Negeri Tanpa Hutang…
Thursday, March 7, 2013
0
comments
Oleh : Muhaimin Iqbal
Pada tahun 2020 – tujuh tahun dari sekarang - menurut
situsnya Permanent Culture Now, kekuatan-kekuatan ekonomi besar yang
mendominasi dunia saat ini akan dibebani oleh hutang yang melebihi GDP
masing-masing. Karena setiap negara akan berjuang habis-habisan untuk
menyelamatkan negerinya sendiri, resiko perang dagang, perang dingin sampai
perang yang sesungguhnya akan sulit kita bayangkan untuk saat itu. Tetapi ada
cara untuk menghentikan trend buruk ini, salah satunya adalah dengan berhenti
berhutang !
Super Power Debt Trend
Ilustrasi disamping menggambarkan kondisi hutang untuk
beberapa negara dan trend-nya untuk Amerika – yang ekonominya sampai saat ini
masih mendominasi dunia. Karena dominasi ini, negeri-negeri lain seolah
menjadikkanya sebagai lifestyle model – sehingga berhutang menjadi lifestyle
baik di masyarakat, korporasi maupun negara.
Debt Impact on Economy
Tetapi apa salahnya berhutang, bila bisa mengembalikannya
?. Yang berbahaya memang bukan hutangnya sendiri, tetapi di era kapitalisme itu
hutang selalu disertai riba – disinilah masalahnya. Hutang yang disertai riba
inilah yang membuat ekonomi biaya tinggi yang berujung pada hilangnya
kemakmuran di seluruh dunia. Ilustrasinya dapat dilihat pada gambar di samping.
Perusahaan yang berhutang dan harus membayar bunga,
mereka akan memasukkan biaya bunga ini ini pada biaya produksi baik itu barang
ataupun jasa. Begitu seterusnya ketika produk tersebut akan dipasarkan oleh
jaringan distribusi yang dibiayai dengan hutang berbunga – maka jaringan
distribusi-pun menambahkan beban biaya bunganya pada produk yang akan dijual
tersebut.
Karena setiap mata rantai dari produsen, distributor,
tansportasi, retailer dst. semua dibiayai dengan hutang yang berbunga dan
masing-masing menambahkan biaya bunga pada produk yang akan dijual – maka harga
produk menjadi jauh lebih mahal dari yang seharusnya.
Ditengah mahalnya produk yang dibebani mata rantai bunga
tersebut, daya beli konsumen juga menurun karena beban hutang consumers yang
juga melibatkan bunga – mulai dari credit card, cicilan rumah, cicilan mobil
dlsb.
Walhasil harga produk yang mahal tidak terjangkau oleh
konsumen yang uangnya sudah banyak berkurang untuk membayar bunga. Produk
menjadi banyak yang tidak laku, dan perlu dicarikan pasarnya.
Karena semua negara membutuhkan pasar yang
seluas-luasnya, maka perebutan pasar inilah yang menimbulkan persaingan keras
yang tidak sehat, negara-negara membanting ongkos produksi dengan menurunkan
daya beli uangnya yang kemudian menimbulkan inflasi tinggi.
Karena semua negara melakukan hal yang nyaris sama, maka
timbulah apa yang disebut tragedy of the common. Hal baik yang dilakukan satu
pihak, menjadi musibah bila semua melakukannya. Dampaknya deficit perdagangan
akan melemahkan negara-negara yang dahulunya kuat, hutang terus melambung
seperti pada ilustrasi tersebut diatas, kekacauan, perang dingin dan perang
yang sesungguhnya menjadi sulit terelakkan.
Ketika negara terlibat perang, maka sebagian besar sumber
daya yang ada akan dikerahkan untuk membiayai perang – walhasil rakyat yang
sudah sengsara dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan akan menjadi semakin
sengsara ketika negerinya terlibat perang.
Pertanyaannya adalah bagaimana menghentikan scenario yang
buruk ini ?, salah satunya adalah menghentikan budaya hutang baik untuk skala
negara, korporasi maupun individu. Tetapi bagaimana misalnya secara konkrit
mengatasi kebutuhan modal para korporasi yang memproduksi barang dan jasa yang
dibutuhkan oleh masyarakat ?.
PLS-Based Economy and the Wealth Creation...
