Emha Ainun Nadjib: SAYA ANTI DEMOKRASI
Wednesday, August 14, 2013
0
comments
Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan
Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau
tidak itu namanya diktator mayoritas. Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas,
asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam - harus mengalah dan wajib
kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya
Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan
minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya.
Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah
adalah Islam. Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah Islam. Kalau
Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah
Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen. Kalau amerika Serikat jumawa dan
adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan
sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika Serikatlah pemegang
sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam.
"Agama" yang paling benar
adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur
siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan
oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan
dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam.
Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut
demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi,
mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa
Barat atas kesunyatan Islam.
Orang-orang non-Muslim, terutama kaum
Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak
dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW,
melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka.
Maka kalau penghuni peradaban global
dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur'an, saya juga
akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak
terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut
itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai
Islam.
Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng
membuat nomer-nomer musik, yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya,
maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir.
Musik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa
lagi. Seorang teman menyapa: "Banyak nuansa Arabnya ya? Mbok lain kali
bikin yang etnis 'gitu..."
Lho kok Arab bukan etnis?
Bukan. Nada-nada arab bukan etnis,
melainkan nada Islam. Nada Arab tak diakui sebagai warga etno-musik, karena ia
indikatif Islam. Sama-sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau
ia Islam-menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap.
Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu
puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial namanya.
Kalau Gipsy King mentransfer kasidah "Yarim Wadi-sakib...", itu
universal namanya. Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya,
pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi
kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.
Itulah matahari baru yang kini masih
semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh
dhonn kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan
curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan
ummat Islam. Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan
sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan
pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya.
"Al-Islamu mahjubun
bil-muslimin". Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam
sendiri.
Endapan-endapan dalam kalbu kollektif
ummat Islam itu, kalau pada suatu momentum menemukan titik bocor - maka akan
meledak. Pemerintah Indonesia kayaknya harus segera mervisi metoda dan strategi
penanganan antar ummat beragama. Kita perlu menyelenggarakan 'sidang pleno'
yang transparan, berhati jernih dan berfikiran adil. Sebab kalau tidak, berarti
kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan.
Sumber: https://www.facebook.com/pages/Emha-Ainun-Nadjib
0 comments:
Post a Comment