Suriah: Kisah Sebuah Revolusi [bagian 2]
Monday, August 12, 2013
0
comments
Suriah dan kisah sebuah revolusi. Dan
para pahlawan itu telah memenuhi janji mereka, anak mereka tidak lahir kecuali
mereka telah merdeka
PARA orangtua dari anak-anak itu datang
memelas. Meraka memohon kepada pejabat keamanan politik agar anak-anak mereka
dilepaskan. Namun, pejabat itu melontarkan jawaban menghina yang kelak tersebar
ke seluruh Suriah, “Lupakan mereka, dan lahirkanlah anak-anak yang lain! Atau
bawa kemari istri-istri kalian agar kami hamili bila kalian tidak mampu!”
Kesabaran tetap ada batasnya. Rakyat
Suriah telah cukup bersabar hingga laut kesabaran itu telah kering. Dan bubuk
mesiu yang terjilat api pasti akan meledak. Bubuk mesiu itu adalah emosi
penduduk Dir’a, sedangkan apinya adalah jawaban pejabat pemerintah tadi.
Meledaklah revolusi!
VII
Tuntutan untuk melakukan demonstrasi pada
hari Selasa (15/3/2011) tersebar lewat situs-situs jejaring sosial di internet.
Pada hari H, demonstrasi kecil terjadi di Damaskus, Halab, Dir’a, dan Dirzur.
Para demonstran berteriak, “Kemana engkau bangsa Suriah.”
Esok harinya, sekitar 100 pemuda dan
pemudi berdemonstrasi di jantung kota Damaskus. Mereka berkumpul di depan
kantor kementrian dalam negeri menuntut kebebasan, reformasi politik, dan agar
tawanan politik dibebeskan dari penjara. Ratusan aparat keamanan bersenjata
pentungan membubarkan demonstrasi dan menangkap sebagian aktivis. Beberapa
perempuan dijambak rambutnya serta seret menuju mobil tahanan.
Jumat (18/3/2011) sejumlah demonstrasi
terjadi di beberapa kota di Suriah. Dir’a menjadi kota yang paling panas.
Khususnya setelah insiden penangkapan anak kecil yang disusul oleh pernyataan
pejabat keamanan tadi. Sekam yang membara tinggal menunggu untuk disiram dengan
bahan bakar. Dan pemerintah Suriahlah yang melakukannya.
Penguasa merespon demonstrasi dengan
sejata berpeluru tajam. Empat syahid jatuh korban. Itulah bahan bakar yang
membakar bara emosi rakyat.
Sabtu keesokan harinya, warga Dir’a
melayat dan mengiringi jenazah para syuhada. Syekh Ahmad al Shayashinah
menyerukan kepada rakyat Suriah, “Sejak hari ini, wajib hukumnya bagi setiap
rakyat Suriah yang mampu untuk keluar berdemonstrasi. Sikap berpangku tangan
adalah khianat terhadap darah para syahid.”
Petugas keamanan meneror Syeikh Ahmad dan
meminta dia menenangkan gerakan protes. Syeikh Ahmad menolak. Akibatnya dia
dipukuli petugas.
Ahad (20/3/2011), rombongan manusia
mengalir dari segala penjuru Hawran menuju Dir’a. Mereka berteriak, “Bangkitlah
Hawran, bangkitlah Hawran!” Beberapa aparat mencoba menenangkan kumpulan
manusia itu, namun nihil. Rakyat menuntut agar pejabat keamanan yang membalas
dengan penghinaan itu dihukum mati. Untuk pertama kalinya selama beberapa
dekade publik mengajukan tuntutan untuk menghukum mati seorang pejabat yang
sewenang-wenang.
Untuk pertama kalinya pula, massa
berkumpul bukan untuk meneriakkan “Bashar sebagai pemimpin untuk selamanya,”
atau “kami akan berkorban dengan darah dan nyawa.” Bukan. Teriakan yang
menggoncang bumi Hawran saat itu adalah “Bashar barrah, barrah (keluar); Suriah
hurrah, hurrah (merdeka).” Ketakutan terhadap rezim akhirnya menguap sudah.
Dugaan banyak orang selama ini terhadap rakyat Suriah menjadi tidak terbukti.
