Pokok Pikiran dan Sikap PP Muhammadiyah Terhadap RUU Ormas
Thursday, March 28, 2013
0
comments
Dilihat dari sisi politik pembangunan hukum (legal
policy) kemauan untuk mengatur keberadaan masyarakat melalui sebuah undang
undang tidak boleh lepas dari jaminan
konstitusi, UUD 1945 yang menyebutkan bahwa kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian hak asasi manusia (HAM).
Upaya negara (pemerintah) untuk mengatur melalui UU No. 8
Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan di masa lalu (Orba) telah
mereduksi dan mengecilkan keberadaan dan raung gerak masyarakat sebagai sebuah
kesatuan yang sebenarnya mempunyai otonomi tersendiri.
Otonomi masyarakat merupakan tatanan yang aslidan eksis.
Kalaupun berusaha dipinggirkan keberadaannya akan tetap ada. Oleh sebab
itukebijakan pembangunan hukum tidak boleh mengurangi apalagi
menghilangkantatanan otonomi masyarakat yang seharusnya eksistensinya
ditempatkan berdampingan dengan negara.
Pada waktu-waktu tertentu, yaitu ketikakekuasaan negara melemah, maka kekuatan
otonomiakan munculmenjadi penjaga dan mendayagunakan perannya untuk menjalankan
tugas kemaslahatan umum, yang dibutuhkan adalah model pembangunan hukum (UU)
yang bersifat responsif.
Pembangunan hukum responsif diharapkan merupakan politik hukum yang mampu mendukung
tujuan berbangsa dan bernegara dalam
transformasi global, baik dalam skala nasional, regional maupun internasional.
Politik pembangunan hukum nasional yang demikian diharapkan akan dapat
menghasilkan produk hukum yang sesuai
dengan cita kehidupan bangsa yang merdeka, berdaulat di bidang politik, ekonomi,
sosial dan budaya dalam kancah global.
A. PANDANGAN
UMUM
1. PP
Muhammadiyah memandang bahwa alam fikiran yang sejatinya harus melatar
belakangi munculnya RUU Ormas adalah keinginan untuk menciptakan iklim
sosial-politik yang kondusif yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi. UU Ormas
haru memiliki spirit untuk mendorong terbentuknya masyarakat sipil yang
mandiri, harmonis, produktif dan partisipatif dalam menjunjung kedaulatan
bangsa. Pemerintah harus memiliki paradigms baru dalam menyikapi fenomena
menguatnya masyarakat sipil.m Paradigma baru yang dimaksud adalah cara pandang
yang mengedepankan: (1) peran fasilitatif-mediatif ketimbang
regulatif-administratif semata-mata; serta (2) upaya-upaya untuk mendorong
harmonisasi dan demokratisasi di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.
2. Pembangunan
hukum dalam masyarakat negara berkembang memerlukan arah dan masukan yang
memberi nilai tambah yang sangat diperlukan untuk mengatur kehidupan berbangsa
dan bernegara yang tertib, teratur, dan berkeadilan, di samping melindungi
hak-hak asasi manusia, Untuk mencapai sasaran tersebut diperlukan arah dan
langkah-langkah strategis untuk
meningkatkan akselerasi reformasi pembangunan hukum. Secara sosiologis keberadaan
hukum tidak lepas dari konteks
masyarakat yang akan diaturnya. Boleh dikatakan bahwa keberadaan hukum suatu
bangsa senantiasa merupakan bagian dari proses sosial yang lebih besar. Dalam hubungannya antara hukum dan
masyarakat, pembuatan dan keberadaan hukum tidak lepas dari cerminan masyarakat
yang akan diaturnya.
3. Terdapat
beberapa pokok pikiran yang dapat diapresiasi dari kehadiran RUU ini, antara
lain: 1) RUU Ormas ini mendorong agar organisasi-organisasi masyarakat sipil
dapat menjaga dan memperkuat akuntabilitasnya, baik akuntabilitas visi,
program, finansial mapun akuntabilitas sumberdaya manusia; 2) RUU Ormas ini
setidaknya bertujuan untuk memperbaiki UU No 8 Tahun 1985 yang dipandang
terlalu sarat politik dan membelenggu iklim demokrasi di Indonesia serta
resisten terhadap independensi kekuatan sipil; dan 3) RUU Ormas ini juga
mengisyaratkan bahwa pemerintah berkeinginan untuk membangun dan memberdayakan
organisasi-organisasi masyarakat sipil; 4) pemerintah sudah lebih bersikap
demokratis dengan mengalihkan otoritas yang dimilikinya untuk membubarkan sebuah
ormas kepada pengadilan. Meskipun demikian, RUU Ormas ini mengandung
pasal-pasal yang masih kontroversial, sangat layak diperdebatkan, dan
multi-interpretasi, di mata masyrakat Indonesia yang plural dan dinamis,
sehingga perlu untuk dikaji lebih jauh. RUU ini terkesan semakin memberikan
ruang yang sempit untuk mengekspresikan prinsip kebebasan berkumpul dan
berserikat. Hal itu ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut: 1) semakin
ketatnya persyaratan-persyaratan administratif yang harus penuhi oleh masyarakat
dalam mendirikan dan mengelola organisasi-organisasi sosial; 2) kontrol negara
yang terlalu kuat terhadap organsiasi masyarakat sipil, dan dalam konteks
tertentu dianggap terlalu jauh memasuki ‘dapur’ ormas; 3) beberapa pasal dari
RUU tumpang tindih dengan UU yang lain, seperti UU Yayasan No. 28 Yahun 2004.
