Gebrakan Baru Islamisasi Ilmu Prof. Wan Mohd Nor
Wednesday, July 31, 2013
0
comments
Ditulis oleh Dr Adian Husaini
Jurnal Pemikiran Islam Islamia
(Republika-INSISTS), edisi Kamis (18/7/2013), menurunkan sebuah tulisan
menarik berjudul “ISLAMISASI,
DEWESTERNISASI DAN DEKOLONISASI”, karya Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud. Bagi
pecinta dan pemerhati khazanah pemikiran Islam kontemporer, nama penulis
tersebut tentu sudah tidak asing lagi.
Tahun lalu, Prof Wan Mohd Nor meluncurkan
buku penting berjudul Rihlah Ilmiah: Dari Neomodernisme ke Islamisasi Ilmu
Kontemporer. Buku ini menggambarkan perjalanan intelektualnya, bergurukepada
dua ilmuwan besar di abad ke-20 dan ke-21, yaitu Prof. Fazlur Rahman – pelopor gagasan neomodernisme
– dan Prof. Naquib al-Attas – pelopor gagasan Islamisasi Ilmu kontemporer.
Kini, bersama sejumlah cendekiawan muslim berkaliber tinggi, ia memimpin sebuah
institusi pendidikan tinggi pasca sarjana bernama Center for Advanved Studies
on Islam, Science, and Civilization (CASIS), Universiti Teknologi Malaysia,
yang kini menjadi salah satu pusat perkaderan intelektual Muslim dari berbagai
dunia.
Dalam artikelnya – yang dikutip dari
monograp pidato professorialnya --- Prof Wan Mohd Nor menekankan pentingnya
kaum Muslim memiliki kepedulian serius terhadap pengembangan institusi
pendidikan tinggi. Sebab, institusi inilah yang paling strategis dan arkitektonis
menentukan perkembangan suatu bangsa. Mengutip pendapat sejumlah akademisi
terkemuka, seperti Clerk Kerr, disebutkan, bangsa-bangsa yang bermaksud meraih
pengaruh intenasional seyogyanya mendirikan pusat-pusat studi yang unggul
(excellent) pada level tertinggi. (Clerk Kerr, “The Frantic Rush to Remain
Contemporary” Deadalus. Journal of the American Academy of Arts and Sciences.
Volume 94, No. 4 Fall 1964).
Philip Coombs, mantan Undersecretary of
State AS semasa pemerintahan John F
Kennedy, menyatakan, bahwa pendidikan dan budaya adalah “aspek keempat” dari
politik luar negeri, disamping ekonomi, diplomasi dan aspek militer. Babak
Perang Dingin telah meningkatkan kepentingan strategis dari Pendidikan Tinggi.
Kini, persenjataan modern lebih bergantung pada ilmu pengetahuan ilmiah
dibandingkan dengan hitungan tradisional jumlah tentara dan banyaknya
perlengkapan militer. (Philip Coombs, The Fourth Dimension of Foreign Policy:
Education and Cultural Affairs (New York: Harper and Row, 1964).
Pada 6 Juli 2013, saat bertindak sebagai
keynote speaker dalam Seminar tentang Pendidikan Islam di Jakarta, Prof Wan
Mohd Nor juga sudah memberikan penjelasan yang sangat mendasar tentang
pentingnya para akademisi Muslim memberikan perhatian yang serius terhadap Pendidikan
Tinggi dan terus berusaha melakukan proses Islamisasi terhadap ilmu
pengetahuan. Itu bukan berarti mengabaikan
pendidikan tingkat dasar dan menengah. Tapi, perlu dicatat, bahwa para
guru yang mengajar di pendidikan dasar dan menengah adalah produk dari
pendidikan tinggi. Bukankah Nabi Muhammad saw juga sudah mengingatkan, bahwa
anak-anak terlahir dalam kondisi fitrahnya. Kedua orang tualah yang
mengarahkannya menjadi Majusi, Yahudi, atau Nasrani.
Seminar pendidikan Islam itu
diselenggarakan oleh Program Pendidikan Islam Pasca Sarjana UIKA Bogor,
bekerjasama dengan Casis-UTM dan AQL-Islamic Center pimpinan KH Bahtiar Nasir.
Seminar juga mengambil tema Islamisasi Kurikulum Pendidikan Tinggi.
Pemakalah lain adalah Dr. Nirwan Syafrin
(pakar pemikiran Islam, wakil rektor UIKA Bogor), Dr. Wendi Zarman (pakar sains Islam, dosen UNIKOM Bandung),
dan Adnin Armas MA (pakar filsafat Islam, direktur eksekutif INSISTS), Dr.
