Mengkristenkan Jawa Melalui Penetrasi Kebudayaan, Waspada!
Wednesday, April 3, 2013
0
comments
Kenapa Jawa menjadi sasaran empuk misionaris? Itu karena
adanya upaya penetrasi Katolik dalam kebudayaan Jawa. Strategi inkulturasi
menjadi pola misionaris mengkristenkan Jawa.
Dan itu mendapat restu dari Paus Yohannes Paulus II.
Hal itu mengemuka dalam Musyarawarah Kerja dan Tasyakuran
10 Tahun INSISTS “Sinergi Membangun Peradaban Islam”, beberapa waktu lalu di
Solo. Arif Wibowo, Peneliti Pusat Studi Perdaban Islam (PSPI) – network INSISTS
di Solo – yang membawakan makalah berjudul “Misionaris Kebudayaan: Penetrasi
Katolik dalam Kebudayaan Jawa”, mengupas tuntas Kristenisasi di Jawa dan
strateginya.
Seperti diketahui, missionarisme adalah denyut nadi utama
bagi perkembangan agama Kristen maupun Katolik. Sebuah dokumen The Decree on
The Missionary Activity of The Church” (Ad Gantes) menjelaskan, “dalam
menjalankan misinya, gereja – apapun namanya – memiliki tugas suci untuk
menyebarkan Injil kepada seluruh bangsa dan seluruh manusia. Sebab itu, semua
manusia harus dijadikan Kristen dan menerima Yesus sebagai juru
selamatnya.” Dokumen ini disetujui
dengan voting para peserta konsili dengan suara 2.394 setuju dan 5 menolak, dan
diumumkan oleh Paus Paulus VI pada 18 November 1965.
Bahkan Paus John Paul II dalam sebuah imbauannya, mengeluarkan
fatwa gerejani agar kaum Katolik mengambil tindakan untuk menyebarkan agama
Katolik. Ia mengemukakan pentingnya untuk melakukan Kristenisasi terhadap semua
bagian dunia. Tanpa menyebut nama negara secara langsung, Paus menyinggung
negara-negara di Afrika, Timur Tengahm dan Asia dimana para misionaris ditolak
kehadirannya. Kepada mereka, Paus menyerukan “Open the doors to Christ!
(Bukalah pintu untuk Kristus!”
Kristen Jawa
Menurut Arif Wibowo, ada beberapa faktor pemilihan budaya
Jawa dijadikan sebagai objek evangelisasi atau pewartaan Injil dalam gereja
oleh para misionaris Kristen. Diantaranya, orang-orang Jawa dikenal pada
hal-hal yang berkecenderungan mistis (ngelmu untuk memperoleh kebijaksaan).
Dari sini, ada kecenderungan untuk menerima dan bersikap toleran terhadap
ajaran lain.
Sikap toleran inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh
misionaris Kristen. Sehingga tak heran, jika pergantian agama bagi masyarakat
Jawa bukan merupakan unsur penting selama tidak menghilangkan substansi dasar
kepercayaannya (pemujaan arwah leluhur). Itulah sebabnya, jenis Islam yang
berkembang di Jawa menyediakan lahan subur bagi perkembangan agama Kristen
dibandingkan dengan bentuk-bentuk Islam yang ada di tempat lain.
Dijelaskan Arif, ada dua macam penetrasi Kristen ke dalam
masyarakat Jawa, yakni penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jawa dan pemakaian
kebudayaan Jawa ke dalam praktik kekristenan. Penerjemahan Alkitab ke dalam
bahasa Jawa dilakukan oleh Johannes Emde di tahun 1811. Emde adalah seoerang
Kristen Jerman yang tinggal di Surabaya dan mengawini seorang perempuan Jawa.
Emde kemudian membangun persekutuan di Surabaya yang kemudian dikenal dengan
nama “Keshalehan Surabaya”.
Adapun tokoh yang berperan penting dalam perkembangan
inkulturasi budaya Jawa dengan KeKristenan adalah Coenraad Laurens Coolen. Dari
ayahnya (asal Rusia berimigrasi ke Indonesia sebagai prajurit upahan VOC) yang
mewarisi nilai-nilai agama Kristen), dan ibunya yang mewarisi ruh mistik dan
kebudayaan Jawa, Coolen “mendakwahkan” kepada kelompoknya bahwa untuk menjadi
Kristen, mereka tidak harus meninggalkan watak dan kebudayaan Jawa mereka.
Karena itu Coolen tidak mengizinkan
seorang pun dari mereka untuk dibaptis.
Meniru Walisongo, dalam upaya untuk men-Jawa-kan agama
Kristen, Coolen memanfaatkan wayang untuk menceritakan kisah-kisah Alkitab dan
menyampaikan pesan-pesannya. Akibat pendekatan Coolen kepada kebudayaan Jawa,
beberapa komunitas Kristen yang dipimpin para penginjil Jawa bermunculan.
Diantar orang-orang Kristen Jawa itu adalah Singotruno, Paulus Tosari, Matious
Niep dan yang paling berpengaruh inilah yang belakang berkembang dan disebut
inkulturasi.
Ketika misionaris di Jawa menerapkan strategi
inkulturasi, para misionaris Eropa yang diwakili Frans Lion Cachet (1835-1899)
sangat menentang inkulturasi versi Sadrach. “Misi harus memisahkan diri dari
Sadrach si pembohong, yang meracuni bidang misi kita sepenuhnya dan melahirkan
sebuah agama Kristen Jawa yang sama sekali tidak memberikan tempat bagi
Kristus,” kata Frans.
Berbeda dengan Frans yang tidak suka dengan inkulturasi
misionaris di Jawa, Konsili Vatikan II justru memuji konsep inkulturasi.
Benhard Meyer SJ, mengemukakan: “Konsili Vatikan II secara umum mengungkapkan
penghargaan tinggi untuk karya seni dan para seniman, khususnya kesenian
sakral. Kesenian semua bangsa dan daerah, hendaknya diberi keleluasaan dalam
gereja.”
Pada tahun 1925 musik Jawa pertama kali masuk dalam
gereja-gereja sebagai lagu gereja. Perintis masuknya lagu gereja dengan gamelan
Jawa adalah C. Hardjosoebrata, dengan karangannya antara lain: Atur Roncen, Sri
Yesus Mustikeng Manis dan O Kawula Punika.
Saat ini inkulturasi sudah menjadi denyut nadi utama
dalam agama Katolik di Jawa. Beberapa praktik inkulturasi tersebut antara lain:
Gereja Katolik Ganjuran Yogyakarta dan Gereja Katolik San
Inigo Dirjodipuran Surakarta dalam perayaan ekaristinya menggunakan bahasa
Jawa. Mulai dari do’a, bacaan Injil, homili atau khutbah sampai do’a Syukur
Agung.
Gereja Purbawardayan merupakan salahsatu paroki di
Kevikepan Surakarta yang sering menyelenggarakan perayaan Natal dengan
mengadakan pentas sendratari kelahiran Yesus. Bahkan pada tahun 1998 mengadakan
pementasan Ketoprak.
Sendang Sono sebagai tempat ziarah untuk berdevosi
(kebaktian) kepada Bunda Maria pada mulanya adalah tempat orang-orang Jawa
dahulu bersemedi, untuk membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup mereka.
Dalam Pesta Intan Gereja Katolik Ganjuran tanggal 27 Juni
1999, upacara adat Jawa “Gunungan” dimasukkan dalam upacara gereja, yaitu
setelah prosesi sakramen Maha Kudus. Selanjutnya gunungan yang berisi hasil
bumi dibagikan kepada umat, agar mendapat berkah yang berlimpah dari Sang Maha
Pencipta.
“Dengan demikian, proses inkulturasi bukan sekedar
peristiwa budaya, tapi juga peristiwa keagamaan. Dalam hal ini, kita tidak
dapat memisahkan inkulturasi dengan evangelisasi atau pewartaan injil dalam
gereja.”
Hal ini sesuai dengan amanat Paus Yohannes Paulus II yang
mengatakan: “Kristus dan gereja tidak boleh asing dari suku, bangsa atau
kebudayaan manapun. Pesan Kristus teruntuk semua kepada semua orang…dimana saja
berada. Gereja harus menanamkan akarnya dalam-dalam ke dalam tanah rohani dan
budaya setiap negeri.” [desastian]
Sumber:
voa-islam.com
0 comments:
Post a Comment