Demokrasi Tolol Versi Saridin
Wednesday, August 14, 2013
2
comments
SARIDIN bukan tidak sadar dan bukan tanpa
perhitungan kenapa dia memilih nyantri ke pondoknya Sunan Kudus. Saridin itu
tipe seorang murid yang cerdas dan mengerti apa yang dilakukannya.
Harap dimengerti murid itu bukan padanan
kata dari siswa atau student, sebagaimana manusia zaman modern memaknainya
secara tolol. Memang manusia dalam kebudayaan dan peradaban modern kerjanya
selalu melawak. Mereka lucu, dan bahkan sangat lucu karena mereka sendiri tidak
sadar bahwa mereka lucu.
Coba lihat saja. Di dunia modern ada yang
namanya universitas. Wah gagahnya bukan main lembaga pendidikan tertinggi ini.
Penuh gengsi dan keangkuhan. Kalau sudah
lulus darinya, orang di sebut "sarjana"
Padahal sesungguhnya Saridin membuktikan
sendiri bahwa para pelaku lembaga pendidikan dunia modern ini ndagel atawa
melawak. Mereka pura-pura bikin universitas adalah manusia universal.
Padahal nanti para sarjana keluaran
universitas itu kualitas dan cakrawala pandangnya tak lebih dari manusia
fakultif .
Anak-anak didik usianya sudah dewasa ini
tetap saja kanak-kanak sampai tua, karena sudah bertahun-tahun di universitas
masih saja terbuntu di kualitas fakultif atau bahkan jurusan.
Apa begitu itu namanya, kata Saridin,
kalau bukan ndagel.
Kalau remaja-remaja itu berangkat ke
universitas, ngakunya pergi kuliah. Istilah itu dari bahasa Arab: kulliyah.
Artinya, suatu keberangkatan intelektual, mental, spiritual dan moral menuju
taraf kosmopolitanisme.
Segi lawakannya menurut Saridin terletak
pada kenyataan bahwa sebenarnya mereka bukan berangkat kuliah, melainkan
berangkat juz'iyyah. Ya yang diterangkan di atas tadi: juz'iyyah itu artinya
berangkat memahami sesuatu secara sektoral, secara fakultatif dan parsial.
Seandainya mereka bukan pelawak, tentu
setiap keberangkatan juz'iyyah akan selalu pada akhirnya diorientasikan atau
dikembalikan lagi ke spektrum kulliyah atau universalitas.
Tapi karena tradisi demikian tidak
menjadi habitat utama budaya pendidikan manusia modern, maka hasilnya adalah
kesempitan.
Umpamanya kalau mereka disodori pakaian
oleh Saridin dan tanyakan kepada mereka "apa ini?" mereka paling
menjawab "ini baju, " atau ini celana," ini cawet." Atau
ini dasi."
Mereka tidak pernah menjawab-ini kain,
ini benang," ini kapas" ini serat-serat," atau mungkin ini
kerjasama antara alam ciptaan Tuhan dengan teknologi ciptaan manusia."
Pendeknya pada kesimpulan Saridin,
jangkauan ilmu mereka atau dangkalnya kedalaman pengetahuan mereka itu hanya
bisa diterangkan melalui dua kemungkinan acuan. Kalau tidak bodoh, ya itu:
ndagel .
Kalau pembicaraan kita sampai pada soal
"dasi" atau "sepatu" , yang merupakan ciri-ciri terpenting
dari eksistensi manusia modern, lebih terasa lagi lawakannya. Kalau sudah
mengingat itu, Saridin tersengguk-sengguk karena tawa dantangisnya menjadi satu
keluar dari mulut dan matanya.
Dasi itu menurut pemahaman Saridin adalah
benda yang benar-benar tidak bisa dipahami apa kegunaannya, kecuali untuk
siap-siap kalau sewaktu-waktu pemakainya ingin kendat atau bunuh diri dengan
carta menggantung diri atau menjerat leher.
Kebudayaan manusia modern selalu
menjelaskan dasi dalam konteks sopan santun, kepribadian dikaitkan atau apalagi
ditententukan oleh seutas kain yang dikaitkan menggelilingi leher.
Benar-benar sangat lucu. Saridin khawatir
Tuhan sendiri bisa geleng-gelng kepala karena kelucuan dasi ini tingkatnya
benar-benar rendah. Kepribadian itu maslah software, soal batin, mutu nilai
yang rohaniah sifatnya. Kok dilawakkan melalui seutas dasi. Alangkah tidak
bermutunya lawakan manusia modern.
Apalagi masalah sepatu. Pakailah sepatu,
kata Saridin menirukan seseorang yang pernah didengarnya di abad 20, agar
kakimu terlindung dari duri atau kerikil tajam."