Adian Husaini, dan juga KH Bahtiar
Nasir, Sekjen Majlis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).
Sebelum seminar di Jakarta tersebut, pada 26 Juni 2013, Prof Wan Mohd Nor
menyampaikan pidato profesorialnya yang bersejarah di UTM, berjudul
“ISLAMIZATION OF CONTEMPORARY KNOWLEDGE
AND THE ROLE OF THE UNIVERSITY IN THE CONTEXT OF DE-WESTERNIZATION AND
DECOLONIZATION.” Pidato ini dihadiri
oleh lebih dari 550 akademisi dari berbagai negara dan universitas serta
disebut-sebut sebagai pidato ilmiah yang paling banyak menarik perhatian dalam
sejarah universitas tersebut.
Dalam pidatonya -- yang sebagiannya
dikutip dalam artikel di Jurnal Islamia INSISTS-Republika tersebut -- Prof Wan
Mohd Nor menggambarkan fenomena global munculnya kesadaran kritis terhadap
dampak buruk peradaban Barat bagi kemanusiaan. Menurutnya, globalisasi Eropa
dimulai dengan perjalanan-perjalanan “penemuan” pada akhir abad ke 15. Hal ini
diikuti dengan imperialisme, yang dicirikan dengan adanya penaklukan dan
pengendalian politik secara langsung dari kota-kota besar Eropa. Sejak abad ke-17 dan seterusnya, imperialisme
ini berhasil terwujud berkat kolonisasi – dengan pembentukan
komunitas-komunitas imigran di wilayah-wilayah penjajahan, meniru kota-kota
besar, dan didukung dengan adanya perbudakan dan buruh kontrak. Itu
menghasilkan kolonisasi — sebuah kondisi yang mengacu pada penundukan
sistematis bangsa terjajah.
Perkembangan yang saling terkait ini,
yang dimungkinkan oleh worldview Eropasentris yang menggambarkan perspektif
epistemik tertentu, telah menimbulkan banyak penderitaan dan kerugian politik,
ekonomi, serta sosial budaya penduduk asli. Dominasi Barat menjadi lebih
intensif – dengan ikut berperannya Amerika Serikat pada pertengahan abad ke 20
dalam bentuk neokolonialisme – terutama melalui konsep modernisasi dan
perkembangan, dan kemudian, melalui konsep demokrasi, kebebasan, dan hak asasi
manusia.
Dijelaskan, bahwa kolonisasi memainkan
peran penting dalam konsepsi dan sifat Perguruan Tinggi di semua negara yang
baru merdeka. Dalam arti, bahwa meskipun banyak diantaranya yang didirikan
sebelum kemerdekaan, namun keberadaan mereka hingga kini - dan pembentukan
Perguruan Tinggi-perguruan tinggi yang baru – dibuat untuk melayani kepentingan
modernisasi bangsa dan negara baru sesuai dengan pola yang "benar"
ala Barat. Perkembangan ekonomi dari Negara-negara "belum berkembang"
ini dipaksa untuk mengikuti dengan ketat semua tahapan Rostowian yang
memungkinkan modernisasi termasuk penerapan semua lembaga yang memungkinkan
pencapaian tersebut di Barat, termasuk perguruan tinggi-perguruan tingginya.
Kesadaran baru
Tapi, sejak era 1970-an, muncullah
kesadaran akan dampak buruk westenisasi dan kolonisasi sehingga memunculkan
wacana “de-westernisasi” dan dekolonisasi di berbagai belahan dunia. Sejak tahun 1970-an pula, gerakan Ilmu
Pengetahuan Pribumi (Indigenous Knowledge Movement), terutama di Amerika Utara,
yang berusaha untuk menawarkan satu sistem alternatif bagi pendidikan dan ilmu
pengetahuan -- selain yang ditawarkan Eropa --
menerima penghargaan dan pengakuan internasional. Pada 1990-an, gerakan ini telah menghasilkan wacana
dekolonisasi dan memikirkan kembali pendidikan bagi masyarakat pribumi.
Lebih jauh dipaparkan, bahwa adalah
penting bagi warga demokrasi liberal Eropa untuk memahami suara-suara
alternatif dan bahkan tidak setuju dengan yang lain, yang tidak hanya akan
memperlambat roda neo-kolonialisme, tetapi yang lebih penting, akan membuat
orang Barat memahami bagaimana mitos superioritas mereka telah merusak diri
mereka sendiri. “Mereka mungkin bisa
mulai menangani ekses mereka sendiri, mempertanyakan lembaga dan gaya hidup
mereka sendiri, sebelum memutuskan pada tindakan yang benar bagi orang lain.”