Pada hari yang sama, Hasan Nashrullah
berpidato, “Pemerintahan yang mirip Husni Mubarak yang diprotes rakyatnya, maka
kami akan bersama rakyatnya. Akan tetapi jika pemerintahan itu menolak dan
timbul masalah, maka persoalannya jadi lain. Kami akan berdiri bersama mereka,
dan berkata, ‘Tuntaskan urusan kalian sendiri.”
Setelah pidato Hasan Nashrullah,
demonstran Suriah di Dir’a membakar posternya dan protes, karena mereka juga
menghadapi intimidasi dan penindasan. Nashrullah dan Hizbullata jatuh dari mata
rakyat Suriah, dan hampir saja Iran yang bermain di belakangnya turut kolaps.
Proyek raksasa yang dibiayai Iran selama sepertiga abad jatuh sudah.
VIII
Sesungguhnya krisis Suriah bisa saja
berhenti sampai di situ. Apa yang dituntut oleh para demonstran? Menurunkan
pejabat keamanan dan mengajukannya ke pengadilan, mengganti gubernur yang korup
dan melepaskan anak-anak yang ditawan bersama sejumlah tawanan politik. Di samping
itu, membatalkan undang-undang darurat yang telah menghimpit kehidupan rakyat
selama setengah abad.
Adapun menurunkan pemerintahan yang ada,
masih merupakan mimpi di siang bolong. Kenapa rezim tidak berusaha memenuhi
tuntutan yang ringan itu? Kalaupun rezim yang ada belum mau melaksanakan
tuntutan rakyat, kenapa para demonstran harus dihadapi dengan senjata?
Segera saja gerakan revolusi mengarah ke
mogok massal yang dimulai di Dir’a dengan berkumpul di masjid Jami’ al ‘Amri.
Sebagaimana rakyat segera menangkap bahwa mogok massal dan berkumpul di tempat
terbuka merupakan “dosa besar” di mata rezim Bashar.
Pagi itu (23/3/2011), ledakan memecah
udara Dir’a. Tentara loyalis rezim memulai serangannya ke Jami’ al ‘Amri. Para
pemuda tidak beranjak dari tempat berkumpul mereka. Tentara mulai menembak
dengan rentetan senapan mesin dan melempar bom. Korban dari rakyat sipil mulai
berjatuhan. Puluhan tewas sebagai syuhada serta ratusan lainnya luka berat. Dan
ketika aliran manusia mengalir menuju Jami’ al ‘Amri, mereka dihadang dengan
tembakan dan korban yang jatuh bertambah. Militer melarang ambulans menolong
korban yang jatuh. Bahkan korban yang berhasil dibawa pergi dicegat oleh
tentara di jalan dan dibawa ke mobil tahanan.
Informasi tentang demo besar-besaran dan
sikap rezim segera tersebar ke distrik-distrik lain di Hawran. Rakyat keluar ke
jalan-jalan dan protes. Dengan marah, mereka berjalan menuju Dir’a. Sebagaimana
sebelumnya, militer mencegat mereka dengan timah panas.
Hari itu berakhir dengan 52 korban nyawa.
Hawran tidak mungkin lagi mundur ke belakang. Dia telah memasuki titik yang tak
mungkin dihentikan kecuali dengan runtuhnya rezim Bashar.
IX
Hari-hari berikutnya semakin memanas.
Kendati pejabat-pejabat pemerintahan silih berganti muncul di layar televisi
dengan pernyataan yang penuh kamuflase. Janji untuk menghukum pejabat yang
melanggar, militer yang melampaui batas, dan upaya melakukan investigasi yang
indipenden. Tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Bashar tampil di televisi dengan pidatonya
yang membosankan. Beberapa orang ditampilkan mendukung Bashar. Rakyat telah
terbiasa dengan drama dan teriakan rekayasa yang ditampilkan di media resmi
pemerintah. Rakyat membalasnya dengan demonstrasi yang pecah di mana-mana.
Seorang pejabat, lewat konferensi pers
yang disiarkan media menegaskan bahwa presiden telah melarang keras tentara
menghadapi demonstrasi rakyat dengan senjata. Hari Jumat, dunia menjadi saksi
betapa instruksi presiden itu dilaksanakan. Ketika ribuan demonstran yang
berasal dari Kufr Syams dan Shinmin mendekati kantor keamanan militer, pintu
dibuka dengan hujan peluru senjata mesin yang berhambur menyambar tubuh para
domonstran. Puluhan nyawa melayang di tempat.
