena meskipun tak menjadi
keputusan institusional toh secara informal Amien Rais terus
menggulirkan
gagasan perlunya pergantian kepemimpinan nasional.
Puncak
ketegangan terjadi saat memasuki 1997, terutama setelah Amien Rais mengritik
kebijakan Soeharto di Busang, Kalimantan Timur dan Freeport di Irian Jaya.
Ketegangan kali ini bahkan menular ke tubuh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim
Se-Indonesia) lantaran pada saat itu, Amien juga termasuk pejabat teras ICMI,
yakni sebagai Ketua Dewan Pakar yang secara struktural tidak lebih rendah dari
kursi Ketua Umum yang diduduki BJ Habibie.
Berbeda
dengan ICMI yang kemudian melengserkan Amien Rais dari kursi Ketua Dewan Pakar
di Muhammadiyah, kedudukan Amien semakin kokoh karena sebagian besar elite
Muhammadiyah berdiri di belakang Amien yang nota bene Ketua PP Muhammadiyah.
Dinamika
hubungan Soeharto-Muhammadiyah kembali bergeser pada awal 2008, saat mantan
presiden ini dirawat di RSPP. Amien Rais, yang masih dianggap sebagai tokoh
Muhammadiyah, mengajak rakyat Indonesia untuk memaafkan kesalahan
Soeharto.
Meskipun
ajakan ini dikecam para aktivis, terutama para korban kekerasan rezim Orde
Baru, toh tidak sedikit dari tokoh utama Muhammadiyah yang mengamini ajakan
Amien, tentu tidak diumumkan secara terbuka. Bisa jadi, doa puluhan siswa SD
Muhammadiyah yang disinggung di awal tulisan ini merupakan puncak gunung es
yang menggambarkan hubungan batin antara Soeharto dan Muhammadiyah.
Wallahualam!
____________________________
Penulis
adalah Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Wakil Ketua Lembaga
Hikmah dan
Kebijakan Publik PP Muhammadiyah
Sumber: suarapembaruan.com
0 comments:
Post a Comment