(Peter Cox, “Globalization of What?”, hal. 6.)
Di tengah-tengah gencarnya isu terorisme
Islam, Martin Jacques, dalam bukunya, When China Rules the World, justru mengungkapkan,
bahwa tantangan yang lebih besar terhadap
peradaban Barat pasca Perang Dingin, bukanlah terorisme Islam, tetapi
suatu era yang disebutnya sebagai "Era modernitas yang
diperdebatkan". Di antara banyak
isu-isu kunci, Jacques berpendapat bahwa ide-ide yang berkaitan dengan makna
kemajuan, pengembangan, dan peradaban tidak akan lagi identik dengan Barat.
Seorang pakar Cina kontemporer terkemuka,
Huang Ping, dengan percaya diri menekankan perbedaan mendasar antara peradaban
Cina dan Barat dan seseorang akan berpendapat bahwa, "Praktek Cina sendiri
mampu menghasilkan alternatif konsep, teori, dan framework yang lebih
meyakinkan.”
Ulrich Beck, seorang sosiolog di
University of Munich dan London School of Economics, dalam sebuah wawancara
belum lama ini, berbicara tentang bagaimana kesuksesan besar Modernitas Eropa
pertama dari abad ke-18 hingga tahun 1960-an dan 1970-an kini telah
menghasilkan konsekuensi yang tak terjawab, seperti perubahan iklim dan krisis
keuangan. Dia menambahkan, "Krisis keuangan adalah contoh kemenangan
interpretasi spesifik dari modernitas: modernitas neo-liberal setelah
keruntuhan sistem komunis, yang menyatakan bahwa pasar adalah solusi dan
semakin kita meningkatkan peran pasar , semakin baik. Tapi sekarang kita
melihat bahwa model ini jatuh dan kita tidak memiliki jawaban."
Menurutnya, " ...modernitas Eropa
adalah proyek bunuh diri ... Menciptakan modernitas kembali bisa menjadi tujuan
khusus untuk Eropa.”
Demikianlah paparan tentang munculnya
berbagai gerakan dewesternisasi dan dekolonisasi dari Prof. Wan Mohd Nor. Paparan ini menyadarkan, bahwa munculnya
usaha-usaha dewesternisasi dan dekolonisasi di belahan dunia – termasuk di
Negara Barat sendiri – semakin memperkuat logika keabsahan adanya proses
Islamisasi dalam bidang keilmuan. Banyak ilmuwan Muslim yang telah menulis
tentang dampak buruk konsep keilmuan sekuler Barat terhadap kemanusiaan.
Tetapi, sebuah langkah berdasar pada konsep yang sistematis dan mendasar telah
dipelopori oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang sejak lama
mengingatkan bahwa problem utama umat Islam adalah “problem ilmu pengetahuan”
(the problem of knowledge).
Dalam berbagai karyanya, yang dimulai di
awal 1970-an, Prof. Naquib al-Attas menjelaskan dasar-dasar perbedaan
ontologis, epistemologis, etika dan budaya antara Islam dan Barat sekuler yang
dominan. Al-Attas pun telah meluncurkan wacana serius tentang dewesternisasi
dan dekolonisasi melalui proyek intelektual Islamisasi pengetahuan kontemporer,
yang berpusat di universitas. Menurut al-Attas, Islamisasi adalah: “usaha untuk
membebaskan manusia pertama-tamanya dari tradisi magis, mitos, animistik,
kultur nasional, lalu membebaskan dari jeratan sekular yang membelenggu akal
dan bahasanya. Orang Islam adalah orang yang akal dan bahasanya tidak lagi
dikontrol oleh magis, mitos, animisme dan tradisi nasionalisme dan kulturalnya.
Inilah perbedaan antara Islam dan sekularisme.”
Menurut Prof. Wan Mohd Nor, tujuan akhir
dari dewesternisasi, dekolonisasi, dan Islamisasi pengetahuan dan pendidikan
kontemporer harus benar-benar difokuskan pada pembentukan manusia yang tepat
yang akan melakukan berbagai peran dalam masyarakat. Proyek dekolonisasi,
de-westernisasi, dan Islamisasi bukan sekedar reaksi untuk kondisi eksternal
yang tidak Islami belaka, tetapi yang lebih penting, dan mendasar, adalah
kembali kepada tujuan dan sifat asli manusia yang membawa manusia ke tujuan
penerimaan dan penyebaran pengetahuan dan makna serta tujuan pendidikan, yakni
terbentuknya manusia yang baik, manusia yang beradab.