Senin (28/3/2011) rakyat Suriah telah
membuka mata mereka. Rakyat telah sadar bahwa rezim yang ada memilih jalan
kekerasan dan darah. Rezim siap membantai rakyatnya sendiri demi menghentikan
arus demonstrasi.
Recep Tayyip Erdogan, perdana menteri
Turki muncul di layar televisi, “Kita tidak mungkin berpangku tangan terhadap
apa yang terjadi di Suriah.” Sejak itu, dia memang tidak pernah lagi berlepas
tangan terhadap nasib saudara-saudaranya di Suriah.
X
Sejak awal rezim Suriah berupaya membunuh
“janin” revolusi sebelum dia lahir dan tumbuh besar dan kuat. Lantaran itu,
demo-demo pertama dihadapi dengan senjata, dan korban mulai berjatuhan di
mana-mana. Strategi yang ditempuh tentara rezim umumnya adalah menggunakan
penembak jitu yang bersembunyi di gedung-gedung tinggi kota. Kadang juga dengan
tembakan senjata mesin oleh tentara yang berlindung.
Rezim Suriah rupanya belajar dari
revolusi Tunisia dan Mesir. Rezim menyimpulkan bahwa sikap ragu-ragu pihak
keamanan dan militerlah yang menjadikan gerakan revolusi tumbuh dan terus
berkembang. Rezim tidak mau melakukan “kesalahan” yang sama. Maka sejak awal
demonstrasi, rezim Suriah telah mengerahkan segala kekuatan yang dia miliki.
Oleh karena itu, kita tidak pernah mendengar adanya penggunaan peluru karet
atau gas air mata kecuali sangat sedikit.
Setiap hari terjadi demo, mogok missal;
dan jawaban yang diberikan oleh rezim Bashar tidak berubah. Peluru panas dan
senjata berat menghadapi demonstrasi damai rakyat. Pekan demi pekan, jumlah
korban nyawa terus bertambah. Setiap pekan korban berjatuhan, 83 syahid, 63
syahid, 78 syahid, 55 syahid, bahkan Jumat (22/4/2011) 225 syahid, dan Jumat
(29/4/2011) 336 syahid.
XI
Memasuki pekan keenam, rezim Bashar
mengeluarkan kartunya yang terakhir. Tentara mulai menyerang distrik-distrik
tertentu. Dimulai dengan pemutusan listrik dan air serta pasokan makanan. Namun
demikian, rakyat tidak pernah menyerah. Setelah lewat beberapa waktu, tentara
baru memasuki kota dengan menembak dan memburu warga satu persatu. Tidak puas
dengan itu, bom mortir menyusul setelahnya. Namun itu semua tidak menyurutkan
rakyat. Hingga saat ini dunia menyaksikan keteguhan dan ketabahan rakyat Suriah
dengan revolusi mereka.
Rezim penguasa menghadapi perlawanan
rakyat dengan militer. Pemukiman penduduk dihujani bom-bom dan rudal. Banyak
korban yang jatuh akibat reruntuhan gedung. Mereka termasuk belasan ribu nyawa
yang melayang sejak awal revolusi. Makanya, sebagian pengungsi tidak punya
apapun selain baju yang melekat di badan.
Tentara memperlakukan pemukiman penduduk
seperti tentara pendudukan, bahkan lebih kejam dari itu. Mereka menjarah
rumah-rumah penduduk dan menyembelih manusia seperti menyembelih binatang.
Ribuan wanita, bahkan anak-anak di bawah umur mereka permalukan. Adapun
penangkapan dan penyiksaan, terlalu panjang dan mengerikan untuk diceritakan.
XII
Ketika rezim memutuskan untuk membendung
revolusi dengan peluru, sesungguhnya rezim telah melakukan dua kesalahan besar.
Pertama, yang eksesnya segera yaitu jatuhkan korban dari rakyat sipil yang
menjadi bahan akar bagi tumbuhnya perlawanan baru. Setiap korban akan
melahirkan kemarahan yang lebih banyak. Sehingga semakin banyak korban yang
jatuh, semakin banyak rakyat yang bergabung ke barisan revolusi.
