Syndrome 20: Memilih Berangan Menikah atau Sabar
Monday, March 25, 2013
0
comments
Berapa usia kalian? Sudah 20 tahunkah? Pastinya pernah
berpikir kata menikah? Ya. yaa. Itulah syndrome 20.
Belakangan ini saya membaca status dan obrolan
teman-teman yang heboh tentang pernikahan. Apalagi kalau ada temannya yang
menikah. Pastinya sepekan bahkan sebulan akan dibahas teruusss, zzzttt
-___-”
Unik memang di negara kita ini heboh sekali pembahasan
tentang menikah, semenjak usia sudah menyandangkan angka dua. Dimulai dengan
maraknya grup jomblo di sosial media. Dan juga yah… budaya di Indonesia yang
suka manas-manasin menikah.
Dampaknya gimana? Tentunya ada positif dan negatifnya.
Efek positifnya tentu saja dengan menikah akan menutup
kemungkinan kasus kejahatan di luar nikah. Melestarikan keturunan khususnya
untuk generasi usia produktif . Kemudian yah… lebih irit. Kan katanya bisa
makan sepiring berdua. *eh
Manfaatnya banyak memang. Bisa disebutkan lagi. Silakan…
Oia yang dimaksud resiko negatif ini bukan setelah
menikah. Tapi dampak dari “grup komunitas jomblo itu” yang tema utamanya adalah
membicarakan menikah dan hal yang kadang malah membuat PHP. Hmm… Apa saja
resiko negatifnya :
1. Bisa mengganggu konsentrasi (khususnya mahasiswa
tingkat akhir. *eh)
Maksudnya jikalau tipe orang yang ”kepikiran” hal-hal
yang ngebahas tentang menikah bisa dibahas seharian tuh. Hadeuh. Coba sampai
saat rapat pun jadi membicarakan kapan nikah? Hmm. Padahal lagi membahas bakti
sosial. Kok malah bakti pada suami bagaimana nanti? Masya Allah.
Padahal ada hal lain yang harus dipikirkan dan dilakukan
saat ini oleh kita seperti mengabdi pada masyarakat, dakwah, dsb. Kan lebih
baik :) *sambil menunggu
2. Ingat dalam Islam itu ada tingkatan orang yang
diwajibkan menikah. Dengan berbagai kondisinya. Coba kalau yang dipanas-panasin
buat nikah yang belum mapan. Sebaiknya diingatkan untuk berpuasa. Sekarang ini
esensi berpuasa mulai pudar diingatkan namun lebih kepada pemaksaan halus untuk
menikah. Hmm…
3. Larut pada obrolan menikah. Bisa jadi ghibah tanpa
disadari dan jadi obrolan yang berujung sia-sia jika berlebihan. Ingat Allah
akan menetapkan takdirnya. Jikalau takdir Allah yang belum kunjung datang diomongin
terus. Bisa jadi itu ujian kesabaran. Nah loh? Ga sadar diuji. Masya Allah.
Secara umum di negara maju. Seperti singapura, jepang.
Dsb. menikah itu baru di usia hampir kepala tiga. Dan menikah adalah pertanyaan
sensitif dan tabu untuk dibicarakan. Yah, memang ada negatifnya. Lihat di
jepang sampai kekurangan sumber daya pemuda.
Tapi hal positif yang diperoleh yakni mereka mau
berkarya, bekerja keras serta bersungguh-sungguh untuk bangsa dalam masa
penantian untuk menikah. Subhanallah. Dan ga heboh ngomongin nikah terus. :)
Ini hanya sebuah intermezzo di antara fenomena syndrome
20. Menikah itu memang dianjurkan tapi bukan untuk dihebohkan katanya saja.
Tapi memahami esensi menikah dalam masa penantian adalah “tetap bermanfaat” dan
menjauhi angan-angan untuk menikah. Kamu kapan?
“Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu
belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (Al Kahfi: 68)
jadi memilih berangan dan selalu mempertanyakan menikah
kapan atau memilih satu kata yakni “sabar”? Sabar dan kuatkan kesabaran kawan!
Wallahu’alam bishawab.
Sumber:
dakwatuna.com
0 comments:
Post a Comment