Penjelasan pakar pendidikan Islam
internasional ini sangat penting untuk kita renungkan dalam rangka mengevaluasi
dan terus memperkuat gerakaaan Islamisasi ilmu dan juga lembaga-lembaga
pendidikan. Seperti ditegaskan Prof Wan
Mohd Nor, di saat westernisasi dan kolonisasi dalam berbagai bentuknya masih
berpengaruh dalam konteks globalisasi saat ini, upaya sejumlah ilmuwan Muslim
untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, bukan hanya usaha yang sah untuk
mempertahankan identitas agama dan budaya mereka, tetapi juga usaha untuk
menawarkan alternatif yang lebih baik
dari modernitas Barat, yang telah menunjukkan defisit yang serius pada level
global.
Fakta menunjukkan, defisit modernitas
Barat itu telah melintasi batas-batas agama, budaya, dan batas-batas negara,
sehingga banyak ilmuwan non-muslim dan pembuat kebijakan di berbagai tempat
menyampaikan hujjah tentang perlunya melakukan usaha de-westernisasi,
dekolonialisasi, dan pribumisasi dari framework ilmu pengetahuan.
De-westernisasi dan Islamisasi ilmu kontemporer – dalam keterkaitannya dengan
konsep universitas Islam dan adab – adalah salah satu dari usaha-usaha ini.
Bahkan, dibandingkan dengan gerakan sejenis, Islamisasi ilmu kontemporer, lebih
bersifat spiritual, komprehensif, universal dan lebih kuat pengaruhnya.
Penegasan Prof. Wan Mohd Nor tentang
nilai strategis gerakan Islamisasi ilmu ini bisa kita jadikan sebagai bahan
evaluasi proses gerakan Islamisasi ilmu yang telah dan sedang diterapkan di
lembaga-lembaga pendidikan Islam, mulai tingkat dasar sampai perguruan
tinggi. Kita perlu menekankan dan
mengingat terus, bahwa hakekat dan tujuan pendidikan Islam adalah untuk
mencetak manusia yang baik, seperti ditegaskan oleh Prof. Naquib al-Attas dalam
bukunya, Islam and Secularism: “The purpose for seeking knowledge in Islam is
to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of
education in Islam is therefore to produce a good man… the fundamental element
inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab…”
Manusia diciptakan Allah dalam kondisi
dan potensi yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Dalam kaitan inilah, kita
perlu memahami dan mengimplementasikan konsep keunikan manusia, sebagaimana
disabdakan oleh Nabi Muhammad saw: “Manusia itu adalah barang tambang, laksana
emas dan perak. Orang-orang terbaik
diantara mereka di masa Jahiliyah adalah orang-orang terbaik juga di
masa Islam, apabila mereka faqih fid-ddin.” (Muttafaq 'alaih).
Manusia-manusia yang ingin kita hasilkan
dari lembaga pendidikan kita adalah manusia yang baik, manusia yang bermanfaat
untuk manusia. Godaan syahwat materialisme dan hedonisme telah banyak menggoda
lembaga pendidikan untuk terjun ke pusaran pragmatisme di bidang pendidikan,
khususnya di perguruan tinggi. Kekeliruan dan ketidaktahuan konsep ilmu dalam
Islam telah menjerat banyak potensi-potensi unggul kaum Muslim ke pusaran
pragmatisme, tanpa sadar melupakan amanah keilmuan dan keulamaan yang wajib
diemban oleh ummat Rasulullah saw. Kita
melihat, kini, tak sedikit sarjana-sarjana pintar yang terjebak dalam rutinitas
pekerjaan, tanpa terpikir lagi untuk meningkatkan keilmuan fardhu ain dan
fardhu kifayahnya. Tidak sedikit yang kemudian terjebak ke dalam kubangan
kehidupan materialisme, dengan melupakan tujuan hidup dan kewajibannya sebagai
umat pengemban dakwah Islam, mewujudkan misi rahmatan lil-alamin.
Itulah perlunya Islamisasi ilmu, yang
tujuan finalnya adalah untuk melahirkan manusia-manusia yang beradab tinggi,
manusia yang mampu mengemban amanah khalifatullah dan amanah risalah kenabian.
Apa yang dipaparkan oleh Prof Wan Mohd Nor kita jadikan sebagai bahan nutrisi
tambahan untuk meningkatkan stamina kita dalam melakukan proses Islamisasi yang
tiada kenal henti. Sebab, tantangan intenal dan eksternal pun terus
menghadang. Wallahu a’lam bish-shawab.
(Doha, Qatar, 14 Ramadhan 1434 H/23 Juli 2013).
[Dr Adian Husaini - adianhusaini.com].
0 comments:
Post a Comment