Kedua, ekses yang sejak hari pertama
hingga kini terus menimpa kubu rezim pemerintahan Suriah. Yaitu dilema dan
frustrasi yang menjebak aparat tentara dan keamanan. Ketika mereka mendapat
instruksi dari atasan untuk menembak dan membunuh warga yang tidak bersenjata
sama sekali. Setiap personil tentara hanya punya dua pilihan. Dia memilih untuk
taat pada perintah itu, dan itu berarti dia membunuh hati nurani dan
kemanusiaan dalam dirinya sendiri. Atau dia menolak untuk melaksanakan perintah
itu, dan dia terancam untuk dibunuh atas perintah atasannya.
Dilema dan frustrasi ini semakin hari semakin
menjalar dalam tubuh tentara rezim. Kondisi psikologis yang sangat mempengaruhi
kekuatan mereka. Tidak heran bila hampir setiap waktu kita mendengar informasi
adanya tentara yang desersi. Mereka adalah tentara yang memilih suara hatinya
dan menyadari dirinya sebagai bagian dari rakyat.
Salah satu yel yang sering diteriakkan
oleh demonstran selama ialah “Rakyat dan tentara adalah tangan yang satu”.
Puluhan ribu tentara desersi dan bergabung dengan revolusi saat ini menyebar di
seluruh Suriah dan merupakan salah satu kekuatan yang terus berkembang dalam
tubuh revolusi.
XIII
Pembaca pernah mendengar tentang kemanan
pemerintah yang menertibkan gelombang protes rakyat dengan semprotan air, gas
air mata, dan peluru karet. Tapi pembaca mungkin belum pernah mendengar
pemerintah yang menghadang demonstrasi rakyat dengan senapan mesin, sniper yang
menjadikan anak-anak dan wanita sebagai target.
Pembaca budiman mungkin tidak pernah
mendengar ada penguasa yang mencegah kendaraan ambulance untuk masuk ke daerah
jatuhnya korban untuk membantu, atau militer yang menyerbu rumah sakit-rumah
sakit dan menawan para perawat dan dokter serta menjadikan mobil ambulance itu
sebagai mobil tawanan, atau membunuh pasien serta membiarkan mereka terdampar
di jalan sampai menemui ajalnya.
Saudara mungkin tidak pernah membaca ada
pasukan pemerintah yang sengaja menyimpan pasien luka di kulkas jenazah hingga
dia wafat. Atau penyiksaan terhadap anak-anak dengan mematahkan lehernya dan
organ tubuhnya yang lain, atau tawanan yang dikupas kulitnya serta dicabut
matanya.
Anda bisa jadi belum pernah membaca
pemerintah yang menjawab tuntutan rakyat dengan menginstruksikan kepada
aparatnya untuk menyerbu pemukiman penduduk kemudian menyiksa dan membunuh
mereka satu persatu. Atau menghadapi domonstrasi rakyat dengan tank dan persenjataan
berat.
Semua yang kami kemukakan itu adalah
realitas rezim Suriah saat ini. Itulah tindakan yang telah dilakukannya
terhadap rakyat dan perlawanan bangsa Suriah. Dan itu masih terus berlangsung
hingga saat tulisan ini dibuat.
XIV
Ketika revolusi mulai pecah, hampir semua
yang rakyat Suriah duga bahwa rezim akan lakukan telah menjadi kenyataan.
Pasukan keamanan dan perangkat intelijen paling kejam, ratusan ribu loyalis
partai Ba’ats, pemuda partai dan Shabiha (gang bayaran piaraan rezim), tentara
dengan segala perlengkapan perangnya; semua itu telah dikerahkan rezim untuk
menghentikan perlawanan rakyat. Rakyat Suriah telah mempersiapkan diri. Mereka
siap menghadapi sebuah rezim yang mereka kenal dengan baik. Rezim yang selama
hampir setengah abad menindas rakyat.
Akan tetapi rakyat Suriah tidak pernah
menyangka bahwa Hizbullata (bukan: Hizbullah) Libanon akan turut campur tangan
dengan membela rezim dan mengirim milisinya untuk memerangi rakyat Suriah.
Rakyat Suriah tidak mengira bahwa milisi Syiah Iraq akan mengirim pasukannya
demi mempertahankan rezim sektarian Bashar, dengan membantai rakyat Suriah.