Padahal para pemakai sepatu justru
cenderung menolak untuk berjalan di jalanan. Mereka justru lebih sering
melangkahkan kaki kelantai yang dipakai karpet tebal dan empuk.
Lantas seseorang melanjutkan, tapi
sebelum pakai sepatu, pakailah dulu kaos kaki, untuk melindungi kakimu dari
sepatu, agar tidak mlicet."
Di sinilah, menurut studi Saridin ,
puncak lawakannya. Orang yang disuruh pakai sepatu dan kaos kaki pasti
kebingungan, jadi sebenarnya sepatu ini
melindungi kaki ataukah mengancam kaki, sehingga kaki harus dilapisi dengan
kaos kaki?"
Oleh karena itu,sejak abad 16 Saridin
sudah sadar untuk tak mau di ranjau oleh kebodohan yang canggih atau kepandaian
yang ndagel versi kebudayaan modern. Maka ia mateg aji menjadi murid.
"Murid" itu kata subyek yang
berasal dari kata kerja arada, yuridu, muridan. Artinya: seseorang yang
berkendak. Ingat kata iradat Tuhan? Artinya kendak Tuhan.
Saridin menjdai muridnya Sunan Kudus
karena ia sendiri yang berkehendak untuk itu. Juga ia sendiri yang berkehendak,
atau menjadi subyek yang menghendaki segala macam yang menyangkut ilmu dan
pengalaman hidup yang akan dialaminya dari Sang Sunan.
Dengan kata lain, sesungguhnya Saridin
sendiri yang menyusun kurikulum kesantriannya. Itu namanya murid. Kalau
seseorang datang ke pesantren atau sekolah lantas pasrah bongkokan dan mulutnya
mengangga melulu menunggu apa saja terapan kurikulum yang telah disediakan, itu
namanya murad . Artinya, orang yang kehendaki.
Memang sih pesantrennya Sunan Kudus sudah
memiliki kuyrikulum, sistem pendidikan dan metoda pengajaran tersendiri. Tetapi
itu sekedar bahan dan masukan bagi Saridin. Tetapi si Saridin sendiri yang
kemudian mengatur dan menguasai kurikulum itu di dalam dirinya sendiri.
Jadi pada hakekatnya pesantren Saridin
terletak di dalam otaknya Saridin itu sendiri. Sekolah Saridin berdiri di dalam
hitungan akal sehat Saridin sendiri. Universitas Saridin berlangsung di dalam
metoda dan proses belajar atau kaifiyah intelektual-spiritual Saridin sendiri.
Itulah sebabnya ia sungguh-sungguh
seorang murid.
Menurut pandangan Saridin, sikap menjadi
murid adalah perwujudan demokrasi pendidikan. Kalau ia hanya murad, berarti ia
menyediakan diri untuk ditindas. Padahal Saridin tahu, di dalam Islam, orang
dilarang menindas, dan lebih dilarang lagi untuk bersedia ditindas.
Tapi jangan lupa pengetahuan tentang
demokrasi itu pasti Saridin ambil dari dunia modern juga. Jadi jangan seratus
persen percaya kalau Saridin begitu mbagusi ketika mentertawakan kebudayaan
modern. Sebab sesungguhnya ia juga banyak belajar kepada segala sesuatu
mengenai modernitas dan modernisme.
Bahkan ada bulan-bulan di mana ia salah
menerapkan prinsip demokrasi ketika mengikuti pengajaran dan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Sunan Kudus.
Ketika Sang Sunan meminta Saridin
membuktikan hapalan Qur'annya, satu juz saja, di depan para santri
lainnya-dengan mantap ia menjawab: "Sunan, adalah hak asasi saya untuk
memilih apakah saya perlu menghapalkan Qur'an atau tidak."
Demokrasi bagi Saridin ketika itu,
bertitik berat pada prinsip hak asasi manusia.
Ketika ia diminta mempraktekkan jurus jalan
panjang ketika dilatih silat, Saridin juga menjawab:
"Saya sendirilah yang berwenang
untuk mempraktekkan jurus itu sekarang . Tidak seorangpun bisa memaksa
saya" ."
Tapi sebelum selesai kalimatnya, Sunan
Kudus mendadak menghampirinya dan menyerbunya dengan berbagai jurus. Saridin
kepontal-pontal, pontang-panting, terjatuh-jatuh, terluka dan keseleo.
"Kalau kamu tidak sanggup menjadi
pendekar, jangan bersembunyi di balik kata demokrasi!" kata Sunan Kudus
sambil mencengkeram leher Saridin yang terengah-engah.
Sumber: https://www.facebook.com/pages/Emha-Ainun-Nadjib
2 comments:
salam kenal :)
salam kenal juga untuk mas wiranata kusuma, Anda bukan termasuk mahasiswa kan? he he
Post a Comment