4. Pimpinan
Pusat Muhammadiyah juga melihat bahwa munculnya RUU Ormas ini dilatar-belakangi
oleh paradigma keamanan, seperti fenomena kekerasan yang dilakukan oleh
organisasi masyarakat maupun tindakan-tindakan yang diklasifikasikan sebagai
aksi terorisme. Meski demikian, beberapa pasal yang ditujukan untuk
menjustifikasi langkah keamanan oleh pemerintah, boleh jadi diterapkan kepada
organisasi masyarakat sipil lainnya yang bersikap oposisi terhadap penguasa
yang ada.
B. TANGGAPAN
TERHADAP DRAFT RUU TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN
1. Batasan
Ormas, yang dimaksud ormas (Pasal 1) hanya mengatur ormas yang didirikan
sukarela oleh warga negara Indonesia, dan ormas asing bersifat nirlaba yang
didirikan oleh warga negara asing dan melakukan kegiatan di Indonesia. Tampak
ada kesan pembuat RUU menempatkan keberadaan ormas yang begitu banyak di
Indonesia sebagai bagian dari dinamika sedang tumbuhnya masyarakat sipil (civil
society) sebagai ancaman yang harus diatur sedemikain rupa, sehingga nantinya
tidak menyulitkan peran pemerintah untuk mengontrolnya. Padahala selama ini
peran masyarakat begitu berarti dalam melakukan memfasilitasi, memberdayakan
masyarakat dan sebagai mediator dalam mengatasi beragai sengketa masyarakat.
Pemahaman ormas juga terkesan digenalisir, antara ormas yang sedang tumbuh dan
ormas yang sudah eksis, seperti ormas keagamaan Muhammadiyah dan NU, yang kegiatannya dan perannya begitu
besar dan telah ada sebelum negara ini diproklamasikan.
2. Asas (Pasal
2), substansi dan semangatnya akan mengarah pada pengaturan pada asas yang
bersifat tunggal, yakni Pancasila. Kalaupun dibolehkan adanya ciri tertentu
(Pasal 3) asal tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Padahal selama
ormas Islam khususnya tidak permasalahan dimana letak pertentanggannya, karena
itu mestinya pembuat UU berpikir jernih, yakni tidak perlu mengungkap persoalan
lama yang mempertentangkan pancasila dan agama, karena masalahnya sudah jelas
dan final. Kalau redaksi pasal 2 dikhawatirkan menjadi alat yang ampuh
(represif) untuk menekan ormas yang selama ini dianggap menyimpang dari idologi
pancasila. Di sinilah UU yang dihasilkan akan bersifat
positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat yang ampuh bagi pelaksanaan
ideologi Negara.
3. Wilayah Ormas
(Pasal 8 dan Pasal 23, 24, 25, 26 dan 27), hanya meliputi nasional, provinsi,
dan kabupaten/kota akan menyulitkan posisi Muhammadiyah dan NU yang selama ini
sudah melebarkan sayapnya sampai ke luar negeri.
4. Sumbangan
Ormas (Pasal 61ayat 3) dilarang menerima sumbangan berupa uang, barang, jasa
dari pihak manapun tanpa mencantumkan identitas yang jelas. Konsep ini akan
menyulitkan Ormas keagamaan, seperti Muhammadiyah yang selama ini menerima
sumbangan atau wakaf dari pihak pihak yang tidak mau disebutkan namanya dengan
alasan menjaga keikhlasan dan khwatir ria berupa sumbangan dari hamba Allah
yang tidak mau disebutkan namanya.
5. Larangan
menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang
bertentangan dengan Pancasila (Pasal 61ayat 4) bisa bersifat multi tafsir.
Sekalipun yang dimaksud adalah paham komunisme, maxisme, leninisme, kapitalisme
dan leberalisme tetapi oleh aparat penegak hukum bisa ditafsirkan lebih luas, termasuk pada era
global siapa yang bisa membendung pengaruh paham liberalisme dan kapitalisme.
6. Dari struktur
kelembagaan, yakni lembaga pemerintah yang paling bertanggung jawab, yakni Menteri,
Gubernur, Bupati/Walikota dalam pendaftaran, pengawasandan tidakan yang
bersifat administratif juga bermasalah. UU tersebut diagendakan dalam rangka
menciptakan keamanan, ketertibandan stabilitas masyarakat dalam pola yang
bersifat tunggal,tanpa memikirkan dampaknya yang lebih luas berupa tidak
berkembangnya masyarakat sipil sebagai kekuatan kelas menengah yang amat
dibutuhkan sebagai pilar penyangga bangsa yang besar.
C. SIKAP TERHADAP RUU ORMAS
Setelah mencermati Rancangan Undang-undang Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas) yang sekarang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Muhammadiyah menyatakan:
1. Draft RUU
Ormas yang dibahas DPR, potensial membatasi kebebasan berserikat, memperlemah
kreativitas dan perilaku represif dari aparatur pemerintahyang bertentangan
dengan UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
2. Muhammadiyah
mendesak kepada DPR untuk menghentikan seluruh proses pembuatan Undang-undang
Ormas. Pembahasan UU Ormas potensial menimbulkan kegaduhan dan instabilitas
politi, terutama menjelang pemilu 2014 yang memerlukan suasana yang kondusif,
stabil dan dinamis.
3. Dalam rangka
menjaga ketertiban dan kerukunan masyarakat, pemerintah hendaknya berusaha
melaksanakan Undang-undang Yayasan,sebagaimana mestinyadan memprioritaskan
penyelesaian RUU Perkumpulan. Pembahasan RUU Ormas tidak urgent dan tidak
diperlukan oleh masyarakat.
Jakarta, 28 Maret 2013
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Ketua Umum, Sekretaris Umum,
ttd
ttd
Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin, MA. Dr. H. Agung Danarto, M.Ag
Sumber: muhammadiyah.or.id
Sumber: muhammadiyah.or.id
0 comments:
Post a Comment