Revolusi rakyat tidak pernah menduga bahwa Iran akan secara terbuka membela
mati-matian rezim diktator Bashar dengan mengirim suplai bantuan logistik,
persenjataan, dan garda nasional untuk memerangi rakyat Suriah. Namun itu semua
adalah nyata.
Revolusi tidak pernah mengira bahwa Rusia
akan berdiri si samping rezim Suriah dengan bantuan senjata dan teknologi, dan
dukungan politik di percaturan politik dunia. Tapi itulah kenyataanya.
Rakyat Suriah hanya bisa mengandalkan
diri mereka sendiri setelah Allah. Mereka mengira bahwa dunia akan berpihak
kepada mereka dan mencegah rezim melakukan genosida terhadap rakyatnya sendiri,
karena revolusi damai yang mereka lakukan, tapi ternyata rakyat Suriah keliru.
Rakyat Suriah mengira bahwa Turki dan negara-negara tetangga yang lain tidak
akan menonton begitu saja dan akan mencegah rezim Bashar untuk semakin
tenggelam dalam pembantaian rakyat. Tetapi perkiraan itu salah. Revolusi
menyangka bahwa Amerika dan negara-negara Barat pada akhirnya akan memberi
bantuan, dalam bentuk apa pun itu. Namun persangkaan itu meleset.
Rakyat Suriah menduga bahwa bangsa Arab
dan kaum Muslim akan mengguncang dunia dengan revolusi dan banjir demonstrasi
menentang tindakan rezim, bila dia mengulangi tindakannya yang tidak manusiawi.
Namun, itu semua tinggal dugaan kosong.
XV
Belasan ribu korban nyawa telah
berjatuhan, puluhan ribu yang hilang, di atas itu adalah orang-orang yang
ditawan rezim, lebih seratus ribu orang yang mengungsi ke negara-negara
tetangga, dan jumlah yang lebih besar lagi terlantar di dalam Suriah sendiri. (Laporan
Syrian Network for Human Rights [27/6/2012] menyebut korban tewas 14.863 rakyat
sipil termasuk wanita dan anak-anak dan 1.277 militer).
Namun, pejuang Suriah bertekad bahwa
mereka akan terus melanjutkan revolusi dengan izin dan pertolongan Allah, dan
tidak akan berhenti hingga rezim Bashar jatuh.
Demikianlah kisah revolusi rakyat Suriah.
Setiap kisah harus ada akhirnya, dan rakyat kami telah bertekad bahwa akhir
revolusi harus mereka tuliskan sendiri sebagaimana mereka telah menuliskan
awalnya.
Suatu hari nanti, anak cucu Saudara akan
membaca sejarah bahwa bangsa Suriah pernah melakukan revolusi melawan “tukang
pukul” yang aniaya dan arogan, serta mengira dirinya akan bertahan
selama-lamanya. Mereka akan membaca bahwa thagut tersebut telah melepas
anjing-anjing dan piaraannya untuk meneror dan menyiksa rakyat. Namun para
pahlawan telah menyiapkan diri mereka untuk kemungkinan yang paling terburuk.
Maka mereka tidak goyah dan tidak surut.
Pahlawan-pahlawan itu justru berkata
kepada thagut, “Bapakmu telah mencuri negeri kami dan memperbudak bapak-bapak
kami. Mereka hidup terhina dan mereka diam. Kemudian kami lahir sebagai budak
dan juga hidup terhina. Beberapa waktu kami telah diam. Hingga ketika anak-anak
kami mulai bergerak dalam rahim istri-istri kami dan mereka hampir saja lahir
ke dunia, kami memutuskan bahwa perbudakan ini tidak boleh diwariskan dari
kakek ke anak hingga ke cucu. Maka kami bersumpah, bahwa anak-anak kami tidak
akan lahir ke dunia kecuali kami, rakyat Suriah, telah merebut kemerdekaan.”
Kemudian anak cucu Saudara akan membaca
akhir dari kisah revolusi. Para pahlawan itu telah memenuhi janji mereka, anak
mereka tidak lahir kecuali mereka telah merdeka.*/Diadaptasi dari Mujahid
Ma’mun Diraniyah, Suriyah: Qisshah al Tsawrah, laporan disampaikan pada
konferensi al Hamlah al Islamiyah li Nushrah Suriyah, Turki.
Sumber: hidayatullah.com
0 comments:
Post a Comment