Sisi Kemuhammadiyahan Soekarno
Monday, December 24, 2012
0
comments
Oleh: Nazhori Author
Editor : Faozan Amar
Penerbit : Al-Wasath
Publishing House, Jakarta
Tebal : XX + 90 halaman
Terbit : Juni, 2009
Salah satu pemimpin dan
pemikir kenegaraan terbesar di Asia di antaranya adalah Soekarno. Dengan gegap
gempita menentang penjajahan dan penindasan manusia. Demikian sikap
kepemimpinan Soekarno ketika memimpin Bangsa Indonesia sebagai Presiden RI
pertama. Soekarno tidak hanya dikenal sebagai negarawan. Sebutan, orator,
ideolog, intelektual, politisi juga disematkan kepada jati dirinya.
Inilah tokoh fenomenal yang
dimiliki bangsa Indonesia. Di samping itu, gagasan Nasakom yang
diproklamasikannya menuai kontroversi di jamannya. Di sisi lain, Soekarno
dipuji, dihormati bahkan dicaci orang yang tidak setuju dengan gagasannya.
Soekarno tetap Soekarno bukan yang lain. Ada sisi lain yang perlu diketahui
masyarakat Indonesia yaitu pemikirannya tentang Islam dan Muhammadiyah.
Sudah banyak karya yang
ditulis tentang Soekarno. Namun, tulisan tentang Soekarno dan Muhammadiyah yang
diulas buku ini dari berbagai sumber layak untuk disimak, dibaca dan
didiskusikan. Buku kecil setebal 90 halaman ini memberikan informasi kepada
pembaca yaitu bagaimana kiprah Soekarno dalam tubuh organsasi Islam yang
bernama Muhammadiyah.
Dalam buku ini dipaparkan
bahwa refleksi pemikiran sosial-keagamaan Soekarno tumbuh dari pengembaraan
spiritualnya baik dalam pengasingan, penjara, dialog dan hasil korespondensinya
dengan sejumlah tokoh Islam sekaliber KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah,
H.O.S. Tjokroaminoto dari Serikat Islam (SI), M. Natsir dari Masyumi, A. Hassan
dari Persatuan Islam (Persis), KH. Mas Mansur dan tokoh lainnya. Dari sinilah
butir-butir pemikiran Islamnya muncul secara rasional, transformatif, progresif
dan elastis.
Memahami Islam
Islam Sontoloyo adalah
istilah kontroversial yang pernah dilontarkan oleh Soekarno. Menurutnya, dalam
buku tersebut dijelaskan: “Secara harfiah makna sontoloyo (jawa) bisa bermakna
sebagai kekonyolan, ketidakbecusan, ataupun kebodohan. Penggunaan kata
sontoloyo dalam tulisannya “Islam Sontoloyo” oleh Soekarno lebih untuk merujuk
kepada muslim (kelompok) yang memandekkan perkembangan pemikiran Islam melalui
penafsiran tunggal untuk kepentingan diri atau kelompoknya semata”(h. 18-19).
Melalui gagasan Islam
Sontoloyo, Soekarno sesungguhnya bukan ingin mengecilkan makna Islam itu
sendiri. Di balik itu, Soekarno pada dasarnya ingin mengajak umat Islam untuk
memahami Islam dari kacamata lain sesuai dengan tuntutan jaman. Atau dengan
bahasa yang lain seperti dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (1963) Soekarno
berharap agar kaum muslim dan muslimat dapat memudakan pengertian Islam agar
lebih bijaksana. Demikian ungkapannya meminjam istilah pemikir Islam terkemuka
Sayid Amir Ali.
Oleh sebab itu, dilengkapi
dengan kepandaian bahasa dan kepiawaiannya memahami Islam dengan semangat
pembaruan, Soekarno dengan lantang mengkritisi paham keagamaan yang fatalistik.
Secara teologis, dalam persoalan fikih misalnya, Soekarno melihat fikih
bukanlah sekadar syarat dan rukun dalam beribadah semata melainkan dalam
konteksnya dengan peradaban Islam fikih memiliki dimensi spiritual dan dimensi
duniawi. Maka pemahamannya harus bersandarkan pada kedua dimensi tersebut. Ini
haruslah dilakukan secara proporsional sesuai dengan watak asli dari fikih itu
sendiri.
Contoh lainnya zakat,
seperti diuraikan dalam buku ini bahwa sesungguhnya zakat dalam Islam adalah
semangat dan bentuk pembebasan manusia atas sebuah keadaan yang penuh
kekurangan dan kemiskinan struktural dengan didasarkan pada solidaritas dan
kolektivitas umat. Bukan hanya sebuah ritual formal belaka atas kewajiban
muzakki untuk mengeluarkan zakat pada nisab tertentu, demikian menurut
Soekarno.
Sisi Kemuhammadiyahan
Berpijak dari wawasan
Soekarno tentang Islam, buku mungil ini juga menguraikan sisi kehidupan
spiritual Soekarno yang jatuh hati pada Muhammadiyah yang berilian dengan ide
pembaruan. Ketertarikannya dengan Muhammadiyah sejalan dengan ikhtiar Soekarno
untuk membuka tabir kemajuan peradaban di balik kata Islam dari tokoh-tokoh
pencerahan Islam seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, sampai
proklamator kebangkitan Islam Ali Pasha, Arabi Pasha, Ahmad Bey Agayeff, dan
Mohammad Ali, yang menghiasi wawasan keislaman dan kemuhammadiyahannya.
Menariknya, ketika Soekarno
dipindahkan oleh Belanda dari Flores ke Bengkulen, maka Soekarno resmi masuk
menjadi anggota Muhammadiyah pada tahun 1938. Bersama Saudara Hasan Din di
Bengkulen Soekarno berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah Muhammadiyah.
Yang kemudian menjadi mertua beliau karena ayah dari Fatmawati, seorang
perempuan yang dinikahi Soekarno.
Dalam bagian ketiga buku
ini, dikisahkan bahwa Presiden Soekarno hadir dalam penutupan Muktamar
Muhammadiyah Setengah Abad pada 25 November 1962 di Jakarta. Dalam penutupan
Muktamar pada waktu itu, Soekarno mengucapkan: “Sekali Muhammadiyah, tetap
Muhammadiyah!” Dan yang membuat suasana menakjubkan adalah saat Presiden
Soekarno mengatakan: “Sejak saya menjadi Presiden Repulik Indonesia, saya belum
pernah ditagih kontribusi. Jadi saya minta agar supaya sejak sekarang
ditagihlah kontribusi saya ini”.
Secara garis besar, dalam
buku ini dapat dilihat bagaimana seorang Bung Karno meletakan Islam sebagai
alat melintasi zaman. Bung Karno tidak hanya mengupas kulit Islam yang paling
luar, kepiawaian dalam menafsirkan makna Islam, serta keberanian
mendekonstruksi kata Islam sesuai konteks zaman menentukan gagasan
ke-Islamannya yang progresif. Selamat membaca.
Sumber: http://muhammadiyahstudies.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment