Adab dan Etika Membaca Al Qur’an: Bersih dan Bersuci
Friday, July 26, 2013
0
comments
Boleh dikatakan bagian inilah merupakan
tujuan utama penulisan kitab ini, sehingga banyak hal yang mesti dipersoalkan
dengan lebih teliti dan mendetail untuk memperoleh kejelasan yang sempurna.
Dengan segala usaha, saya coba menjelaskan beberapa hal dari tujuannya dengan
menghindari pembahasan yang panjang lebar, supaya tidak menjemukan pembaca.
Sebab orang yang membaca Al Qur’an sudah
sepatutnya menunjukkan keikhlasan – sebagaimana yang telah saya kemukakan – dan
menjaga adab terhadap Al Qur’an. Maka patutlah dia menghadirkan hatinya karena
dia sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membaca Al Qur’an
seperti keadaan orang yang melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika dia tidak
boleh melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala melihatnya.
Masalah ke-1:
Jika hendak membaca Al Qur’an, hendaklah
dia membersihkan mulut dengan siwak atau lainnya. Pendapat yang lebih terpilih
berkenan dengan siwak ialah menggunakan kayu Arak. Boleh juga dengan kayu-kayu
lainnya atau dengan sesuatu yang dapat membersihkan, seperti kain kasar dan
lainnya.
Adapun tentang penggunaan jari yang kasar
ada tiga pendapat di kalangan pengikut Asy Syafi’i.
Pendapat yang lebih masyhur adalah tidak
mendapat sunnahnya.
Kedua adalah dapat menghasilkan
sunnahnya. Dapat sunnahnya jika tidak mendapat lainnya dan tidak boleh jika ada
lainnya.
Dan hendaklah dia menggosok mulai dari
sebelah kanan mulutnya dan berniat menjalankan sunnahnya. Salah seorang ulama
berkata, hendaklah seseorang mengucapkan ketika menggosok gigi: “Allahumma
baarik lii fiihi, ya arhamar rahimin.”
Al Mawardi seorang pengikut Asy Syafi’i
berkata: “Diutamakan menyikat pada bagian luar gigi dan dalamnya.”
Siwak itu digosokkan pada ujung-ujung
giginya dan bagian bawah gerahamnya serta bagian atasnya dengan lembut.
Mereka berkata: “Hendaklah menggosok gigi
menggunakan siwak yang sedang, tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah.
Jika terlalu kering, maka siwaknya dilembutkan dengan air. Tidaklah mengapa
jika menggunakan siwak orang lain dengan izinnya. Manakala kalau mulutnya najis
karena darah atau lainnya, maka tidaklah disukai baginya membaca Al Qur’an
sebelum mencucinya. Apakah itu haram? Ar Rauyani, pengikut Asy Syafi’i,
mengambil kata-kata ayahnya: “Terdapat dua pendapat. Pendapat yang lebih kuat
(sahih) ialah tidak haram.”
Masalah ke-2
Diutamakan bagi orang yang membaca Al
Qur’an dalam keadaan suci. Jika membaca Al Qur’an dalam keadaan berhadats, maka
hukumnya harus (bersuci) berdasar ijma’ul muslimin. Hadits-hadits berkenaan
dengan perkara tersebut sudah dimaklumi.
Imamul Haramain berkata: “Tidaklah boleh
dikatakan dia melakukan sesuatu yang makruh, tetapi meninggal yang lebih
utama.”
Jika tidak menemukan air, dia bertayamum.
Wanita mustahadhah dalam waktu yang dianggap suci mempunyai hukum yang sama
dengan hukum orang yang berhadats.
Sementara orang yang berjunub dan wanita
yang haid, maka haram atas keduanya membaca Al Qur’an, sama saja satu ayat atau
kurang dari satu ayat.
Bagi keduanya diharuskan membaca Al
Qur’an di dalam hati tanpa mengucapkannya dan boleh memandang ke dalam mushaf.
Ijma’ muslim mengharuskan bagi yang berjunub dan yang haid mengucapkan tasbih,
tahlil, tahmid, takbir dan membaca shalawat atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam serta dzikir-dzikir lainnya.
Para sahabat kami berkata, jika orang
yang berjunub dan perempuan yang haid berkata: “Khudzil kitaaba biquwwatin”
sedang tujuannya adalah selain Al Qur’an, maka hukumnya boleh.
Demikian pula hukumnya upaya yang serupa
dengan itu. Keduanya boleh mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilahi
raaji’uun”. Ketika mendapat musibah, jika tidak bermaksud membaca Al Qur’an.
Para sahabat kami dari Khurasan berkata, ketika menaiki kendaraan, keduanya
boleh mengucapkan:
سُبْحَانَ الَّذِي
سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ
“Maha Suci Tuhan yang
menundukkan kendaraan ini bagi kami dan tidaklah kami mampu menguasainya
sebelum ini.” (QS Az Zukhruf :13)
Dan ketika berdoa:
رَبَّنَا آتِنَا
فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Wahai Tuhan Kami,
berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan lindungilah kami
dari siksa neraka.” (QS Al Baqarah: 201)
Hukum tersebut berlaku selagi keduanya
tidak bermaksud membaca Al Qur’an.
Imamul Haramain berkata, apabila orang
yang berjunub mengucapkan: “Bismillah wal hamdulillah, maka jika dia bermaksud
membaca Al Qur’an, dia durhaka. Jika dia bermaksud berdzikir atau tidak
bermaksud membaca apa-apa, dia tidak berdosa. Juga diharuskan bagi keduanya
membaca ayat yang telah dihapus tilawahnya seperti:
“Orang lelaki yang
tua dan perempuan yang tua, jika keduanya berzina, maka rajamlah keduanya
sehingga mati.”
Masalah ke-3
Jika orang yang berjunub atau perempuan
yang haid tidak menemukan air, maka dia bertayamun dan diharuskan baginya membaca
Al Qur’an, sembahyang serta lainnya. Jika dia berhadats, haram atasnya
mengerjakan sembahyang dan tidak haram membaca dan duduk di dalam masji atau
lainnya yang tidak haram atas orang yang berhadats sebagaimana jika dia mandi,
kemudian berhadats. Ini adalah sesuatu yang dipersoalkan dan dianggap aneh.
Maka dikatakan, orang berjunub dilarang
sembahyang dan tidak dilarang membaca Al Qur’an dan duduk di masjid tanpa
keperluan, bagaimana bentuknya? Inilah bentuknya. Kemudian yang lebih dekat
ialah tidak ada bezanya antara tayamum orang yang berjunub di kota tempat
tinggalnya dan ketika musafir.
Seorang ulama pengikut Asy Syafi’i
berkata, bahwa jika dia bertayamum di kota tempat tinggalnya, maka diharuskan
sembahyang dan tidak membaca Al Qur’an sesudahnya atau duduk di masjid.
Pendapat yang lebih shahih ialah boleh melakukan itu sebagaimana telah saya
kemukakan. Sekiranya dia bertayamum, kemudian sembahyang dan membaca Al Qur’an,
kemudian ingin bertayamum karena berhadats atau untuk mengerjakan sembahyang
fardhu lainnya maka tidak haram atasnya membaca Al Qur’an menurut madzhab yang
shahih dan terpilih.
Terdapat pendapat dari sebagian pengikut
Asy Syafi’iyang mengatakan hal itu tidak boleh. Pendapat yang lebih terkenal
adalah pendapat pertama. Jika orang yang berjunub tidak menemukan air ataupun
tanah, maka dia boleh sembahyang untuk memuliakan waktu menurut keadaannya dan
haram atasnya membaca Al Qur’an di luar sembahyang. Diharamkan atasnya membaca
dalam sembahyang lebih dari Al Fatihah.
Apakah haram atasnya membaca Al Fatihah?
Terdapat dua pendapat berkenaan dengan masalah ini.
Pendapat pertama: Ini pendapat yang lebih
shahih dan terpilih ialah tidak haram, bahkan wajib karena sembahyang itu tidak
sah tanpa membaca Al Fatihah. Manakala diharuskan sembahyang dalam keadaan
darurat, dalam keadaan janabah, maka diharuskan juga membaca Al Qur’an.
Pendapat kedua: Tidak boleh, akan tetapi
dia hendaklah membaca dzikir-dzikir yang dibaca oleh orang yang tidak mampu dan
tidak hafaz sedikit pun dari Al Qur’an. Karena orang ini tidak mampu menurut
syara’, maka dia seperti orang yang tidak mampu menurut kenyataan. Pendapat
yang lebih benar adalah pendapat yang pertama. Cabang-cabang yang saya sebutkan
ini diperlukan olehnya. Oleh sebab ini saya menyinggung kepadanya dengan
kalimat yang paling ringkas. Kalau ingin lebih lengkap, maka ada dalil-dalil
dan keterangan lebih lanjut yang banyak dan dikenal dalam kitab-kitab fiqh.
Wallahua’lam.
Masalah ke-4
Membaca Al Qur’an disunnahkan di tempat
yang bersih dan terpilih. Justru, sejumlah ulama menganjurkan membaca Al Qur’an
di masjid karena ia meliputi kebersihan dan kemuliaan tempat serta menghasilkan
keutamaan lain, yaitu I’tikaf. Maka setiap orang yang duduk di masjid patut
beriktikaf, sama saja duduknya lama atau sebentar. Bahkan pada awal masuknya ke
masjid sepatutnya dia berniat i’tikaf. Adab ini patut diperhatikan dan
disebarkan agar dikatahui oleh anak-anak ataupun orang awam karena ia selalu
diabaikan.
Manakala membaca Al Qur’an di tempat
mandi, maka para ulama salaf berlainan pendapat berkenaan dengan makruhnya.
Sahabat-sahabat kami berpendapat, tidak dihukumkan makruh. Imam yang mulia Abu
Bakar Ibnu Mundzir menukilnya dalam Al Asyaraaf dari Ibrahim An-Nakha’I dan
Malik dan itu jugalah pendapat Atha’.
Beberapa jamaah diantaranya Ali bin Abu
Thalib radhiyallahu ‘anhu menghukumkannya makruh. Ibnu Abi Dawud meriwayatkan
pendapat ini daripadanya. Ibnu Mundzir menceritakan dari sejumlah tabi’in,
diantaranya Abu Wail Syaqiq bin Salamah, Asy-Sya’bi, Hasan Al Bashri, Makhul
dan Qabishah bin Dzuaib. Kami meriwayatkannya pula dari Ibrahim An-Nakha’i.
Para sahabat kami meriwayatkannya dari Abu Hanifah radhiyallahu ‘anhu,
Asy-Sya’bi berkata, makruh membaca Al Qur’an di tiga tempat: Di tempat mandi,
tempat buang air dan tempat penggilingan gandum.
Diriwayatkan dari Bau Maisarah, katanya:
“Tidaklah disebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, kecuali di tempat yang baik.”
Sementara membaca Al Qur’an di jalan,
maka pendapat yang terpilih adalah boleh dan tidak makruh, jika pembacanya
tidak lalai. Jika lalai, maka dihukumkan makruh sebagaimana Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tidak menyukai membaca Al
Qur’an oleh orang yang mengantuk karena takut keliru. Diriwayatkan oleh
Abu Dawud dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘Anh bahwa dia membaca Al Qur’an di
jalan.
Diriwayatkan oleh Umar bin Abdul Aziz
rahimahullah bahwa dia mengizinkan membaca Al Qur’an di jalan.
Ibnu Abi Dawud berkata, diceritakan
kepadaku oleh Abu Ar’Rabi’, katanya: Diberitahukan kepada kami oleh Ibnu Wahab,
katanya: “Aku bertanya kepada Malik tentang orang yang sembahyang di akhir
malam, kemudian keluar ke masjid dan masih tertinggal sedikit lagi dari surah
yang dibacanya. Malik menjawab, “Aku tidak tahu pembacaan yang berlangsung di
jalan. Hal itu makruh dan ini adalah isnad yang shahih dari Malik rahimahullah.
Imam An Nawawi
Sumber: fimadani.com
0 comments:
Post a Comment