Perhatikan ilustrasi disamping, hutang-hutang yang
berbasis riba tersebut di atas dapat digantikan dengan kerjasama bagi hasil dan
berbagi resiko atau disebut Profit & Loss Sharing (PLS) – dalam Islam
disebut Syirkah dalam berbagai jenisnya.
Produsen yang dibiayai dengan akad PLS, tidak perlu
menambahkan ongkos atau beban bunga pada harga produknya. Bila semua jalur
distribusi, transportasi sampai para retailer –nya tidak ada yang membebankan
biaya bunga (karena semua didanai dengan kontrak PLS), maka secara keseluruhan
harga produk sampai konsumen sama sekali tidak dibebani dengan biaya bunga.
Harga produk adalah harga apa adanya ditambah keuntungan yang wajar.
Bila harga produk yang wajar ini dipertemukan dengan
konsumen yang daya beli dari penghasilannya juga tidak digerus oleh berbagai
beban bunga – maka akan ketemulah produk-produk yang terjangkau oleh masyarakat
konsumennya.
Lho para pemodal (shahibul mal) kan perlu dialokasikan
bagi hasil juga ? Betul, mereka mendapatkan bagi hasil yang wajar yang
jumlahnya tidak dijanjikan di depan. Jumlahnya akan tergantung pada profit
margin dari putaran barang atau jasa (turn-over), bukan pada tingginya harga
jual. Meskipun margin perdagangan sedikit – tetapi dari perputaran barang
dagangan yang cepat – akan lebih baik hasil akhirnya bagi pemodal maupun
pengusahanya sendiri.
Karena produk habis terkonsumsi oleh pasar dalam negeri
dan hanya sedikit saja yang perlu dipertukarkan antar negara, maka persaingan
di pasar akan lebih sehat karena hanya produk-produk yang tidak dihasilkan oleh
suatu negara saja yang perlu diimpor. Harga-harga dalam jangka panjang akan
lebih stabil karena tidak ada mark-up beban bunga, dan negara-negara tidak
perlu terus menerus menurunkan daya beli uangnya hanya untuk bersaing antar
negara (currency war).
Negara yang hanya mengimpor produk yang bener-bener tidak
bisa dihasilkan oleh negerinya akan cenderung surplus neraca perdagangannya.
Negara yang surplus akan bisa terus mengurangi beban hutangnya sampai akhirnya
habis dan bisa menjadi negara tanpa hutang. Negara tanpa hutang akan nyaman
dengan ekonominya sendiri, tidak perlu ngrusuhi negara lain. Dunia akan damai
dan penduduknya akan merasakan kemakmuran.
Maka sungguh benar berita nubuwah dari Rasulullah SAW
dalam hadits : " Tidak akan terjadi hari kiamat, sebelum harta kekayaan
telah tertumpuk dan melimpah ruah, hingga seorang laki-laki pergi ke mana-mana
sambil membawa harta zakatnya tetapi dia idak mendapatkan seorangpun yang
bersedia menerima zakatnya itu. Dan sehingga tanah Arab menjadi subur makmur
kembali dengan padang-padang rumput dan sungai-sungai " (HR. Muslim).
Bahwa umat ini akan memimpin kemakmuran dunia tersirat
dari hadits tersebut diatas – laki-laki yang pergi kemana-mana sambil membawa
harta zakatnya – siapakah yang sadar zakat ini selain seorang Muslim ?.
Tetapi sebelum kemakmuran itu bener-bener datang, kita
harus memulai hal-hal yang akan menjadi penyebab datangnya kemakmuran itu –
salah satunya adalah ya berhenti
berhutang !.
Rakyat seperti kita berhenti berhutang kecuali untuk hal
yang bener-benar perlu, perusahaan berhenti berhutang dan menggantinya dengan
pembiayaan PLS bila mereka perlu modal, dan negara-pun berhenti berhutang dalam
membiayai segala kebutuhannya – insyaAllah masih banyak jalan bisa ditempuh
asal ada kemauan politis yang kuat. InsyaAllah !.
Sumber: geraidinar.com
___________________________
Muhaimin
Iqbal adalah praktisi dan pakar ekonomi Islam
Alumni
SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta
0 comments:
Post a Comment