Soekarno, Megawati, dan Islam (3)
Monday, December 24, 2012
0
comments
[tulisan
ini merupakan bagian, dari tulisan bersambung di eramuslim.com]
Sebab itulah, Soekarno
merumuskan doktrin perjuangan politiknya sebagai Marhaenisme, yakni Marxisme
yang telah di-Indonesiakan, suatu prinsip perjuangan yang mencita-citakan
sosialisme Indonesia. Tujuan dari prinsip ini adalah mensejahterakan seluruh
rakyat Indonesia yang berkeadilan dan mandiri, lepas dari campur tangan kaum
imperialisme. Marhaenisme jelas bertentangan dengan salah satu pokok Marxisme
yaitu pertentangan kelas. Dalam Marhaenisme, semua kekuatan dan komponen bangsa
harus bersatu untuk mewujudkan cita-cita sosialisme Indonesia. Inilah cikal
bakal dari Nasakom.
Pokok ajaran Soekarnoisme
yang kedua adalah Revolusi Indonesia yang memiliki dua tahapan: Pertama,
tahapan revolusi borjuis nasional dan kemudian tahapan revolusi sosialisme
Indonesia.
Dalam tahapan pertama, kaum
Marhaen bersama kaum proletar harus bisa bersatu-padu dengan kaum borjuis
nasional—sisa-sisa feodalis lama—untuk berjuang bersama-sama menghancurkan
kekuasaan kolonialisme dan imperialisme asing
yang telah menjajah Indonesia demi memerdekakan negara dan bangsa
Indonesia dahulu. Sebab itulah, tahap pertama revolusi nasional mencapai
kemerdekaan disebut sebagai “Jembatan emas menuju kemerdekaan.”
Tahap kedua, setelah
merdeka, maka barulah tahap kedua dari revolusi Indonesia dilakukan yakni
memerdekakan seluruh anak bangsa dari kemiskinan dan kebodohan. Tahap ini
dikenal dengan istilah “Nation and Character Building”.
Pokok-pokok Soekarnoisme
bisa diringkas menjadi beberapa point, yakni:
Persatuan dan kesatuan
seluruh elemen bangsa,
Prinsip berdikari dalam
mengelola kekayaan alam bangsa yang berarti tidak tergantung pada kekuatan
asing (Kekuatan kolonialisme dan imperialisme Barat),
Pembangunan karakter bangsa
guna menghapus perasaan minder (minderwaardigheid-complex) yang telah
ditanamkan ratusan tahun oleh penjajah asing sehingga bangsa Indonesia memiliki
kebanggaan sebagai orang Indonesia dan setara sebagai warga dunia.
Hubungan dengan Islam
Soekarno merupakan
satu-satunya presiden sebuah negara di dunia yang menyatakan jika dirinya
meninggal maka jenazahnya ditutupi dengan bendera Muhammadiyah, bukan bendera
negara. Seperti yang dikatakannya dalam “Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia” (Cindy Adams).
Walau demikian, hubungan
antara Soekarno dengan tokoh-tokoh Islam mengalami putus-sambung yang cukup
sering intensitasnya.
Soekarno muda mendapat
gemblengan prinsip-prinsip politik dari seorang tokoh Syarikat Islam bernama H.
O. S. Tjokroaminoto. Buku Tjokroaminoto yang ditulis pada tahun 1924 berjudul
“Islam dan Sosialisme” (Diterbitkan oleh PN. Bulan Bintang, 1951), merupakan
salah satu inspirator bagi Soekarno dan titik awal bagi pandangan Islam
Sosialistiknya. Menurut Soekarno, Islam merupakan sebuah ideologi perjuangan
yang sama sekali tidak akan pernah akur dengan kapitalisme, sebab kapitalisme
hanya bisa hidup jika berjalan di atas rel penindasan manusia terhadap sesama
manusia lainnya dalam bentuk “The Surplus Value” dalam sistem kerjanya atau
bisa disamakan dengan Riba. Kapitalisme hanya bisa hidup jika kaum Pemodal
(Kaum Pengusaha) menghisap kaum pekerja (Buruh) dan juga kaum Marhaen lainnya
(Wong Cilik).
Pada 29 Desember 1929,
Soekarno bersama sejumlah tokoh PNI (Partai Nasional Indonesia) ditangkap dan
dijebloskan ke penjara Banceuy, Bandung. Oleh Belanda, mereka dianggap teroris
yang tengah merencanakan makar untuk menggulingkan pemerintahan Belanda. Dalam
pengadilannya, Agustus 1930, Soekarno menyampaikan pembelaannya (Pledoi) yang
amat terkenal berjudul “Indonesia Menggugat”.
Pokok dari pledoi Soekarno
adalah membongkar habis-habisan Anggaran Pembelian dan Belanja pemerintahan
kolonial Belanda yang dikecamnya sangat pro investor asing dan kian memiskinkan
rakyat. Soekarno dibebaskan pada 31 Desember 1931.
Pada Agustus 1933, Soekarno
ditangkap untuk kedua kalinya, kemudian dibuang ke Ende, Flores. Di sinilah
periode kehidupan Soekarno yang sarat persinggungannya dengan Islam. Di Ende,
Soekarno melahap banyak buku-buku keislaman dan banyak berdiskusi dengan
tokoh-tokoh setempat maupun surat-menyurat dengan sejumlah tokoh Islam nasional
seperti HM. Natsir. Pemikiran Soekarno tambah terasah dengan Islam dan kian
meneguhkan pandangan Soekarno jika Islam sangat anti terhadap kapitalisme
karena sifat penindasan dan penghisapannya.
Dari Ende, Soekarno
diasingkan ke Bengkulu, 1938. Di Bengkulu ini Soekarno kembali berjumpa dengan
tokoh-tokoh Islam setempat dan berdiskusi dengan mereka. Salah satu tokoh
Muhammadiyah di Bengkulu yang sering diajak berdiskusi mengenai Islam adalah H.
Hasan, ayah dari Siti Fatimah, yang kemudian anaknya diperisteri Soekarno dan
berganti nama menjadi Fatmawati. Saat itu, Inggit Ganarsih yang telah
diperisteri Soekarno ketika di Bandung menolak untuk dimadu dan akhirnya cerai.
Pada tahun 1942 Soekarno
kembali ke Pulau Jawa dan disambut rakyat sebagai pemimpin pergerakan nasional
Indonesia. Di zaman pendudukan Jepang, Soekarno dengan dukungan dari para
pemimpin Islam seperti H. Agus Salim dan tokoh nasionalis Jawa seperti Ki
Hadjar Dewantara, memilih bersimbiosis-mutualisme dengan Jepang. Pilihan ini
pilihan sangat sulit. Namun kondisi riil politik internasional, dimana Fasisme
Jepang (dibantu oleh Fasisme Italia dan Nazi Jerman) tengah berperang melawan
Imperialisme Sekutu (termasuk Belanda) dalam Perang Dunia II, menyebabkan
Soekarno mengambil langkah ini. Sikap kooperatif Soekarno terhadap Jepang
menimbulkan antipati banyak kalangan. Sutan Syahrir yang lebih dekat dengan
Amerika Serikat menuding Bung Karno sebagai Kolaborator Jepang.(bersambung/rd)
Sumber:
eramuslim.com
0 comments:
Post a Comment